Belakangan, ternyata Reila meminta maaf sambil bersimpuh—semata-mata dia sendiri juga tidak sadar mengapa sampai bersimpuh, tetapi katanya Reila sudah gemetar, bahkan tidak mampu melihat mata Lavi. Reila tidak berdaya, lalu meminta maaf—yang lebih tepat disebut meminta pengampunan—dengan ketakutan.
Lavi, yang terkejut memaksanya berhenti melakukan itu. Reila membantah sampai menetap di posisi itu hampir lebih dari tiga menit.
Lavi tidak bertanya alasan Reila membawaku, dia hanya bilang, “Aku tahu kau tidak memaksanya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa menurut padamu, tapi aku senang kalian kembali. Jangan meminta maaf seolah aku akan membunuhmu.” Itu membuatku dan Lavi tertawa.
Sebenarnya ada banyak yang ingin kubicarakan, tetapi ketika Lavi duduk di depanku seperti ini, bercerita dengan antusias seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tenggorokanku tercekat. Barangkali dia tidak lagi marah, dan alih-alih aku meminta maaf, dia yang memint
Setelah hampir mati dibunuh Lavi, bersama Lavi ternyata menenangkan.Tenda sudah tidak menyisakan apa pun, kecuali tendanya sendiri, jadi kami duduk di atas rumput basah, dan suasananya masih romantis untuk beberapa waktu. Setidaknya, Lavi masih bisa menyandar bahuku, dan aku menikmati irama waktu, sampai akhirnya kuputuskan bercerita semua yang terjadi di Pulau Pendiri.Kurang lebih, Lavi langsung kehilangan reaksi.Mata Lavi benar-benar jarang pergi dari mataku, tidak terkecuali ketika aku bercerita hal-hal pedih di masa lalu dan semua citra yang kulihat, termasuk semua kebenaran yang baru kumengerti setelah bertemu Ratu Arwah. Lavi memilih tidak memotong cerita sama sekali, membiarkanku cerita semua yang terjadi, sehingga waktu tidak terasa telah bergulir, dan dari ufuk timur, fajar mulai tiba. Dia benar-benar meletakkan semua perhatiannya pada setiap kata yang kuucapkan dan meski aku sesekali mengajaknya untuk menebak, dia benar-benar memikirkan itu sangat m
Jadi, aku menahannya pergi. Kubilang, “Sepuluh menit saja.”Ternyata Lavi jauh lebih terkejut lagi ketika aku memberitahu tentang Aza.Kali ini sepertinya sampai membuat roda di dalam kepalanya berhenti, jadi dia menatapku seperti melongo, memutar balik ingatan tanpa memakai roda—dan berakhir mengerang. “Sang Pendiri? Tinggal bersamamu? Kau pasti bercanda!”“Pembicaraan ini agak bahaya,” kataku.“Sangat bahaya!” protesnya, lalu melihat sekeliling. Sepertinya roda dalam otaknya kembali berputar. “Kau tahu aku bahkan tidak tahu nama Sang Pendiri? Di sini tidak pernah dianjurkan menyebut nama! Nama punya kekuatan! Tapi tadi kau menyebut namanya—bahkan sangat akrab! Sungguh? Kau dilatih olehnya?”“Di pondok,” anggukku, sangat normal. “Bukan dilatih. Dirawat.”“Pondok tengah gunung? Dia—Beliau masih hidup?”“Selama sembil
Orang kedua yang tahu tentang masa lalu dan adikku: Dalton.Kalau kupikirkan lagi, dia orang pertama yang tahu tentang ingatanku, tepat ketika kami masih di alam liar, mencari jalan menuju Padang Anushka. Aku ingat Dalton melihat langsung buku harianku yang sudah hampir hancur, dan secara tidak langsung, dia ikut membantu memberi begitu banyak informasi hingga aku pergi ke Pulau Pendiri. Karena itulah, aku mengetuk pintu gerhanya pagi-pagi buta.“Hai, Forlan.” Elton yang membuka pintu. “Lama tidak bertemu.”“Ya. Maaf membuatmu cemas.” Aku menggaruk kepala. “Dalton?”“Patroli malam.”“Patroli? Sekarang sudah pagi.”“Mungkin di pondok.”Aku memikirkan topik pembicaraan yang bisa kukatakan padanya. Kuingat Elton ikut membantu mencariku di danau, tetapi kalau aku berterima kasih, rasanya aneh karena dia mungkin akan bertanya-tanya bagaimana caraku tahu. Se
Ini pertama kali aku memasuki Balai Dewan setelah bangunannya hampir hancur. Kuingat, sebagian runtuh, dan sebagian lagi hampir roboh—tetapi sekarang Balai Dewan justru terlihat seperti Balai Dewan yang tidak pernah meledak.Sewaktu naik ke lantai dua, aku cemas lantai ini bisa runtuh kapan pun.Lorong Balai Dewan sebenarnya seperti kastel. Keramiknya dilapisi karpet bagus, di sisi kiri ada pot bunga berjajar, di sisi kanan, ada jendela rendah yang bisa memperlihatkan hutan Padang Anushka. Padang rumput tertutup pohon, tetapi ada ujung gelanggang yang terlihat. Aku pernah melihat pemandangan malam Padang Anushka dari sini, dan itu cukup mengerikan, meski juga bagus karena lampu milik Dalton membuat jalan berpaving dan padang rumput terkadang warna-warni.Aku berhenti di depan pintu, mengetuk tiga kali dengan cepat.Selama beberapa saat tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Sebenarnya mengetuk pintu hanya iseng, aku tahu harus memencet bel kalau
