Matahari mulai tenggelam saat aku melompati pagar belakang Reila.
Cukup aneh karena hampir selama di Padang Anushka, aku belum pernah satu kali pun masuk gerhanya. Ketika akhirnya punya kesempatan masuk—ketika aku menjadi petugas inspeksi kebersihan bersama Tara, aku tidak masuk gerhanya. Hanya menunggu di luar. Jadi, kini, rasanya aneh karena aku dengan cara paling wajar bisa masuk, membuka pintu seolah itu gerhaku sendiri. Dan aku membuka pintu belakang, bukan pintu depan, yang secara teknis terhubung langsung dengan ruang tengah—satu-satunya ruangan utama di gerhanya.
Bisa dibilang, gerha Reila minimalis. Ruang tengahnya luas, seperti terbagi menjadi beberapa sekat, dan berantakan. Aku tahu Reila punya kemampuan yang mengizinkannya bersih-bersih dengan cepat, jadi dia pasti hanya bersih-bersih saat masa inspeksi kebersihan tiba. Ruang utamanya seperti ruang utama yang kuingat dalam rumah lama kami di Lembah Palapa: penuh kehangatan dan dipenuhi interior
Selama ini aku mengira bunga-bunga yang ada di makam ibu selalu ramai karena penghuni merasa begitu kehilangan akan kepergian ibu selama 10 tahun.Namun, ketika saat ini tiba di depan batu nisannya bersama Reila, kepalaku baru terasa begitu cerah: mustahil para penghuni mengetahui keberadaan ibu ketika penghuni sebelum perang 10 tahun lalu yang bertahan hanya bersisa empat orang: Haswin, Yasha, Dhiena, Mika, plus para dewan. Barangkali mereka kehilangan atas ibuku, tetapi apakah mungkin mereka akan rutin mengunjungi ibu ketika tidak ada seorang pun yang lebih rajin dariku untuk mengunjunginya? Aku pernah bertemu Haswin ketika menuju Telaga, dan kesimpulan yang langsung terlintas di benakku: dia mengunjungi Ibu—tetapi benarkah dia mengunjungi Ibu? Andai dia sungguhan mengunjungi Ibu, aku yakin dia tidak hanya mengunjungi Ibu. Dan apa Haswin—atau siapa pun—akan menyiapkan begitu banyak bunga hanya untuk Ibu?Pada akhirnya, ketika aku tahu keberadaan adi
Susunan Rapat Dewan kali ini berbeda dari biasanya.Kursinya dibuat melingkar dengan tambahan kursi cukup banyak. Saat kami tiba, di tempat sudah ada kelima dewan—minus Profesor Merla—tim medis, tim bertahan, tim tungku, dan tim peneliti. Aslan hanya seorang diri. Kuingat lagi, dia memang tidak punya wakil. Kursi tersusun dengan kelima dewan di sisi seberang pintu masuk, lalu berurut ke kanan: tim peneliti, tim bertahan, tim penyerang, lalu kursi-kursi tanpa nama, tim medis, tim tungku, Aslan, kembali lagi ke dewan. Agak beda dari biasanya. Kali ini, dengan susunan kursi seperti ini, tim penyerang yang biasanya di sebelah dewan harus benar-benar berhadapan dengan Jenderal. Namun, susunan seperti ini rasanya juga cukup imbang. Jesse, lanjut Nuel, Haswin, Yasha, Lavi, aku, berlanjut ke kursi tamu, lalu Isha, Tara, Dhiena, Mika, Aslan. Susunan ini tidak terlalu menyulut konflik. Lumayan oke untuk diskusi.“Ini dia, para tokoh utama,” sambut Jesse, di kursi.“Tidakkah memalukan harus dije
Kuputuskan melaporkan dari hal paling umum: mengapa kami bisa sampai di Pulau Pendiri. Aku dan Reila sudah sempat berbincang soal ini, tentang apa saja yang harus kami umumkan di Rapat Dewan, dan Reila tidak masalah membocorkan semuanya meskipun itu artinya akan membuatnya terlihat seperti orang yang paling bertanggung jawab membuat kami terdampar di Pulau Pendiri. Aku berusaha tidak menonjolkan peran Reila—meski lumayan sulit—dan kurang lebih, itu membuat Jesse langsung menyergah, “Hanya berlayar begitu saja di danau?”Aku bisa menduga Jesse sudah melakukan banyak cara untuk itu.Kara meminta Jesse tidak memotong, dan Nuel juga berusaha sedemikian rupa menenangkan Jesse yang hampir selalu ingin berkomentar di setiap gagasan yang kuucapkan, tetapi puncaknya, adalah ketika aku membongkar poin pertama: kebenaran Reila. Kurang lebih, raut para dewan dipenuhi nuansa bersalah.Aku bisa membagi reaksi para petinggi tim menjadi orang yang terkej
