Aku ingin segera sadar, tetapi pikiranku justru melayang tinggi.
Begitu kusadari, aku sudah berada di bibir danau Padang Anushka. Cuaca sedang mengamuk—bahkan seperti badai. Hujan membuat air danau memunculkan gelombang pasang. Dan bibir danau yang sebelumnya dipenuhi rerumputan basah, kini benar-benar sudah terendam air danau yang naik. Banyak kano yang harusnya terikat terbawa arus, terombang-ambing pada gelombang yang tidak beraturan. Dan aku di sana. Di bibir danau, siap menerima arus gelombang pasang seolah danau bukan lagi danau, melainkan laut di bibir pantai.
Sayangnya, ketika aku membayangkan tubuhku akan terseret arus ombak—aku tidak. Aku tetap berdiri di bibir danau, dengan separuh badanku tenggelam, dan baru kusadari bahwa aku tidak benar-benar di sana.
Maksudku, aku bahkan tidak punya tubuh. Ini hanya kesadaranku.
Aku menoleh, mengedarkan pandangan, ujung mercusuar bersinar terang—menyorot ke segala arah. Namun, hujan mengab
Aku terbangun karena diguncang Reila.Entah sejak kapan dia sudah terbangun, tetapi yang jelas, kami terombang-ambing di danau. Langitnya mendung, bahkan terasa hujan rintik-rintik, lalu karena kami tidak punya dayung, kano harus digerakkan. Reila pikir aku bisa membuat air mendorong kano, tetapi kukatakan itu mustahil. Bukan karena aku tidak sanggup menggerakkan air, tetapi sesuatu dalam diriku seperti terserap habis.“Sama,” kata Reila. “Aku juga. Rasanya capek.”“Mungkin karena kita baru dari tempat hebat.”“Mungkin.” Reila juga tidak yakin. “Kita terlalu lama di sana.”Kabut masih cukup tebal, sehingga bibir danau tidak terlihat jelas. Di satu titik, aku merasa mimpiku kabur seolah tak ada yang bisa kuingat lagi. Aku merasa sudah melupakan hal penting, tetapi rasanya mengabur begitu saja.Meskipun agak sulit mengendalikan kemampuan, pada akhirnya kami bisa sedikit demi sedikit m
Ketika akhirnya sampai di klinik, Isha sepertinya baru bangun tidur, jadi dia menatapku dan Reila, tidak tahu harus merespons yang mana, terutama ketika Kara ada di belakang kami, berkata, “Periksa kondisi mereka, Nak.”Menurut keterangan Dokter Gelda, Isha terjaga dua hari berturut-turut tanpa tidur, lalu baru saja tertidur setengah hari ketika aku tiba di ladang.“Sulit berpikir jernih,” kata Isha. “Yang perlu kulakukan hanya memeriksa? Atau ada yang harus kulakukan lagi?”“Hanya memeriksa.” Dokter Gelda membenarkan. “Dan memulihkan.”Jadi, Dokter Gelda menjelaskan situasi yang baru terjadi, ketika aku sampai di danau ladang, yang membuat Isha bertanya mengapa aku bisa di sana, jadi Dokter Gelda bilang kalau aku baru dari Pulau Pendiri. Itu membuat Isha mengernyitkan alis, berulang kali melihat antara aku, Reila, aku, Reila, lalu menghela napas.Setelah yakin dengan yang dia lihat, Isha
Belakangan, ternyata Reila meminta maaf sambil bersimpuh—semata-mata dia sendiri juga tidak sadar mengapa sampai bersimpuh, tetapi katanya Reila sudah gemetar, bahkan tidak mampu melihat mata Lavi. Reila tidak berdaya, lalu meminta maaf—yang lebih tepat disebut meminta pengampunan—dengan ketakutan.Lavi, yang terkejut memaksanya berhenti melakukan itu. Reila membantah sampai menetap di posisi itu hampir lebih dari tiga menit.Lavi tidak bertanya alasan Reila membawaku, dia hanya bilang, “Aku tahu kau tidak memaksanya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa menurut padamu, tapi aku senang kalian kembali. Jangan meminta maaf seolah aku akan membunuhmu.” Itu membuatku dan Lavi tertawa.Sebenarnya ada banyak yang ingin kubicarakan, tetapi ketika Lavi duduk di depanku seperti ini, bercerita dengan antusias seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tenggorokanku tercekat. Barangkali dia tidak lagi marah, dan alih-alih aku meminta maaf, dia yang memint
