Ketika akhirnya sampai di klinik, Isha sepertinya baru bangun tidur, jadi dia menatapku dan Reila, tidak tahu harus merespons yang mana, terutama ketika Kara ada di belakang kami, berkata, “Periksa kondisi mereka, Nak.”
Menurut keterangan Dokter Gelda, Isha terjaga dua hari berturut-turut tanpa tidur, lalu baru saja tertidur setengah hari ketika aku tiba di ladang.
“Sulit berpikir jernih,” kata Isha. “Yang perlu kulakukan hanya memeriksa? Atau ada yang harus kulakukan lagi?”
“Hanya memeriksa.” Dokter Gelda membenarkan. “Dan memulihkan.”
Jadi, Dokter Gelda menjelaskan situasi yang baru terjadi, ketika aku sampai di danau ladang, yang membuat Isha bertanya mengapa aku bisa di sana, jadi Dokter Gelda bilang kalau aku baru dari Pulau Pendiri. Itu membuat Isha mengernyitkan alis, berulang kali melihat antara aku, Reila, aku, Reila, lalu menghela napas.
Setelah yakin dengan yang dia lihat, Isha
Belakangan, ternyata Reila meminta maaf sambil bersimpuh—semata-mata dia sendiri juga tidak sadar mengapa sampai bersimpuh, tetapi katanya Reila sudah gemetar, bahkan tidak mampu melihat mata Lavi. Reila tidak berdaya, lalu meminta maaf—yang lebih tepat disebut meminta pengampunan—dengan ketakutan.Lavi, yang terkejut memaksanya berhenti melakukan itu. Reila membantah sampai menetap di posisi itu hampir lebih dari tiga menit.Lavi tidak bertanya alasan Reila membawaku, dia hanya bilang, “Aku tahu kau tidak memaksanya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa menurut padamu, tapi aku senang kalian kembali. Jangan meminta maaf seolah aku akan membunuhmu.” Itu membuatku dan Lavi tertawa.Sebenarnya ada banyak yang ingin kubicarakan, tetapi ketika Lavi duduk di depanku seperti ini, bercerita dengan antusias seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tenggorokanku tercekat. Barangkali dia tidak lagi marah, dan alih-alih aku meminta maaf, dia yang memint
Setelah hampir mati dibunuh Lavi, bersama Lavi ternyata menenangkan.Tenda sudah tidak menyisakan apa pun, kecuali tendanya sendiri, jadi kami duduk di atas rumput basah, dan suasananya masih romantis untuk beberapa waktu. Setidaknya, Lavi masih bisa menyandar bahuku, dan aku menikmati irama waktu, sampai akhirnya kuputuskan bercerita semua yang terjadi di Pulau Pendiri.Kurang lebih, Lavi langsung kehilangan reaksi.Mata Lavi benar-benar jarang pergi dari mataku, tidak terkecuali ketika aku bercerita hal-hal pedih di masa lalu dan semua citra yang kulihat, termasuk semua kebenaran yang baru kumengerti setelah bertemu Ratu Arwah. Lavi memilih tidak memotong cerita sama sekali, membiarkanku cerita semua yang terjadi, sehingga waktu tidak terasa telah bergulir, dan dari ufuk timur, fajar mulai tiba. Dia benar-benar meletakkan semua perhatiannya pada setiap kata yang kuucapkan dan meski aku sesekali mengajaknya untuk menebak, dia benar-benar memikirkan itu sangat m
Jadi, aku menahannya pergi. Kubilang, “Sepuluh menit saja.”Ternyata Lavi jauh lebih terkejut lagi ketika aku memberitahu tentang Aza.Kali ini sepertinya sampai membuat roda di dalam kepalanya berhenti, jadi dia menatapku seperti melongo, memutar balik ingatan tanpa memakai roda—dan berakhir mengerang. “Sang Pendiri? Tinggal bersamamu? Kau pasti bercanda!”“Pembicaraan ini agak bahaya,” kataku.“Sangat bahaya!” protesnya, lalu melihat sekeliling. Sepertinya roda dalam otaknya kembali berputar. “Kau tahu aku bahkan tidak tahu nama Sang Pendiri? Di sini tidak pernah dianjurkan menyebut nama! Nama punya kekuatan! Tapi tadi kau menyebut namanya—bahkan sangat akrab! Sungguh? Kau dilatih olehnya?”“Di pondok,” anggukku, sangat normal. “Bukan dilatih. Dirawat.”“Pondok tengah gunung? Dia—Beliau masih hidup?”“Selama sembil
Orang kedua yang tahu tentang masa lalu dan adikku: Dalton.Kalau kupikirkan lagi, dia orang pertama yang tahu tentang ingatanku, tepat ketika kami masih di alam liar, mencari jalan menuju Padang Anushka. Aku ingat Dalton melihat langsung buku harianku yang sudah hampir hancur, dan secara tidak langsung, dia ikut membantu memberi begitu banyak informasi hingga aku pergi ke Pulau Pendiri. Karena itulah, aku mengetuk pintu gerhanya pagi-pagi buta.“Hai, Forlan.” Elton yang membuka pintu. “Lama tidak bertemu.”“Ya. Maaf membuatmu cemas.” Aku menggaruk kepala. “Dalton?”“Patroli malam.”“Patroli? Sekarang sudah pagi.”“Mungkin di pondok.”Aku memikirkan topik pembicaraan yang bisa kukatakan padanya. Kuingat Elton ikut membantu mencariku di danau, tetapi kalau aku berterima kasih, rasanya aneh karena dia mungkin akan bertanya-tanya bagaimana caraku tahu. Se
