Aku dan Reila termenung di depan batu nisan.
Aku sempat kembali ke gua, mengambil mahkota bunga berkilau biru, lalu meletakkannya di depan batu nisan Aza. Reila menemaniku, dan kami sama sekali tidak bicara sampai kembali duduk. Tampaknya Reila memang melihat semua masa yang kulalui di pondok, bagaimana Aza telah mengganti semua yang hilang setelah Reila dibawa pergi. Jadi, Reila pasti tahu bagaimana Aza menjadi seseorang yang berhasil menggantikan semua kenangan tanpa pernah membuatku ingat pada masa lalu—sampai sebelum detik-detik kematiannya terjadi.
Kurasa Reila juga merasakan hal yang sama.
Karena Reila, pada akhirnya, menyandarkan kepalanya.
Perlahan, dia juga mulai merangkulku.
Aku begitu tidak berdaya, jadi aku ikut merangkulnya—seolah-olah alam bawah sadarku membangkitkan semua kesesakan yang kurasakan ketika Aza pergi dan aku tidak mau itu terjadi lagi pada satu-satunya yang tersisa. Aku tidak berniat membiarkan Reila pergi un
Jentikan jari itu kedengaran begitu keras.Langsung muncul di depan mataku: hidangan berkelas sangat lezat. Kami pindah tempat, dan tepat seperti yang kubayangkan: api unggun. Akshaya duduk di batang pohon, dikelilingi kucing-kucing lucu, dan di pangkuannya, kucing raksasa berwarna putih sedang menikmati garukan jemarinya. Api unggun itu mati. Jelas—masih siang, tetapi aku merasa ini tempat yang sama seperti dalam mimpiku.Aku merasakan gejolak aneh. Setiap bertemu pemandangan ini, suasananya selalu malam. Dan momen itu selalu datang ketika aku dalam kondisi buruk.“Bukannya tempat ini hanya muncul saat gundah?” tanyaku.“Perkemahan,” sebut Akshaya, mengambil satu tusuk sate. Kupikirkan dia akan menggigitnya, tetapi ternyata dia melepaskan daging dari tusuk, membuatnya menjadi santapan para kucing. “Api unggun adalah tempat terhangat, benar?”“Api unggun memang identik dengan itu,” kataku.
Reaksi Reila sama sepertiku.Dia menatapku begitu lurus sama seperti yang kubayangkan bila sekarang aku bisa menatap diriku sendiri. Namun, sorot itu tidak hanya berarti ngeri. Dalam satu sorot itu, dia juga melihatku penuh simpati, kagum, sekaligus kaget. Aku juga menatapnya, tidak berniat mengalihkan pandangan seolah bila aku menjadi orang pertama yang mengalihkan pandangan, aku akan kalah.“Sejak kapan gagasan itu datang ke pikiranmu?” tanya Reila.“Sejujurnya, sejak awal,” jawabku, menelan ludah.“Sejak awal?”“Ingat kubilang Jesse pernah menganggapku objek penelitian? Aku mengira yang dia cari sebenarnya Aza. Jesse mencari orang yang bisa mengendalikan dunia roh dan hidup di dunia manusia. Dan kalau itu memang Aza—artinya Aza pemilik kemampuan roh. Dan karena Aza pernah bilang kemampuanku sama sepertinya, itu artinya kemampuanku juga kemampuan roh—wow. Kau bangga padaku?”&ldqu
Ketika Akshaya menjentikkan jari lagi, bekas hidangan-hidangan makanan hilang, dan kami tiba-tiba berada di tempat yang tampaknya seperti taman. Bunga-bunga bertebaran. Kami dikelilingi tanaman hias, duduk melingkar.“Kita perlu membicarakan pelindung,” ujar Akshaya, mengumumkan.Reila masih terkejut dirinya pindah, tetapi karena Akshaya sudah memulai penjelasan, dia berusaha tetap memasang telinga.“Hanya kemampuan roh yang bisa membuat pelindung,” ujar Akshaya.“Dan itu kemampuan terkuat,” ucapku.“Kemampuan terkuat,” ulang Akshaya, seolah ingin membenarkan. “Lebih tepatnya, kemampuan ini mengizinkan pemilik kemampuan roh memiliki dunianya sendiri, sama seperti yang kalian lihat di sini, atau seperti yang kalian lihat selama di Padang Anushka, atau bahkan selama Forlan di pondok. Selama pelindung masih ada, kemampuan roh berhak melakukan apa pun di dalam pelindung yang dia buat.”