Profesor Merla datang dengan helaan napas.Awalnya, Layla berniat langsung menyambutnya, mengatakan bahwa aku kembali mengingat semua masa laluku, tetapi melihat Profesor Merla begitu lelah, dia tiba-tiba membungkam mulutnya sendiri. Aura Profesor Merla memang terasa muram seolah sesuatu sudah berjalan tidak sesuai rencana.Layla hanya bertanya, “Tidak berhasil lagi, ya?”“Ya.” Profesor Merla masuk. Aku masih di ruangan dalam, Profesor Merla kedengaran di ruangan luar. “Terlalu rumit. Bukan enkripsi biasa.”Jadi, Profesor Merla masuk ke ruangan dalam, terkejut mendapatiku.“Oh, hai, Forlan.” Profesor Merla tertawa. “Kurasa ini pertama kita bertemu setelah lima belas hari. Fal bersamaku, jadi aku tidak menyangka kau di sini. Kalian akur? Tidak menghancurkan perabotan apa pun?”“Lumayan. Layla hampir melempar sofa saat kalah,” aku tertawa.“Bukannya itu kau?&r
Matahari mulai tenggelam saat aku melompati pagar belakang Reila.Cukup aneh karena hampir selama di Padang Anushka, aku belum pernah satu kali pun masuk gerhanya. Ketika akhirnya punya kesempatan masuk—ketika aku menjadi petugas inspeksi kebersihan bersama Tara, aku tidak masuk gerhanya. Hanya menunggu di luar. Jadi, kini, rasanya aneh karena aku dengan cara paling wajar bisa masuk, membuka pintu seolah itu gerhaku sendiri. Dan aku membuka pintu belakang, bukan pintu depan, yang secara teknis terhubung langsung dengan ruang tengah—satu-satunya ruangan utama di gerhanya.Bisa dibilang, gerha Reila minimalis. Ruang tengahnya luas, seperti terbagi menjadi beberapa sekat, dan berantakan. Aku tahu Reila punya kemampuan yang mengizinkannya bersih-bersih dengan cepat, jadi dia pasti hanya bersih-bersih saat masa inspeksi kebersihan tiba. Ruang utamanya seperti ruang utama yang kuingat dalam rumah lama kami di Lembah Palapa: penuh kehangatan dan dipenuhi interior
Selama ini aku mengira bunga-bunga yang ada di makam ibu selalu ramai karena penghuni merasa begitu kehilangan akan kepergian ibu selama 10 tahun.Namun, ketika saat ini tiba di depan batu nisannya bersama Reila, kepalaku baru terasa begitu cerah: mustahil para penghuni mengetahui keberadaan ibu ketika penghuni sebelum perang 10 tahun lalu yang bertahan hanya bersisa empat orang: Haswin, Yasha, Dhiena, Mika, plus para dewan. Barangkali mereka kehilangan atas ibuku, tetapi apakah mungkin mereka akan rutin mengunjungi ibu ketika tidak ada seorang pun yang lebih rajin dariku untuk mengunjunginya? Aku pernah bertemu Haswin ketika menuju Telaga, dan kesimpulan yang langsung terlintas di benakku: dia mengunjungi Ibu—tetapi benarkah dia mengunjungi Ibu? Andai dia sungguhan mengunjungi Ibu, aku yakin dia tidak hanya mengunjungi Ibu. Dan apa Haswin—atau siapa pun—akan menyiapkan begitu banyak bunga hanya untuk Ibu?Pada akhirnya, ketika aku tahu keberadaan adi
Susunan Rapat Dewan kali ini berbeda dari biasanya.Kursinya dibuat melingkar dengan tambahan kursi cukup banyak. Saat kami tiba, di tempat sudah ada kelima dewan—minus Profesor Merla—tim medis, tim bertahan, tim tungku, dan tim peneliti. Aslan hanya seorang diri. Kuingat lagi, dia memang tidak punya wakil. Kursi tersusun dengan kelima dewan di sisi seberang pintu masuk, lalu berurut ke kanan: tim peneliti, tim bertahan, tim penyerang, lalu kursi-kursi tanpa nama, tim medis, tim tungku, Aslan, kembali lagi ke dewan. Agak beda dari biasanya. Kali ini, dengan susunan kursi seperti ini, tim penyerang yang biasanya di sebelah dewan harus benar-benar berhadapan dengan Jenderal. Namun, susunan seperti ini rasanya juga cukup imbang. Jesse, lanjut Nuel, Haswin, Yasha, Lavi, aku, berlanjut ke kursi tamu, lalu Isha, Tara, Dhiena, Mika, Aslan. Susunan ini tidak terlalu menyulut konflik. Lumayan oke untuk diskusi.“Ini dia, para tokoh utama,” sambut Jesse, di kursi.“Tidakkah memalukan harus dije
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t