Beranda / Fantasi / Selubung Memori / Bab 221 - Bab 230

Semua Bab Selubung Memori: Bab 221 - Bab 230

595 Bab

220. REILA #5

“Dasar pembohong,” kata Profesor Merla.“Bibi pikir aku bisa terus bohong?”“Menyiksa diri memang tidak ada salahnya. Sejauh yang kutahu, kakakmu itu cerdas, dan itu tidak berubah setelah sepuluh tahun. Kita tunggu saja.”Mereka di Lembah Palapa, tempat yang kuingat adalah rumah lama kami. Rumah itu masih berdiri, tidak rusak sedikit pun, seolah selama bertahun-tahun tak pernah ada sesuatu yang membuat rumah itu roboh. Rumah itu berjarak tidak jauh dari gang kecil tempatku hilang, jadi Reila sempat melewati gang kecil itu—yang tampaknya mengingatkannya akan momen ketika dia bersembunyi di belakang bak sampah raksasa super bau. Kini, bak sampah itu sudah hilang, dan gang kecil sudah lebih terang. Tidak ada yang kelihatan kotor. Gang kecil itu lebih terawat. Tak ada lagi rumah makan ikan bakar, tergantikan oleh restoran lokal.Di rumah kami, Reila membereskan segalanya, menurunkan semua bingkai yang berisi foto-foto
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-18
Baca selengkapnya

221. PULAU PENDIRI #1

Hal pertama yang membuatku mengerti bahwa kesadaranku telah kembali, adalah ketika jemariku berhasil merasakan sensasi rumput.Jadi, mataku mulai terbuka, dengan samar melihat rumput di depan mataku. Aku tersungkur, rerumputan basah di bawahku, dan tidak ada apa-apa sejauh mata memandang. Rasanya aneh. Aku mulai mengerang, terbangun—kesadaranku masih belum sepenuhnya kembali, kepalaku pusing, kurasakan sensasi seperti sehabis berkeringat banyak seolah-olah aku baru berolahraga atau lari gunung. Tubuhku seperti lelah. Aku duduk bersila, berusaha mengembalikan segenap kesadaran, lalu mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Aku melihat langit biru dan hamparan air. Posisiku seperti di lembah danau, atau kubangan air raksasa. Ada suara samar air terjun. Aroma yang tercium seperti campuran alam liar dan kesegaran embun pagi. Samar, tetapi aku juga mendengar kicauan burung. Rasanya tidak seperti kembali ke Padang Anushka.Dan aku teringat. Jadi, aku langsung memb
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-20
Baca selengkapnya

222. PULAU PENDIRI #2

Bisa dibilang, Pulau Pendiri adalah hal teraneh dari alam liar.Awalnya, hutan tidak terlihat seperti punya jalur yang bisa dilewati, tetapi ketika kami menginjakkan kaki di akar pohon pertama, tiba-tiba rerumputan tinggi seperti bergerak, dan Reila hampir menjerit—meski dia bisa menahannya, segera melapor padaku, bahwa, “Rumputnya bergerak.”“Ya,” kataku, singkat, seolah aku tidak melihatnya juga.Sebenarnya bukan hanya rumput. Pohon juga bergerak, meski tidak terlalu terasa. Reila yang tidak bisa merasakan alam liar tidak akan merasakannya, tetapi aku bisa mengerti seolah ada beragam informasi masuk ke dalam kepalaku. Struktur tanah, banyaknya pohon, lokasi pohon, besar pohon, tinggi rerumputan, luas pulau, lokasi air terjun—ada banyak—sungai yang mengalir, beragam eksistensi hewan-hewan indah dan langka yang semestinya sudah punah. Hanya dalam satu pijakan kaki, tiba-tiba aku seperti disambut alam liar. Rasanya, hutan
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-22
Baca selengkapnya

