Kuputuskan melaporkan dari hal paling umum: mengapa kami bisa sampai di Pulau Pendiri. Aku dan Reila sudah sempat berbincang soal ini, tentang apa saja yang harus kami umumkan di Rapat Dewan, dan Reila tidak masalah membocorkan semuanya meskipun itu artinya akan membuatnya terlihat seperti orang yang paling bertanggung jawab membuat kami terdampar di Pulau Pendiri. Aku berusaha tidak menonjolkan peran Reila—meski lumayan sulit—dan kurang lebih, itu membuat Jesse langsung menyergah, “Hanya berlayar begitu saja di danau?”Aku bisa menduga Jesse sudah melakukan banyak cara untuk itu.Kara meminta Jesse tidak memotong, dan Nuel juga berusaha sedemikian rupa menenangkan Jesse yang hampir selalu ingin berkomentar di setiap gagasan yang kuucapkan, tetapi puncaknya, adalah ketika aku membongkar poin pertama: kebenaran Reila. Kurang lebih, raut para dewan dipenuhi nuansa bersalah.Aku bisa membagi reaksi para petinggi tim menjadi orang yang terkej
Aku yakin hampir sebagian besar petinggi tim tidak mengerti kondisinya.Meskipun begitu, ketika dewan mulai memeluk Reila seperti memberinya rasa terima kasih, tidak ada satu pun petinggi tim yang protes. Maksudku, itu cukup memakan banyak waktu sampai kurasa bahasan Rapat Dewan terpotong begitu saja. Ceritaku bahkan belum selesai. Aku baru mengumumkan kebenaran Reila.Jadi, Nadir meminta waktu istirahat sebentar—kurang lebih karena kondisi emosional beberapa orang masih belum benar-benar kembali. Jenderal dan Reila memutuskan bicara empat mata di belakang Pendopo, yang sepertinya juga diikuti Kara dan Dokter Gelda. Namun, sebelum mereka melakukan itu, aku yang sehabis dipeluk Profesor Merla, didatangi Reila, dan tanpa peringatan apa pun, dia langsung menampar keras. Semua orang terkejut. Perhatian segera tertarik, tetapi Reila tidak mau bicara lagi, hanya langsung berlalu ke belakang Pendopo.Aku dan Profesor Merla berpandangan.“Jangan-janga
Rapat Dewan ada dalam cekungan waktu yang membeku ketika aku mulai melaporkan apa yang dikatakan Akshaya tentang kemampuanku.Tiba-tiba tempat kami berkumpul sudah tidak bersuara seolah semua orang tersentak sampai mengeras begitu saja. Ada beberapa orang yang sudah mengerti kebenarannya—Profesor Merla, Layla, Reila, Lavi—tetapi mereka tidak membuat keadaan terasa jauh lebih ringan. Mereka hanya bungkam seolah tidak tahu apa lagi yang harus dibicarakan. Lavi bahkan mulai tertarik menatap lantai Pendopo.Jenderal terlihat lebih serius dari biasanya. Kara juga berulang kali menatap Profesor Merla di sebelahnya seolah mencari konfirmasi, dan Profesor Merla selalu hanya mengangguk atau mengedikkan bahu. Kurasakan Dokter Gelda juga tampak mulai kaku seolah kepalanya sedang memutar balik segala hal aneh yang terjadi padaku—sama seperti cara memandang Isha dan Tara padaku saat ini. Sebenarnya yang mengejutkan justru Jesse dan Nuel. Kubayangkan mereka marah,
Sayangnya, Jesse kali ini menghindari pertanyaan. Dia hanya melengos—tidak berniat peduli apa pertanyaanku, hanya meminta Nadir melanjutkan.Jadi, aku mengangkat alis pada Lavi, seperti bilang, “Aku sudah tahu akan jadi seperti ini, jangan meragukan firasatku.”Lavi tidak mau bertautan mata, sepertinya marah.“Aku tidak mau menganggap Forlan kunci daya tempur kita, tapi bukannya itu artinya kita ada di masa yang penuh celah?” tanya Dokter Gelda.“Itu yang kupikirkan,” gumam Kara. “Kemampuan roh berarti banyak untuk garis depan. Pimpinan musuh pasti mengincar Forlan. Itu sebabnya hampir setiap misi, frekuensi pertemuan Forlan dengan musuh selalu lebih banyak dari yang lain. Ada kemungkinan sejak awal musuh sudah tahu keberadaan kemampuan roh dalam diri Forlan. Itu artinya, keadaan sekarang tidak mengubah apa pun.”“Berarti kita harus menarik Forlan dari garis depan?” tanya Nadir.
