Sementara itu, penduduk kerajaan Nusantara Timur dan Barat tampak kewalahan menghadapi hujan dan kilat yang belum juga berhenti. Sebagian wilayah sudah dibanjiri air dari arah sungai. Rumah-rumah penduduk di sekitar sungai tampak hanyut. Sebagian penduduk juga hilang terbawa arus air. Para prajurit dari kedua kerajaan itu tengah sibuk membantu penduduk di malam basah itu.Kancil berdiri di teras kamarnya di lantai paling tinggi di istananya. Dia menatap hujan dan cahaya-cahaya petir bersama gemuruh suaranya yang menyeramkan di ujung sana.“Apakah ini karena engkau, Bimantara?” tanya Kancil tak percaya. “Aku harap di sana kau baik-baik saja.”Sesaat kemudian dia mendengar suara ribut orang-orang di depan kamarnya. Kancil segera keluar. Dia heran melihat banyak prajurit tampak berjalan dengan panik ke arah luar istana.“Ada apa ini?” tanya Kancil heran.Seorang prajurit berhenti lalu berlutut hormat di hadapannya.“Satu perkampungan diserang banjir bandang, Pangeran. Rumah-rumah banyak
Wira berdiri dengan tenang. Di dunia ini memang tidak ada manusia bernama Wira. Dia adalah Dewa Angin yang sengaja menyamar menjadi manusia. Penyamaran itu pun untuk mengawasi Bimantara sejak dia tahu bahwa pemuda itu memiliki segala hal yang diperlukan untuk menadi Candaka Uddhiharta. Wira tak menyangka Bimantara bisa melihat gelagat anehnya. Mungkin karena dia terlalu banyak memberitahunya tentang rahasia.“Tenang, Bimantara! Aku Wira! Coba cubit aku kalau kau tidak percaya,” pinta Wira padanya.Bimantara masih mengulurkan pedangnya di alam gubuk itu. Hujan dan kilat masih terdengar menyambar-nyambar di luar sana.“Perlihatkan tanda perguruan matahari di lenganmu!” pinta Bimantara.Wira pun menyingkap pakaian di tangannya. Dia pun menunjukkan cap berlambang perguruan matahari di lengannya kepada Bimantara. Bimantara melihatnya dengan seksama. Lambang itu memang sama seperti yang melekat di lengannya. Namun Bimantara tidak mau percaya begitu saja. Dia pun langsung menyerang Wira deng
Bimantara dan Wira sudah bersiap dengan jurusnya. Mereka berdua menatap langit dengan awas.“Menurutmu suara apa itu?” tanya Bimantra.“Entahlah,” jawab Wira. “Mungkin suara roh-roh jahat yang sengaja dikirim Penguasa Kegelapan untukmu.”Bimantara terkejut mendengarnya.“Setelah melawan mayat hidup dan Gajendra, baru ini kita akan melawan roh jahat jika memang yang hendak datang itu adalah roh-roh jahat,” ucap Bimantara sedikit was-was.“Seperti yang diajarkan guru utama, kita harus memasang telinga dan kesadaran tingkat tinggi jika berhadapan dengan makhluk tak kasat mata,” ujar Wira.Bimantara menoleh ke tangan kosong Wira.“Kau tidak membawa senjata dari leluhur?” tanya Bimantara heran.Wira menepuk jidatnya.“Astaga! Aku lupa, Bimantara!”Bimantara menghela napas mendengarnya.“Kau yang menemukan tongkat hitamku tapi kau malah lupa dengan senjatamu sendiri,” umpat Bimantara. “Harusnya selalu kau bawa meski sedang mandi sekalipun!”“Maafkan aku,” ucap Wira menunjukkan wajah menyesa
Bimantara mencoba bangkit dengan tongkat hitamnya. Roh hitam yang menjelma menjadi manusia itu mendekat padanya pandangan melototnya. Di belakangnya berdatangan puluhan Roh hitam yang lainnya siap menyerang Bimantara.“Sial,” umpat Bimantara. “Aku harus menggunakan jurus itu untuk melawan mereka yang jumlahnya sangat banyak.”Bimantara sedikit memejamkan mata. Tiba-tiba kaki cahaya naganya menyala. Dia melempar tongkat hitamnya ke samping. Roh-Roh hitam itu heran apa yang akan dilakukan Bimantara pada mereka.“Hiaaaaaaaat!” teriak Bimantara sambil melompat ke atas dengan jurus meringankan tubuhnya. Tak lama kemudian Bimantara berputar bagai gasing di atas sana.Roh-Roh jahat itu mendongak ke atas dengan was-was.Sementara Dewa Angin di atas pohon tampak takjub melihatnya. Dewa Api dan Dewa Bumi yang masih di sebelah Dewa Angin tampak heran melihatnya.“Jurus apa yang dia gunakan?” tanya Dewa Api heran.“Itu jurus tendangan seribu,” jawab Dewa Angin. “Jurus andalan dan terhebat yang di
