Dahayu membuka matanya. Dia terbangun dengan keringat mengucur di keningnya. Seketika Dahayu bangkit lalu duduk di tepi kasur dengan bingung. Dia menatap ke arah jendela kamarnya. Hujan tidak lagi terdengar. Suara kilat tidak lagi menggelegar.“Sertinya hujan sudah reda,” ucap Dahayu.Dia pun berlajan menuju jendela. Sesampainya di sana dia membuka jendela lalu menatap ke bawah sana. Pekarangan istana tampak sepi. Ada beberapa prajurit yang lalu lalang berjaga malam. Langit tampak sudah dipenuhi bintang-bintang.“Kau pasti sudah aman melakukan pengembaraan Bimantara,” gumam Dahayu. Seketika dia merasa tenang.Dahayu pun kembali menutup jendela kamar lalu berjalan ke arah kasur. Dia duduk di tepi kasur dengan bingung. Dahayu pun kembali bangkit lalu berjalan ke arah lemari. Di sana dia meraih selembar kain yang tampak lukisan wajah Bimantara di permukaannya. Dahayu membawa lukisan itu ke atas kasur kembali.Saat Dahayu sudah duduk di tepi kasur kembali, dia menatap lukisan itu dengan l
Pagi sekali Pangeran Sakai tiba di depan kediaman Penasehat Raja. Dia berdiri sendirian tanpa diikuti pengawalnya. Kediaman Penasehat Raja masih berada di kawasan istana. Penasehat sekaligus peramal istana yang banyak memberi petunjuk kepada Sang Raja.Angin pagi menyapu wajah Pangeran Sakai dengan lembut. Dia masih berdiri menunggu setelah prajurit masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangannya. Pintu kediaman terbuka. Penasehat Raja langsung berlutut hormat padanya. Dia terkejut melihat kedatangan Pangeran Sakai yang tiba-tiba.“Sungguh kehormatan yang besar bagiku bisa dikunjungi yang mulia,” ucap Penasehat Raja.“Aku ingi ingin meminta bantuanmu,” ucap Pangeran Sakai.“Hamba siap membantu apapun yang dibutuhkan yang mulia,” ucap Panasehat Raja. Dalam hatinya sangat penasaran. Apa yang hendak dimintai pertolongan dari Pangeran. Selama ini Pangeran tak pernah akrab dengannya dan tak pernah meminta pertolongan apapun padanya.Pangeran Sakai pun langsung masuk ke dalam. Penasehat R
Bimantara masih memacukan kudanya dengan kencang. Kini dia melewati jalanan yang di kiri dan kanannya banyak rawa-rawa. Kudanya berjalan pelan menghindari tanah gambut yang dikahwatirkan akan menenggelamkan mereka jika salah menginjak.Bimantara memandangi sekitar. Rawa-rawa itu begitu luas. Dia tidak tahu di mana letak bukit naga itu. Dia hanya percaya pada kudanya. Kudanya pasti akan mengantarnya sampai ke sana. Sama seperti saat dia mencari keberadaan lembah gunung Munara dahulu.Tak lama kemudian Bimantara mendengar suara langkah kuda di belakangnya. Bimantara menoleh ke belakang, dia terkejut mendapati seorang pemuda berambut panjang dengan ikat kepala dari bahan kain melilit di kepalanya. Pemuda itu memakai pakaian serba hitam.Bimantara langsung menghentikan kudanya lalu membelokkan kudanya untuk menghadap ke arah pemuda yang menunggangi kuda hitam itu. Pemuda itu heran, dia pun menghentikan kudanya juga.“Apakah kau sengaja mengikutiku?” tanya Bimantara curiga.Pemuda itu meng
Laut tampak bergelombang. Angin kencang datang memporak-porandakan kapal-kapal nelayan. Tak lama kemudian sebuah cahaya terlihat sangat terang di atas lautan, cahaya itu berubah menjadi Dewa Angin. “Dewa Air! Keluarlah!” teriak Dewa Angin padanya. Tak lama kemudian cahaya datang. Dewa Air pun terlihat dalam wujud aslinya. Dia mengenakan mahkota dan pakaian sutranya. “Ada apa kau memanggilku?” tanya Dewa Air dengan heran. “Kenapa kau mengutus satu pemuda lagi untuk diuji menjadi Candaka Uddhiharta? Bukankah ini giliranku memilih siapa yang pantas menjadi Candaka Uddhiharta?” tanya Dewa Angin dengan heran. Dewa Air tertawa. “Kau tidak tahu kalau Sang Hyang Agung telah meminta para dewa untuk mencari satu utusan masing-masingnya?” Dewa Angin terbelalak mendengarnya. “Maksudmu Dewa Api dan Dewa Bumi juga akan mencari utusan masing-masing yang akan dijadikan kandidat Candaka Uddhiharta?” “Iya! Temui saja mereka jika kau tidak percaya,” pinta Dewa Air. Dewa Angin tampak berpikir bi