Setelah hampir mati dibunuh Lavi, bersama Lavi ternyata menenangkan.Tenda sudah tidak menyisakan apa pun, kecuali tendanya sendiri, jadi kami duduk di atas rumput basah, dan suasananya masih romantis untuk beberapa waktu. Setidaknya, Lavi masih bisa menyandar bahuku, dan aku menikmati irama waktu, sampai akhirnya kuputuskan bercerita semua yang terjadi di Pulau Pendiri.Kurang lebih, Lavi langsung kehilangan reaksi.Mata Lavi benar-benar jarang pergi dari mataku, tidak terkecuali ketika aku bercerita hal-hal pedih di masa lalu dan semua citra yang kulihat, termasuk semua kebenaran yang baru kumengerti setelah bertemu Ratu Arwah. Lavi memilih tidak memotong cerita sama sekali, membiarkanku cerita semua yang terjadi, sehingga waktu tidak terasa telah bergulir, dan dari ufuk timur, fajar mulai tiba. Dia benar-benar meletakkan semua perhatiannya pada setiap kata yang kuucapkan dan meski aku sesekali mengajaknya untuk menebak, dia benar-benar memikirkan itu sangat m
Jadi, aku menahannya pergi. Kubilang, “Sepuluh menit saja.”Ternyata Lavi jauh lebih terkejut lagi ketika aku memberitahu tentang Aza.Kali ini sepertinya sampai membuat roda di dalam kepalanya berhenti, jadi dia menatapku seperti melongo, memutar balik ingatan tanpa memakai roda—dan berakhir mengerang. “Sang Pendiri? Tinggal bersamamu? Kau pasti bercanda!”“Pembicaraan ini agak bahaya,” kataku.“Sangat bahaya!” protesnya, lalu melihat sekeliling. Sepertinya roda dalam otaknya kembali berputar. “Kau tahu aku bahkan tidak tahu nama Sang Pendiri? Di sini tidak pernah dianjurkan menyebut nama! Nama punya kekuatan! Tapi tadi kau menyebut namanya—bahkan sangat akrab! Sungguh? Kau dilatih olehnya?”“Di pondok,” anggukku, sangat normal. “Bukan dilatih. Dirawat.”“Pondok tengah gunung? Dia—Beliau masih hidup?”“Selama sembil
Orang kedua yang tahu tentang masa lalu dan adikku: Dalton.Kalau kupikirkan lagi, dia orang pertama yang tahu tentang ingatanku, tepat ketika kami masih di alam liar, mencari jalan menuju Padang Anushka. Aku ingat Dalton melihat langsung buku harianku yang sudah hampir hancur, dan secara tidak langsung, dia ikut membantu memberi begitu banyak informasi hingga aku pergi ke Pulau Pendiri. Karena itulah, aku mengetuk pintu gerhanya pagi-pagi buta.“Hai, Forlan.” Elton yang membuka pintu. “Lama tidak bertemu.”“Ya. Maaf membuatmu cemas.” Aku menggaruk kepala. “Dalton?”“Patroli malam.”“Patroli? Sekarang sudah pagi.”“Mungkin di pondok.”Aku memikirkan topik pembicaraan yang bisa kukatakan padanya. Kuingat Elton ikut membantu mencariku di danau, tetapi kalau aku berterima kasih, rasanya aneh karena dia mungkin akan bertanya-tanya bagaimana caraku tahu. Se
Ini pertama kali aku memasuki Balai Dewan setelah bangunannya hampir hancur. Kuingat, sebagian runtuh, dan sebagian lagi hampir roboh—tetapi sekarang Balai Dewan justru terlihat seperti Balai Dewan yang tidak pernah meledak.Sewaktu naik ke lantai dua, aku cemas lantai ini bisa runtuh kapan pun.Lorong Balai Dewan sebenarnya seperti kastel. Keramiknya dilapisi karpet bagus, di sisi kiri ada pot bunga berjajar, di sisi kanan, ada jendela rendah yang bisa memperlihatkan hutan Padang Anushka. Padang rumput tertutup pohon, tetapi ada ujung gelanggang yang terlihat. Aku pernah melihat pemandangan malam Padang Anushka dari sini, dan itu cukup mengerikan, meski juga bagus karena lampu milik Dalton membuat jalan berpaving dan padang rumput terkadang warna-warni.Aku berhenti di depan pintu, mengetuk tiga kali dengan cepat.Selama beberapa saat tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Sebenarnya mengetuk pintu hanya iseng, aku tahu harus memencet bel kalau
Profesor Merla datang dengan helaan napas.Awalnya, Layla berniat langsung menyambutnya, mengatakan bahwa aku kembali mengingat semua masa laluku, tetapi melihat Profesor Merla begitu lelah, dia tiba-tiba membungkam mulutnya sendiri. Aura Profesor Merla memang terasa muram seolah sesuatu sudah berjalan tidak sesuai rencana.Layla hanya bertanya, “Tidak berhasil lagi, ya?”“Ya.” Profesor Merla masuk. Aku masih di ruangan dalam, Profesor Merla kedengaran di ruangan luar. “Terlalu rumit. Bukan enkripsi biasa.”Jadi, Profesor Merla masuk ke ruangan dalam, terkejut mendapatiku.“Oh, hai, Forlan.” Profesor Merla tertawa. “Kurasa ini pertama kita bertemu setelah lima belas hari. Fal bersamaku, jadi aku tidak menyangka kau di sini. Kalian akur? Tidak menghancurkan perabotan apa pun?”“Lumayan. Layla hampir melempar sofa saat kalah,” aku tertawa.“Bukannya itu kau?&r