223. AZA #3

Aku ingat ketika Aza sudah tidak mampu lagi berjalan hanya untuk sekadar keluar kamar, Aza pernah berkata, “Kemampuanku seperti diserap habis.”Saat itu di luar pondok sedang gerimis, sementara aku menyiapkan makan malam. Aku ingat sedang berpikir keras seberapa banyak bumbu yang sebaiknya kugunakan untuk membakar daging ayam. Ruang api dipenuhi asap pembakaran ayam, di sebelahku potongan ayam sudah siap dibakar, dan tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras dari kamar Aza. Aku mendobrak masuk, melihat Aza terjatuh dari kasur. Dia menyeringai lemah. “Anak muda, jangan melihatku begitu.”Kuputuskan membantunya kembali ke kasur sebelum mengomelinya betapa sebaiknya dia memanggilku bila ingin keluar kamar. Saat itu Aza memang sudah memakai kursi roda hanya untuk keluar. Dan biasanya dia keluar pondok cuma agar bisa memastikan aku benar-benar latihan sendiri. Dia akan duduk di selasar, di balik pagar kayu, memangku kepalanya, lalu mengomel betapa ger
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-24
Baca selengkapnya

224. PULAU PENDIRI #3

Aku dan Reila termenung di depan batu nisan.Aku sempat kembali ke gua, mengambil mahkota bunga berkilau biru, lalu meletakkannya di depan batu nisan Aza. Reila menemaniku, dan kami sama sekali tidak bicara sampai kembali duduk. Tampaknya Reila memang melihat semua masa yang kulalui di pondok, bagaimana Aza telah mengganti semua yang hilang setelah Reila dibawa pergi. Jadi, Reila pasti tahu bagaimana Aza menjadi seseorang yang berhasil menggantikan semua kenangan tanpa pernah membuatku ingat pada masa lalu—sampai sebelum detik-detik kematiannya terjadi.Kurasa Reila juga merasakan hal yang sama.Karena Reila, pada akhirnya, menyandarkan kepalanya.Perlahan, dia juga mulai merangkulku.Aku begitu tidak berdaya, jadi aku ikut merangkulnya—seolah-olah alam bawah sadarku membangkitkan semua kesesakan yang kurasakan ketika Aza pergi dan aku tidak mau itu terjadi lagi pada satu-satunya yang tersisa. Aku tidak berniat membiarkan Reila pergi un
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-26
Baca selengkapnya

225. PULAU PENDIRI #4

Jentikan jari itu kedengaran begitu keras.Langsung muncul di depan mataku: hidangan berkelas sangat lezat. Kami pindah tempat, dan tepat seperti yang kubayangkan: api unggun. Akshaya duduk di batang pohon, dikelilingi kucing-kucing lucu, dan di pangkuannya, kucing raksasa berwarna putih sedang menikmati garukan jemarinya. Api unggun itu mati. Jelas—masih siang, tetapi aku merasa ini tempat yang sama seperti dalam mimpiku.Aku merasakan gejolak aneh. Setiap bertemu pemandangan ini, suasananya selalu malam. Dan momen itu selalu datang ketika aku dalam kondisi buruk.“Bukannya tempat ini hanya muncul saat gundah?” tanyaku.“Perkemahan,” sebut Akshaya, mengambil satu tusuk sate. Kupikirkan dia akan menggigitnya, tetapi ternyata dia melepaskan daging dari tusuk, membuatnya menjadi santapan para kucing. “Api unggun adalah tempat terhangat, benar?”“Api unggun memang identik dengan itu,” kataku.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-28
Baca selengkapnya

226. ROH #1

Reaksi Reila sama sepertiku.Dia menatapku begitu lurus sama seperti yang kubayangkan bila sekarang aku bisa menatap diriku sendiri. Namun, sorot itu tidak hanya berarti ngeri. Dalam satu sorot itu, dia juga melihatku penuh simpati, kagum, sekaligus kaget. Aku juga menatapnya, tidak berniat mengalihkan pandangan seolah bila aku menjadi orang pertama yang mengalihkan pandangan, aku akan kalah.“Sejak kapan gagasan itu datang ke pikiranmu?” tanya Reila.“Sejujurnya, sejak awal,” jawabku, menelan ludah.“Sejak awal?”“Ingat kubilang Jesse pernah menganggapku objek penelitian? Aku mengira yang dia cari sebenarnya Aza. Jesse mencari orang yang bisa mengendalikan dunia roh dan hidup di dunia manusia. Dan kalau itu memang Aza—artinya Aza pemilik kemampuan roh. Dan karena Aza pernah bilang kemampuanku sama sepertinya, itu artinya kemampuanku juga kemampuan roh—wow. Kau bangga padaku?”&ldqu
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-11-30
Baca selengkapnya