Pembicaraan dihentikan atas permintaan Reila.Metode menghiburnya kali ini cukup unik. Awalnya aku hanya ingin duduk di dekat batu nisan Aza, tetapi kemudian Reila melarang itu karena aku sudah duduk lama sekali. Jadi, dia menarikku, lalu kami duduk di dekat pancuran air, dan Reila berkata, “Berhentilah bersedih. Aku tidak mau kau jadi Raja Arwah.”Humorku sepertinya sudah jongkok sampai bisa tertawa mendengar itu.“Tapi sebenarnya ada yang ingin kutanyakan. Ng, soal arwah,” katanya.“Apa?”“Bagaimana dengan... Ibu? Ayah?”Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Ingatanku langsung memproses ucapan Bibi tentang aturan yang tidak boleh mengonfirmasi keberadaan pada pihak yang belum tahu. Aku tidak pernah bertemu atau bahkan merasakan eksistensi samar Ibu lagi sejak mengunjunginya bersama Tara. Namun, kalau Ayah—“Kau sering ke makam Ibu?” tanyaku.“Setiap saat.&rdq
Aku bisa mengerti mengapa Reila marah.Bila posisi kami terbalik, barangkali aku juga tidak pernah mau dengar Reila menukar sisa umurnya untuk membuat pelindung yang tidak memberi kebahagiaan padanya. Maksudku, dia melindungi orang asing. Kubayangkan diriku menjadi Aza yang telah memberi sisa umurku untuk melindungi orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, dengan harapan mereka bisa membawa kedamaian untuk permukaan tanah. Namun, ternyata, orang-orang ini menghancurkan pelindung yang harganya tidak gratis, lalu menyerang orang-orang yang selama ini berusaha Aza lindungi—mustahil Aza tidak terluka. Mustahil Aza tidak kecewa pada Padang Anushka.Barangkali itu juga salah satu alasan Aza menahanku sangat lama—dengan cara spesifik memintaku turun ke puing-puing kota, bukannya lokasi yang menjadi Padang Anushka. Aza pasti tahu Reila tiba di sana ketika nantinya aku sampai di puing-puing kota. Sejak awal, Aza ingin mengembalikanku pada keluarga, bukan Padang A
Pertempuran itu menghabiskan tiga hari dua malam.Ya. Pertempuran. Bukan latihan. Bahkan Reila sempat kehilangan kendali akan kesadarannya. ketika sadar, dia merengek, “Aku mau pulang.”Itu reaksi yang sama seperti ketika aku pertama kali mendapat latihan serupa dari Aza. Waktu itu aku masih sebelas tahun. Dunia seperti neraka. Aza tidak ragu mengeluarkan kemampuan paling super untuk membuatku berhenti merengek. Dan Nenek, sepertinya sedang pakai tutup telinga—atau jarak kami memang keterlaluan jauh—karena kami bertempur di tengah-tengah hutan belantara.Terulang lagi kali ini. Bedanya aku berdua. Meskipun seperti sendiri karena Reila berulang kali kaget, tidak terima, lalu menuntut kalau semestinya tidak begini. Aku jadi heran apakah ini latihan standar yang diberikan oleh pemilik kemampuan roh karena Aza juga memakai cara latihan yang sama.Dibilang pertempuran, sebenarnya ini bukan pertempuran.Lebih tepatnya, ini permain
Aku ingin segera sadar, tetapi pikiranku justru melayang tinggi.Begitu kusadari, aku sudah berada di bibir danau Padang Anushka. Cuaca sedang mengamuk—bahkan seperti badai. Hujan membuat air danau memunculkan gelombang pasang. Dan bibir danau yang sebelumnya dipenuhi rerumputan basah, kini benar-benar sudah terendam air danau yang naik. Banyak kano yang harusnya terikat terbawa arus, terombang-ambing pada gelombang yang tidak beraturan. Dan aku di sana. Di bibir danau, siap menerima arus gelombang pasang seolah danau bukan lagi danau, melainkan laut di bibir pantai.Sayangnya, ketika aku membayangkan tubuhku akan terseret arus ombak—aku tidak. Aku tetap berdiri di bibir danau, dengan separuh badanku tenggelam, dan baru kusadari bahwa aku tidak benar-benar di sana.Maksudku, aku bahkan tidak punya tubuh. Ini hanya kesadaranku.Aku menoleh, mengedarkan pandangan, ujung mercusuar bersinar terang—menyorot ke segala arah. Namun, hujan mengab
Aku terbangun karena diguncang Reila.Entah sejak kapan dia sudah terbangun, tetapi yang jelas, kami terombang-ambing di danau. Langitnya mendung, bahkan terasa hujan rintik-rintik, lalu karena kami tidak punya dayung, kano harus digerakkan. Reila pikir aku bisa membuat air mendorong kano, tetapi kukatakan itu mustahil. Bukan karena aku tidak sanggup menggerakkan air, tetapi sesuatu dalam diriku seperti terserap habis.“Sama,” kata Reila. “Aku juga. Rasanya capek.”“Mungkin karena kita baru dari tempat hebat.”“Mungkin.” Reila juga tidak yakin. “Kita terlalu lama di sana.”Kabut masih cukup tebal, sehingga bibir danau tidak terlihat jelas. Di satu titik, aku merasa mimpiku kabur seolah tak ada yang bisa kuingat lagi. Aku merasa sudah melupakan hal penting, tetapi rasanya mengabur begitu saja.Meskipun agak sulit mengendalikan kemampuan, pada akhirnya kami bisa sedikit demi sedikit m
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t