Aku yakin hampir sebagian besar petinggi tim tidak mengerti kondisinya.Meskipun begitu, ketika dewan mulai memeluk Reila seperti memberinya rasa terima kasih, tidak ada satu pun petinggi tim yang protes. Maksudku, itu cukup memakan banyak waktu sampai kurasa bahasan Rapat Dewan terpotong begitu saja. Ceritaku bahkan belum selesai. Aku baru mengumumkan kebenaran Reila.Jadi, Nadir meminta waktu istirahat sebentar—kurang lebih karena kondisi emosional beberapa orang masih belum benar-benar kembali. Jenderal dan Reila memutuskan bicara empat mata di belakang Pendopo, yang sepertinya juga diikuti Kara dan Dokter Gelda. Namun, sebelum mereka melakukan itu, aku yang sehabis dipeluk Profesor Merla, didatangi Reila, dan tanpa peringatan apa pun, dia langsung menampar keras. Semua orang terkejut. Perhatian segera tertarik, tetapi Reila tidak mau bicara lagi, hanya langsung berlalu ke belakang Pendopo.Aku dan Profesor Merla berpandangan.“Jangan-janga
Rapat Dewan ada dalam cekungan waktu yang membeku ketika aku mulai melaporkan apa yang dikatakan Akshaya tentang kemampuanku.Tiba-tiba tempat kami berkumpul sudah tidak bersuara seolah semua orang tersentak sampai mengeras begitu saja. Ada beberapa orang yang sudah mengerti kebenarannya—Profesor Merla, Layla, Reila, Lavi—tetapi mereka tidak membuat keadaan terasa jauh lebih ringan. Mereka hanya bungkam seolah tidak tahu apa lagi yang harus dibicarakan. Lavi bahkan mulai tertarik menatap lantai Pendopo.Jenderal terlihat lebih serius dari biasanya. Kara juga berulang kali menatap Profesor Merla di sebelahnya seolah mencari konfirmasi, dan Profesor Merla selalu hanya mengangguk atau mengedikkan bahu. Kurasakan Dokter Gelda juga tampak mulai kaku seolah kepalanya sedang memutar balik segala hal aneh yang terjadi padaku—sama seperti cara memandang Isha dan Tara padaku saat ini. Sebenarnya yang mengejutkan justru Jesse dan Nuel. Kubayangkan mereka marah,
Sayangnya, Jesse kali ini menghindari pertanyaan. Dia hanya melengos—tidak berniat peduli apa pertanyaanku, hanya meminta Nadir melanjutkan.Jadi, aku mengangkat alis pada Lavi, seperti bilang, “Aku sudah tahu akan jadi seperti ini, jangan meragukan firasatku.”Lavi tidak mau bertautan mata, sepertinya marah.“Aku tidak mau menganggap Forlan kunci daya tempur kita, tapi bukannya itu artinya kita ada di masa yang penuh celah?” tanya Dokter Gelda.“Itu yang kupikirkan,” gumam Kara. “Kemampuan roh berarti banyak untuk garis depan. Pimpinan musuh pasti mengincar Forlan. Itu sebabnya hampir setiap misi, frekuensi pertemuan Forlan dengan musuh selalu lebih banyak dari yang lain. Ada kemungkinan sejak awal musuh sudah tahu keberadaan kemampuan roh dalam diri Forlan. Itu artinya, keadaan sekarang tidak mengubah apa pun.”“Berarti kita harus menarik Forlan dari garis depan?” tanya Nadir.
Aku sudah membayangkan para penghuni bertanya-tanya bagaimana Rapat Dewan bisa berakhir dengan kondisi mengkhawatirkan—karena semua orang yang hadir kembali dalam waktu berbeda—tetapi semua orang yang terlibat malam itu, entah bagaimana sepakat dalam satu suara, bahkan tanpa pernah berunding—bahwa itu rahasia para dewan. Lebih anehnya lagi, tidak ada petinggi tim yang bertanya-tanya mengapa mereka bisa tiba-tiba tidak sadarkan diri, mengingat hampir semua orang juga ambruk di tempat yang sama.Jadi, semua bermula ketika semua orang diangkut ke klinik—beruntungnya, klinik punya ruangan yang cukup untuk semua orang. Tim medis ambruk. Namun, tetap harus ada yang menjaga. Dokter Gelda tetap membuka mata, tetapi karena aku merasa bertanggung jawab, sepanjang malam aku menemani Dokter Gelda.Bersama Fal.Fal masih terjaga di pondok utama. Sebenarnya bersama Dalton dan Elton, tetapi mereka gagal menahan kantuk. Jadi, saat aku menjemput Fal, dia
Dokter Gelda menyarankan untuk memisahkanku dengan Lavi untuk waktu yang tidak ditentukan. Dia langsung membawa Lavi kembali ke Gerhanya, semata-mata agar kondisinya bisa benar-benar pulih. Lavi masih kelihatan syok.Aku tidak punya pembelaan. Pertama, bisa jadi itu bukan mimpi. Itu cuma penglihatan yang ditunjukkan pemilik kemampuan jiwa sebagai bentuk perlawanan yang berniat menghancurkan jiwa Lavi. Kedua, terkadang mimpi tidak benar-benar terjadi. Lavi pernah bermimpi aku terbunuh, tetapi pada akhirnya, dia sendiri yang, secara teknis, membunuhku. Ketiga, setelah jiwa kami terikat pada batu yang tidak stabil, aku tahu nyawa kami memang sudah di ujung tanduk.Gagasan itu membuatku pergi dari klinik, yang mungkin saja akan membuat situasi semakin runyam. Aku yakin yang bermimpi aneh tidak hanya Lavi. Dokter Gelda juga sepakat agar aku tidak terlalu terlibat dalam kegiatan penghuni sampai Rapat Dewan berikutnya—yang rencananya, “Malam ini. Ini hanya perkira
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da