Pagi sekali Pangeran Sakai tiba di depan kediaman Penasehat Raja. Dia berdiri sendirian tanpa diikuti pengawalnya. Kediaman Penasehat Raja masih berada di kawasan istana. Penasehat sekaligus peramal istana yang banyak memberi petunjuk kepada Sang Raja.Angin pagi menyapu wajah Pangeran Sakai dengan lembut. Dia masih berdiri menunggu setelah prajurit masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangannya. Pintu kediaman terbuka. Penasehat Raja langsung berlutut hormat padanya. Dia terkejut melihat kedatangan Pangeran Sakai yang tiba-tiba.“Sungguh kehormatan yang besar bagiku bisa dikunjungi yang mulia,” ucap Penasehat Raja.“Aku ingi ingin meminta bantuanmu,” ucap Pangeran Sakai.“Hamba siap membantu apapun yang dibutuhkan yang mulia,” ucap Panasehat Raja. Dalam hatinya sangat penasaran. Apa yang hendak dimintai pertolongan dari Pangeran. Selama ini Pangeran tak pernah akrab dengannya dan tak pernah meminta pertolongan apapun padanya.Pangeran Sakai pun langsung masuk ke dalam. Penasehat R
Bimantara masih memacukan kudanya dengan kencang. Kini dia melewati jalanan yang di kiri dan kanannya banyak rawa-rawa. Kudanya berjalan pelan menghindari tanah gambut yang dikahwatirkan akan menenggelamkan mereka jika salah menginjak.Bimantara memandangi sekitar. Rawa-rawa itu begitu luas. Dia tidak tahu di mana letak bukit naga itu. Dia hanya percaya pada kudanya. Kudanya pasti akan mengantarnya sampai ke sana. Sama seperti saat dia mencari keberadaan lembah gunung Munara dahulu.Tak lama kemudian Bimantara mendengar suara langkah kuda di belakangnya. Bimantara menoleh ke belakang, dia terkejut mendapati seorang pemuda berambut panjang dengan ikat kepala dari bahan kain melilit di kepalanya. Pemuda itu memakai pakaian serba hitam.Bimantara langsung menghentikan kudanya lalu membelokkan kudanya untuk menghadap ke arah pemuda yang menunggangi kuda hitam itu. Pemuda itu heran, dia pun menghentikan kudanya juga.“Apakah kau sengaja mengikutiku?” tanya Bimantara curiga.Pemuda itu meng
Laut tampak bergelombang. Angin kencang datang memporak-porandakan kapal-kapal nelayan. Tak lama kemudian sebuah cahaya terlihat sangat terang di atas lautan, cahaya itu berubah menjadi Dewa Angin. “Dewa Air! Keluarlah!” teriak Dewa Angin padanya. Tak lama kemudian cahaya datang. Dewa Air pun terlihat dalam wujud aslinya. Dia mengenakan mahkota dan pakaian sutranya. “Ada apa kau memanggilku?” tanya Dewa Air dengan heran. “Kenapa kau mengutus satu pemuda lagi untuk diuji menjadi Candaka Uddhiharta? Bukankah ini giliranku memilih siapa yang pantas menjadi Candaka Uddhiharta?” tanya Dewa Angin dengan heran. Dewa Air tertawa. “Kau tidak tahu kalau Sang Hyang Agung telah meminta para dewa untuk mencari satu utusan masing-masingnya?” Dewa Angin terbelalak mendengarnya. “Maksudmu Dewa Api dan Dewa Bumi juga akan mencari utusan masing-masing yang akan dijadikan kandidat Candaka Uddhiharta?” “Iya! Temui saja mereka jika kau tidak percaya,” pinta Dewa Air. Dewa Angin tampak berpikir bi
Kancil tampak merenung mendengar itu. Peramal perempuan yang masih berada di dekat mereka juga tampak bingung. Kancil pun menatap Peramal itu dengan penuh harap agar dia bisa mengetahui siapakah yang akan menjadi Candaka Uddhiharta.“Tolong usahakan sekali lagi agar kami tahu siapakah kira-kira yang akan diangkat menjadi Candaka Uddhiharta?” pinta Kancil kepada peramal perempuan itu.Peramal perempuan itu tampak bingung. Akhirnya dia mengangguk karena tidak enak hati menolak sang pangeran.“Baiklah,” jawab Peramal Perempuan itu. “Aku akan mengusahakannya sekali lagi.Kancil mengangguk senang. Pangeran Sakai pun tampak sudah tak sabar dengan hasil yang akan peramal perempuan itu dapatkan.Peramal perempuan itu pun memejamkan matanya. Setelah bergumam membacakan mantranya, dia melihat empat makhluk hitam tinggi besar datang dari empat penjuru. Makhluk hitam yang sudah lama tertidur. Sesaat kemudian dia melihat seorang kakek berambut putih dan berjenggot putih yang sedang memegang tongka