Aku sudah membayangkan para penghuni bertanya-tanya bagaimana Rapat Dewan bisa berakhir dengan kondisi mengkhawatirkan—karena semua orang yang hadir kembali dalam waktu berbeda—tetapi semua orang yang terlibat malam itu, entah bagaimana sepakat dalam satu suara, bahkan tanpa pernah berunding—bahwa itu rahasia para dewan. Lebih anehnya lagi, tidak ada petinggi tim yang bertanya-tanya mengapa mereka bisa tiba-tiba tidak sadarkan diri, mengingat hampir semua orang juga ambruk di tempat yang sama.Jadi, semua bermula ketika semua orang diangkut ke klinik—beruntungnya, klinik punya ruangan yang cukup untuk semua orang. Tim medis ambruk. Namun, tetap harus ada yang menjaga. Dokter Gelda tetap membuka mata, tetapi karena aku merasa bertanggung jawab, sepanjang malam aku menemani Dokter Gelda.Bersama Fal.Fal masih terjaga di pondok utama. Sebenarnya bersama Dalton dan Elton, tetapi mereka gagal menahan kantuk. Jadi, saat aku menjemput Fal, dia
Dokter Gelda menyarankan untuk memisahkanku dengan Lavi untuk waktu yang tidak ditentukan. Dia langsung membawa Lavi kembali ke Gerhanya, semata-mata agar kondisinya bisa benar-benar pulih. Lavi masih kelihatan syok.Aku tidak punya pembelaan. Pertama, bisa jadi itu bukan mimpi. Itu cuma penglihatan yang ditunjukkan pemilik kemampuan jiwa sebagai bentuk perlawanan yang berniat menghancurkan jiwa Lavi. Kedua, terkadang mimpi tidak benar-benar terjadi. Lavi pernah bermimpi aku terbunuh, tetapi pada akhirnya, dia sendiri yang, secara teknis, membunuhku. Ketiga, setelah jiwa kami terikat pada batu yang tidak stabil, aku tahu nyawa kami memang sudah di ujung tanduk.Gagasan itu membuatku pergi dari klinik, yang mungkin saja akan membuat situasi semakin runyam. Aku yakin yang bermimpi aneh tidak hanya Lavi. Dokter Gelda juga sepakat agar aku tidak terlalu terlibat dalam kegiatan penghuni sampai Rapat Dewan berikutnya—yang rencananya, “Malam ini. Ini hanya perkira
Di tengah ladang bunga itu, ada semacam pondok sederhana.Setelah Kara menghampiri kami, kami berjalan ke pondok sederhana itu—pondok yang bahkan lebih kecil dari pondok Nenek. Di sana ada semacam beranda kecil, tempat angin semilir membuat bunyi gemerincing pada lonceng angin, dan satu kursi santai, yang tengah diduduki orang paling fenomenal di Padang Anushka. Orang itu duduk, menaikkan kaki ke pagar kayu pondok, bersantai sangat normal, yang Kara sebut sebagai, “Berpikir.” Sebenarnya aku setuju berpikir dengan pose seperti itu dan di depan ladang bunga akan membuat kerja otakku seribu kali lipat lebih cemerlang, tetapi pose itu tidak cocok denganku.Hanya saja, pose itu cocok dengannya.“Jenderal,” sapa Kara. Kami naik ke beranda—sebenarnya aku ragu, tetapi Fal biasa saja, jadi aku ikut naik ke beranda.Saat itu masih awal pagi, dan tadi malam kami baru mengalami hal lumayan mengerikan, itu membuat pertemuan dengan J
Seharian penuh aku menghabiskan waktu bersama Fal.Lebih tepatnya, seharian penuh aku di ladang bunga. Fal mengajakku main banyak hal di pekarangan bunga, jadi tidak ada alasan pergi dari sana. Sesekali Fal perlu minum, jadi dia kembali ke pondok Jenderal—yang jujur saja agak membuat ngeri—tetapi ternyata Jenderal menerima Fal kelewat baik sampai setiap kami ke sana, Jenderal hanya bilang, “Jangan mengacak-acak,” sebagai tanda bahwa secara khusus, Fal diperbolehkan masuk dan mengambil apa pun yang dia mau. Tentunya aku—sebagai orang yang bersama Fal—juga diizinkan, meski agak takut.Aku memikirkan Jenderal tinggal sendirian di tempat ini—pondok itu berisi banyak kenangan tentang Bibi Nadya: foto-fotonya, barang peninggalannya, atau bahkan nuansa khasnya—tampaknya Jenderal selalu memendam kerinduannya di gubuk kecil ini. Gubuk sederhana, yang tidak terlalu besar, yang bahkan tidak cocok untuk citra Jenderal yang begitu meg