227. ROH #2

Ketika Akshaya menjentikkan jari lagi, bekas hidangan-hidangan makanan hilang, dan kami tiba-tiba berada di tempat yang tampaknya seperti taman. Bunga-bunga bertebaran. Kami dikelilingi tanaman hias, duduk melingkar.“Kita perlu membicarakan pelindung,” ujar Akshaya, mengumumkan.Reila masih terkejut dirinya pindah, tetapi karena Akshaya sudah memulai penjelasan, dia berusaha tetap memasang telinga.“Hanya kemampuan roh yang bisa membuat pelindung,” ujar Akshaya.“Dan itu kemampuan terkuat,” ucapku.“Kemampuan terkuat,” ulang Akshaya, seolah ingin membenarkan. “Lebih tepatnya, kemampuan ini mengizinkan pemilik kemampuan roh memiliki dunianya sendiri, sama seperti yang kalian lihat di sini, atau seperti yang kalian lihat selama di Padang Anushka, atau bahkan selama Forlan di pondok. Selama pelindung masih ada, kemampuan roh berhak melakukan apa pun di dalam pelindung yang dia buat.”
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-02
Baca selengkapnya

228. ROH #3

Pembicaraan dihentikan atas permintaan Reila.Metode menghiburnya kali ini cukup unik. Awalnya aku hanya ingin duduk di dekat batu nisan Aza, tetapi kemudian Reila melarang itu karena aku sudah duduk lama sekali. Jadi, dia menarikku, lalu kami duduk di dekat pancuran air, dan Reila berkata, “Berhentilah bersedih. Aku tidak mau kau jadi Raja Arwah.”Humorku sepertinya sudah jongkok sampai bisa tertawa mendengar itu.“Tapi sebenarnya ada yang ingin kutanyakan. Ng, soal arwah,” katanya.“Apa?”“Bagaimana dengan... Ibu? Ayah?”Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Ingatanku langsung memproses ucapan Bibi tentang aturan yang tidak boleh mengonfirmasi keberadaan pada pihak yang belum tahu. Aku tidak pernah bertemu atau bahkan merasakan eksistensi samar Ibu lagi sejak mengunjunginya bersama Tara. Namun, kalau Ayah—“Kau sering ke makam Ibu?” tanyaku.“Setiap saat.&rdq
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-04
Baca selengkapnya

229. ROH #4

Aku bisa mengerti mengapa Reila marah.Bila posisi kami terbalik, barangkali aku juga tidak pernah mau dengar Reila menukar sisa umurnya untuk membuat pelindung yang tidak memberi kebahagiaan padanya. Maksudku, dia melindungi orang asing. Kubayangkan diriku menjadi Aza yang telah memberi sisa umurku untuk melindungi orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, dengan harapan mereka bisa membawa kedamaian untuk permukaan tanah. Namun, ternyata, orang-orang ini menghancurkan pelindung yang harganya tidak gratis, lalu menyerang orang-orang yang selama ini berusaha Aza lindungi—mustahil Aza tidak terluka. Mustahil Aza tidak kecewa pada Padang Anushka.Barangkali itu juga salah satu alasan Aza menahanku sangat lama—dengan cara spesifik memintaku turun ke puing-puing kota, bukannya lokasi yang menjadi Padang Anushka. Aza pasti tahu Reila tiba di sana ketika nantinya aku sampai di puing-puing kota. Sejak awal, Aza ingin mengembalikanku pada keluarga, bukan Padang A
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-06
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2122232425
...
60
DMCA.com Protection Status