Dahayu membuka matanya. Dia terbangun dengan keringat mengucur di keningnya. Seketika Dahayu bangkit lalu duduk di tepi kasur dengan bingung. Dia menatap ke arah jendela kamarnya. Hujan tidak lagi terdengar. Suara kilat tidak lagi menggelegar.“Sertinya hujan sudah reda,” ucap Dahayu.Dia pun berlajan menuju jendela. Sesampainya di sana dia membuka jendela lalu menatap ke bawah sana. Pekarangan istana tampak sepi. Ada beberapa prajurit yang lalu lalang berjaga malam. Langit tampak sudah dipenuhi bintang-bintang.“Kau pasti sudah aman melakukan pengembaraan Bimantara,” gumam Dahayu. Seketika dia merasa tenang.Dahayu pun kembali menutup jendela kamar lalu berjalan ke arah kasur. Dia duduk di tepi kasur dengan bingung. Dahayu pun kembali bangkit lalu berjalan ke arah lemari. Di sana dia meraih selembar kain yang tampak lukisan wajah Bimantara di permukaannya. Dahayu membawa lukisan itu ke atas kasur kembali.Saat Dahayu sudah duduk di tepi kasur kembali, dia menatap lukisan itu dengan l
Pagi sekali Pangeran Sakai tiba di depan kediaman Penasehat Raja. Dia berdiri sendirian tanpa diikuti pengawalnya. Kediaman Penasehat Raja masih berada di kawasan istana. Penasehat sekaligus peramal istana yang banyak memberi petunjuk kepada Sang Raja.Angin pagi menyapu wajah Pangeran Sakai dengan lembut. Dia masih berdiri menunggu setelah prajurit masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangannya. Pintu kediaman terbuka. Penasehat Raja langsung berlutut hormat padanya. Dia terkejut melihat kedatangan Pangeran Sakai yang tiba-tiba.“Sungguh kehormatan yang besar bagiku bisa dikunjungi yang mulia,” ucap Penasehat Raja.“Aku ingi ingin meminta bantuanmu,” ucap Pangeran Sakai.“Hamba siap membantu apapun yang dibutuhkan yang mulia,” ucap Panasehat Raja. Dalam hatinya sangat penasaran. Apa yang hendak dimintai pertolongan dari Pangeran. Selama ini Pangeran tak pernah akrab dengannya dan tak pernah meminta pertolongan apapun padanya.Pangeran Sakai pun langsung masuk ke dalam. Penasehat R
Bimantara masih memacukan kudanya dengan kencang. Kini dia melewati jalanan yang di kiri dan kanannya banyak rawa-rawa. Kudanya berjalan pelan menghindari tanah gambut yang dikahwatirkan akan menenggelamkan mereka jika salah menginjak.Bimantara memandangi sekitar. Rawa-rawa itu begitu luas. Dia tidak tahu di mana letak bukit naga itu. Dia hanya percaya pada kudanya. Kudanya pasti akan mengantarnya sampai ke sana. Sama seperti saat dia mencari keberadaan lembah gunung Munara dahulu.Tak lama kemudian Bimantara mendengar suara langkah kuda di belakangnya. Bimantara menoleh ke belakang, dia terkejut mendapati seorang pemuda berambut panjang dengan ikat kepala dari bahan kain melilit di kepalanya. Pemuda itu memakai pakaian serba hitam.Bimantara langsung menghentikan kudanya lalu membelokkan kudanya untuk menghadap ke arah pemuda yang menunggangi kuda hitam itu. Pemuda itu heran, dia pun menghentikan kudanya juga.“Apakah kau sengaja mengikutiku?” tanya Bimantara curiga.Pemuda itu meng
Laut tampak bergelombang. Angin kencang datang memporak-porandakan kapal-kapal nelayan. Tak lama kemudian sebuah cahaya terlihat sangat terang di atas lautan, cahaya itu berubah menjadi Dewa Angin. “Dewa Air! Keluarlah!” teriak Dewa Angin padanya. Tak lama kemudian cahaya datang. Dewa Air pun terlihat dalam wujud aslinya. Dia mengenakan mahkota dan pakaian sutranya. “Ada apa kau memanggilku?” tanya Dewa Air dengan heran. “Kenapa kau mengutus satu pemuda lagi untuk diuji menjadi Candaka Uddhiharta? Bukankah ini giliranku memilih siapa yang pantas menjadi Candaka Uddhiharta?” tanya Dewa Angin dengan heran. Dewa Air tertawa. “Kau tidak tahu kalau Sang Hyang Agung telah meminta para dewa untuk mencari satu utusan masing-masingnya?” Dewa Angin terbelalak mendengarnya. “Maksudmu Dewa Api dan Dewa Bumi juga akan mencari utusan masing-masing yang akan dijadikan kandidat Candaka Uddhiharta?” “Iya! Temui saja mereka jika kau tidak percaya,” pinta Dewa Air. Dewa Angin tampak berpikir bi
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it