Dewa Angin tiba di bukit naga. Dia heran tidak mendapati Dewa Api dan Dewa Bumi di sana. Dia pun berteriak memanggil-memanggil mereka. Seketika Dewa Api dan Dewa Bumi muncul dalam wujud aslinya.“Kau pasti ingin menanyakan tentang kandidat Candaka Uddhiharta itu?” tebak Dewa Api pada Dewa Angin.“Apa yang terjadi? Benarkah ini keputusan Sang Hyang Agung tanpa campur tangan kalian?” tanya Dewa Angin tak percaya. “Bukankah sekarang giliranku untuk mencari kandidat terbaik? Kalian bertiga sudah mendapat giliran, kenapa harus membawa kandidat masing-masing lagi?”Dewa Api dan Dewa Bumi tertawa mendengarnya.“Kau temui saja Dewa Langit. Dia yang meminta kami mencari kandidat pendamping untuk kandidat yang telah kau pilih. Mengenai alasannya, silakan temui dia di langit sana dan tanyakan sendiri kenapa bisa berubah?” ucap Dewa Bumi padanya.“Aku tidak percaya,” ucap Dewa Angin. “Kalian pasti tidak menginginkan aku berhasil memilih kandidatku sendiri karena kandidat yang telah kalian pilih d
Dewa Angin mendekat padanya lalu berdiri di hadapan Bimantara yang tegak dengan tongkatnya.“Sang Hyang Agung menghendaki para dewa lain untuk mencari kandidat masing-masing,” ucap Dewa Angin padanya.Bimantara terkejut mendengarnya. Sekarang dia percaya apa yang dikatakan Tirta tadi padanya.Dewa Angin pun kembali melanjutkan kata-katanya.“Ini semua karena kesalahanku telah menerima perjanjian atas permintaanmu untuk melepas kutukan itu.”Bimantara terbelalak mendengarnya.“Apakah Maha Dewa tak akan mengabulkan permintaanku jika aku berhasil menjadi Candaka Uddhiharta?” tanya Bimantara dengan khawatir.“Aku tak pernah ingkar janji,” jawab Dewa Angin. “Sekarang semuanya kuserahkan padamu. Ikuti aturan para dewa dan menangkan ujian itu,” pinta Dewa Angin padanya.Bimantara tenang mendengarnya.“Ampuni hamba jika hamba telah lancang meminta pertolongan itu,” ucap Bimantara pada akhirnya. “Hamba tahu itu salah, tapi jika benar hamba terpilih menjadi Candaka Uddhiharta, hamba akan melaku
Pejabat istana datang bersama para prajuritnya ke hadapan kediaman Panglima Sada. Dua pohon besar tampak tumbuh rindang di halamannya. Prajurit yang berjaga di hadapan kediaman Panglima Sada tampak heran. Tombak di tangan mereka masing-masing.“Tolong panggilkan Panglima Sada,” pinta pejabat isatana pada prajurit penjaga.Prajurit penjaga itu langsung masuk ke dalam. Dia pun menemui Panglima Sada yang sedang berlatih ilmu bela diri di pekarangan belakang kediamannya. Parjurit itu menunggu hingga Panglima Sada berhenti sendiri melakukan gerakan-gerakan jurus ilmu bela diri. Akhirnya Panglima Sada berhenti dengan napas terengah-engah dan keringat yang hampir saja membanjiri dahinya. Dia menoleh heran pada prajuritnya.“Ada apa?” tanya Panglima Sada.“Ampun, Panglima,” ucap Prajuritnya. “Pejabat istana datang untuk menemui Panglima di luar sana.”Panglima Sada tampak heran mendengarnya. Dia pun berhenti berlatih ilmu bela dirinya.“Kenapa mereka tidak langsung masuk saja?” tanya Panglima
Bimantara memacukan kudanya dengan kencang. Dia sudah menaiki tebing menuju puncak bukit naga. Hutan tampak terlihat gelap meski hari masih siang. Tak lama kemudian dia melihat kabut putih berdatangan. Seketika suara-suara terdengar ke telinganya. Suara-suara yang terdengar menakutkan.“Kembalilah ke asalmu! Kau tak akan mengingat apapun lagi jika dipilih menjadi Candaka Uddhiharta! Dewa sengaja tidak memberitahukan hal ini padamu! Bukan hanya kandidat yang tidak terpilih saja yang bisa hilang ingatannya, melainkan yang terpilih juga!”Bimantara menghentikan kudanya mendengar itu. Dia mencari-cari sumber suara. Dia tidak menemukan siapapun selalin sekelebat makhluk hitam yang timbul tenggelam.“Siapa kamu?” teriak Bimantara.“Aku hanya ingin mengingatkanmu! Kau akan kehilangan semua ingatanmu jika menjadi Candaka Uddhiharta! Karena Dewa tak menginginkan manusia memberitahukan keberadaan mereka!”“Jangan dengarkan! Lanjutkan perjalananmu!” teriak suara lainnya.Bimantara kini melihat s