Kancil tampak merenung mendengar itu. Peramal perempuan yang masih berada di dekat mereka juga tampak bingung. Kancil pun menatap Peramal itu dengan penuh harap agar dia bisa mengetahui siapakah yang akan menjadi Candaka Uddhiharta.“Tolong usahakan sekali lagi agar kami tahu siapakah kira-kira yang akan diangkat menjadi Candaka Uddhiharta?” pinta Kancil kepada peramal perempuan itu.Peramal perempuan itu tampak bingung. Akhirnya dia mengangguk karena tidak enak hati menolak sang pangeran.“Baiklah,” jawab Peramal Perempuan itu. “Aku akan mengusahakannya sekali lagi.Kancil mengangguk senang. Pangeran Sakai pun tampak sudah tak sabar dengan hasil yang akan peramal perempuan itu dapatkan.Peramal perempuan itu pun memejamkan matanya. Setelah bergumam membacakan mantranya, dia melihat empat makhluk hitam tinggi besar datang dari empat penjuru. Makhluk hitam yang sudah lama tertidur. Sesaat kemudian dia melihat seorang kakek berambut putih dan berjenggot putih yang sedang memegang tongka
Dewa Angin tiba di bukit naga. Dia heran tidak mendapati Dewa Api dan Dewa Bumi di sana. Dia pun berteriak memanggil-memanggil mereka. Seketika Dewa Api dan Dewa Bumi muncul dalam wujud aslinya.“Kau pasti ingin menanyakan tentang kandidat Candaka Uddhiharta itu?” tebak Dewa Api pada Dewa Angin.“Apa yang terjadi? Benarkah ini keputusan Sang Hyang Agung tanpa campur tangan kalian?” tanya Dewa Angin tak percaya. “Bukankah sekarang giliranku untuk mencari kandidat terbaik? Kalian bertiga sudah mendapat giliran, kenapa harus membawa kandidat masing-masing lagi?”Dewa Api dan Dewa Bumi tertawa mendengarnya.“Kau temui saja Dewa Langit. Dia yang meminta kami mencari kandidat pendamping untuk kandidat yang telah kau pilih. Mengenai alasannya, silakan temui dia di langit sana dan tanyakan sendiri kenapa bisa berubah?” ucap Dewa Bumi padanya.“Aku tidak percaya,” ucap Dewa Angin. “Kalian pasti tidak menginginkan aku berhasil memilih kandidatku sendiri karena kandidat yang telah kalian pilih d
Dewa Angin mendekat padanya lalu berdiri di hadapan Bimantara yang tegak dengan tongkatnya.“Sang Hyang Agung menghendaki para dewa lain untuk mencari kandidat masing-masing,” ucap Dewa Angin padanya.Bimantara terkejut mendengarnya. Sekarang dia percaya apa yang dikatakan Tirta tadi padanya.Dewa Angin pun kembali melanjutkan kata-katanya.“Ini semua karena kesalahanku telah menerima perjanjian atas permintaanmu untuk melepas kutukan itu.”Bimantara terbelalak mendengarnya.“Apakah Maha Dewa tak akan mengabulkan permintaanku jika aku berhasil menjadi Candaka Uddhiharta?” tanya Bimantara dengan khawatir.“Aku tak pernah ingkar janji,” jawab Dewa Angin. “Sekarang semuanya kuserahkan padamu. Ikuti aturan para dewa dan menangkan ujian itu,” pinta Dewa Angin padanya.Bimantara tenang mendengarnya.“Ampuni hamba jika hamba telah lancang meminta pertolongan itu,” ucap Bimantara pada akhirnya. “Hamba tahu itu salah, tapi jika benar hamba terpilih menjadi Candaka Uddhiharta, hamba akan melaku
Pejabat istana datang bersama para prajuritnya ke hadapan kediaman Panglima Sada. Dua pohon besar tampak tumbuh rindang di halamannya. Prajurit yang berjaga di hadapan kediaman Panglima Sada tampak heran. Tombak di tangan mereka masing-masing.“Tolong panggilkan Panglima Sada,” pinta pejabat isatana pada prajurit penjaga.Prajurit penjaga itu langsung masuk ke dalam. Dia pun menemui Panglima Sada yang sedang berlatih ilmu bela diri di pekarangan belakang kediamannya. Parjurit itu menunggu hingga Panglima Sada berhenti sendiri melakukan gerakan-gerakan jurus ilmu bela diri. Akhirnya Panglima Sada berhenti dengan napas terengah-engah dan keringat yang hampir saja membanjiri dahinya. Dia menoleh heran pada prajuritnya.“Ada apa?” tanya Panglima Sada.“Ampun, Panglima,” ucap Prajuritnya. “Pejabat istana datang untuk menemui Panglima di luar sana.”Panglima Sada tampak heran mendengarnya. Dia pun berhenti berlatih ilmu bela dirinya.“Kenapa mereka tidak langsung masuk saja?” tanya Panglima
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it