Ini pertama kali aku memasuki Balai Dewan setelah bangunannya hampir hancur. Kuingat, sebagian runtuh, dan sebagian lagi hampir roboh—tetapi sekarang Balai Dewan justru terlihat seperti Balai Dewan yang tidak pernah meledak.Sewaktu naik ke lantai dua, aku cemas lantai ini bisa runtuh kapan pun.Lorong Balai Dewan sebenarnya seperti kastel. Keramiknya dilapisi karpet bagus, di sisi kiri ada pot bunga berjajar, di sisi kanan, ada jendela rendah yang bisa memperlihatkan hutan Padang Anushka. Padang rumput tertutup pohon, tetapi ada ujung gelanggang yang terlihat. Aku pernah melihat pemandangan malam Padang Anushka dari sini, dan itu cukup mengerikan, meski juga bagus karena lampu milik Dalton membuat jalan berpaving dan padang rumput terkadang warna-warni.Aku berhenti di depan pintu, mengetuk tiga kali dengan cepat.Selama beberapa saat tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Sebenarnya mengetuk pintu hanya iseng, aku tahu harus memencet bel kalau
Profesor Merla datang dengan helaan napas.Awalnya, Layla berniat langsung menyambutnya, mengatakan bahwa aku kembali mengingat semua masa laluku, tetapi melihat Profesor Merla begitu lelah, dia tiba-tiba membungkam mulutnya sendiri. Aura Profesor Merla memang terasa muram seolah sesuatu sudah berjalan tidak sesuai rencana.Layla hanya bertanya, “Tidak berhasil lagi, ya?”“Ya.” Profesor Merla masuk. Aku masih di ruangan dalam, Profesor Merla kedengaran di ruangan luar. “Terlalu rumit. Bukan enkripsi biasa.”Jadi, Profesor Merla masuk ke ruangan dalam, terkejut mendapatiku.“Oh, hai, Forlan.” Profesor Merla tertawa. “Kurasa ini pertama kita bertemu setelah lima belas hari. Fal bersamaku, jadi aku tidak menyangka kau di sini. Kalian akur? Tidak menghancurkan perabotan apa pun?”“Lumayan. Layla hampir melempar sofa saat kalah,” aku tertawa.“Bukannya itu kau?&r
Matahari mulai tenggelam saat aku melompati pagar belakang Reila.Cukup aneh karena hampir selama di Padang Anushka, aku belum pernah satu kali pun masuk gerhanya. Ketika akhirnya punya kesempatan masuk—ketika aku menjadi petugas inspeksi kebersihan bersama Tara, aku tidak masuk gerhanya. Hanya menunggu di luar. Jadi, kini, rasanya aneh karena aku dengan cara paling wajar bisa masuk, membuka pintu seolah itu gerhaku sendiri. Dan aku membuka pintu belakang, bukan pintu depan, yang secara teknis terhubung langsung dengan ruang tengah—satu-satunya ruangan utama di gerhanya.Bisa dibilang, gerha Reila minimalis. Ruang tengahnya luas, seperti terbagi menjadi beberapa sekat, dan berantakan. Aku tahu Reila punya kemampuan yang mengizinkannya bersih-bersih dengan cepat, jadi dia pasti hanya bersih-bersih saat masa inspeksi kebersihan tiba. Ruang utamanya seperti ruang utama yang kuingat dalam rumah lama kami di Lembah Palapa: penuh kehangatan dan dipenuhi interior
Selama ini aku mengira bunga-bunga yang ada di makam ibu selalu ramai karena penghuni merasa begitu kehilangan akan kepergian ibu selama 10 tahun.Namun, ketika saat ini tiba di depan batu nisannya bersama Reila, kepalaku baru terasa begitu cerah: mustahil para penghuni mengetahui keberadaan ibu ketika penghuni sebelum perang 10 tahun lalu yang bertahan hanya bersisa empat orang: Haswin, Yasha, Dhiena, Mika, plus para dewan. Barangkali mereka kehilangan atas ibuku, tetapi apakah mungkin mereka akan rutin mengunjungi ibu ketika tidak ada seorang pun yang lebih rajin dariku untuk mengunjunginya? Aku pernah bertemu Haswin ketika menuju Telaga, dan kesimpulan yang langsung terlintas di benakku: dia mengunjungi Ibu—tetapi benarkah dia mengunjungi Ibu? Andai dia sungguhan mengunjungi Ibu, aku yakin dia tidak hanya mengunjungi Ibu. Dan apa Haswin—atau siapa pun—akan menyiapkan begitu banyak bunga hanya untuk Ibu?Pada akhirnya, ketika aku tahu keberadaan adi
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak