Aku sudah membayangkan para penghuni bertanya-tanya bagaimana Rapat Dewan bisa berakhir dengan kondisi mengkhawatirkan—karena semua orang yang hadir kembali dalam waktu berbeda—tetapi semua orang yang terlibat malam itu, entah bagaimana sepakat dalam satu suara, bahkan tanpa pernah berunding—bahwa itu rahasia para dewan. Lebih anehnya lagi, tidak ada petinggi tim yang bertanya-tanya mengapa mereka bisa tiba-tiba tidak sadarkan diri, mengingat hampir semua orang juga ambruk di tempat yang sama.
Jadi, semua bermula ketika semua orang diangkut ke klinik—beruntungnya, klinik punya ruangan yang cukup untuk semua orang. Tim medis ambruk. Namun, tetap harus ada yang menjaga. Dokter Gelda tetap membuka mata, tetapi karena aku merasa bertanggung jawab, sepanjang malam aku menemani Dokter Gelda.
Bersama Fal.
Fal masih terjaga di pondok utama. Sebenarnya bersama Dalton dan Elton, tetapi mereka gagal menahan kantuk. Jadi, saat aku menjemput Fal, dia
Dokter Gelda menyarankan untuk memisahkanku dengan Lavi untuk waktu yang tidak ditentukan. Dia langsung membawa Lavi kembali ke Gerhanya, semata-mata agar kondisinya bisa benar-benar pulih. Lavi masih kelihatan syok.Aku tidak punya pembelaan. Pertama, bisa jadi itu bukan mimpi. Itu cuma penglihatan yang ditunjukkan pemilik kemampuan jiwa sebagai bentuk perlawanan yang berniat menghancurkan jiwa Lavi. Kedua, terkadang mimpi tidak benar-benar terjadi. Lavi pernah bermimpi aku terbunuh, tetapi pada akhirnya, dia sendiri yang, secara teknis, membunuhku. Ketiga, setelah jiwa kami terikat pada batu yang tidak stabil, aku tahu nyawa kami memang sudah di ujung tanduk.Gagasan itu membuatku pergi dari klinik, yang mungkin saja akan membuat situasi semakin runyam. Aku yakin yang bermimpi aneh tidak hanya Lavi. Dokter Gelda juga sepakat agar aku tidak terlalu terlibat dalam kegiatan penghuni sampai Rapat Dewan berikutnya—yang rencananya, “Malam ini. Ini hanya perkira
Di tengah ladang bunga itu, ada semacam pondok sederhana.Setelah Kara menghampiri kami, kami berjalan ke pondok sederhana itu—pondok yang bahkan lebih kecil dari pondok Nenek. Di sana ada semacam beranda kecil, tempat angin semilir membuat bunyi gemerincing pada lonceng angin, dan satu kursi santai, yang tengah diduduki orang paling fenomenal di Padang Anushka. Orang itu duduk, menaikkan kaki ke pagar kayu pondok, bersantai sangat normal, yang Kara sebut sebagai, “Berpikir.” Sebenarnya aku setuju berpikir dengan pose seperti itu dan di depan ladang bunga akan membuat kerja otakku seribu kali lipat lebih cemerlang, tetapi pose itu tidak cocok denganku.Hanya saja, pose itu cocok dengannya.“Jenderal,” sapa Kara. Kami naik ke beranda—sebenarnya aku ragu, tetapi Fal biasa saja, jadi aku ikut naik ke beranda.Saat itu masih awal pagi, dan tadi malam kami baru mengalami hal lumayan mengerikan, itu membuat pertemuan dengan J
Seharian penuh aku menghabiskan waktu bersama Fal.Lebih tepatnya, seharian penuh aku di ladang bunga. Fal mengajakku main banyak hal di pekarangan bunga, jadi tidak ada alasan pergi dari sana. Sesekali Fal perlu minum, jadi dia kembali ke pondok Jenderal—yang jujur saja agak membuat ngeri—tetapi ternyata Jenderal menerima Fal kelewat baik sampai setiap kami ke sana, Jenderal hanya bilang, “Jangan mengacak-acak,” sebagai tanda bahwa secara khusus, Fal diperbolehkan masuk dan mengambil apa pun yang dia mau. Tentunya aku—sebagai orang yang bersama Fal—juga diizinkan, meski agak takut.Aku memikirkan Jenderal tinggal sendirian di tempat ini—pondok itu berisi banyak kenangan tentang Bibi Nadya: foto-fotonya, barang peninggalannya, atau bahkan nuansa khasnya—tampaknya Jenderal selalu memendam kerinduannya di gubuk kecil ini. Gubuk sederhana, yang tidak terlalu besar, yang bahkan tidak cocok untuk citra Jenderal yang begitu meg
Sebelum Rapat Dewan, aku berdiri di depan pagar gerha Lavi.Kurasa Lavi tahu aku di sana, jadi dia keluar dengan jubah Kapten, senyum kecilnya terukir, dan aku tahu kami tidak perlu obrolan panjang untuk menguraikan benang kusut. Satu-satunya yang dia lakukan hanya mulai mengulurkan tangan, dan kami berpelukan dalam intensitas yang cukup mengerikan.Barangkali Lavi masuk dalam kategori penghuni yang bisa bertahan cukup kuat dari gempuran serangan jiwa. Namun, aku sudah menduganya, dan Kara juga mengonfirmasinya. Terlepas seberapa kuat Lavi bisa menahan gempuran itu, ketika serangan itu menyerang titik terlemah Lavi, mustahil Lavi mampu bertahan.“Satu-satunya cara mengalahkan lawan yang lebih kuat darimu,” kata Kara, “serang titik terlemahnya. Ironisnya, dalam diri manusia, objek yang diserang ini bukan fisik yang bisa sembuh dengan perlakuan cepat. Setiap orang selalu punya titik terlemah dalam dirinya—yang bukan fisik—dan tidak se
Reila dipanggil ke Rapat Dewan setelah kami membicarakan Ayah.“Kata Kara, Ayah itu populer. Banyak cewek yang naksir. Ibu sering bilang Ayah tukang rayu, jadi kadang Ibu sebal sampai tidak mau bicara.”“Mirip Lavi, ya,” kataku.“Lavi? Lavi bukan tukang rayu. Justru kau yang mirip Ayah.”“Kau pasti bercanda. Aku populer karena dihujat.”“Dasar idiot. Kalau tidak secepat itu pacaran sama Lavi, cewek-cewek pasti naksir. Kau cuma tidak tahu berapa banyak Venus membicarakanmu.”Aku tertawa. “Mustahil.”Reila memutar bola mata. “Persis. Ayah juga bilang begitu—kata Kara. Aku berani sumpah Lavi juga sadar, makanya dia mengamankan posisi sangat cepat—hebat sekali cinta kalian langsung bertepuk.”“Cuma orang tolol yang tidak cinta Lavi. Para cowok rebutan Lavi.”“Tapi Lavi bukan tukang rayu,” ulangnya. “L
Kurang lebih, aku langsung diseret Jenderal ke belakang Pendopo, disusul semua dewan—kecuali Mister—lalu Jenderal mencengkeram kerahku, mendorong keras sampai aku terbanting ke dinding, dan dengan aura penuh tuntutan, mengucap sumpah serapah apa yang sebenarnya baru saja kuucapkan.Kalau itu aku sebelum Rapat Dewan, aku pasti membeku bertemu neraka.Namun, aku baik-baik saja, justru balas menatap Jenderal dengan aura yang cukup mampu membalas. Kubilang, aku serius, dan kalau mau bercanda, aku tidak akan terpikirkan topik itu. Aku tidak bilang kalau sudah bertemu istrinya. Aku tidak bilang pada siapa pun, kecuali Profesor Merla di mimpi pertamaku tentangnya. Tak ada satu pun yang tahu, kecuali Reila di Pulau Pendiri. Itu aturannya. Tidak boleh ada yang tahu kepergian seseorang yang diam-diam diizinkan kembali ke dunia.Hanya saja, Helvin masih hidup. Dia masih berkeliaran di alam liar.Jadi, aku menjelaskan semua perawakan yang kuingat tentangn
Pada akhirnya, aku terjaga sepanjang malam.Aku perlu memikirkan banyak hal, jadi beberapa hal yang kupikirkan mulai kutulis di lembaran. Tiba-tiba aku merasa perlu kembali ke penjara, bertemu dengan Aaron yang sudah menjadi boneka pimpinan musuh. Jiwanya terikat kontrak secara sepihak. Kemungkinan besar tubuhnya sudah diambil alih. Namun, mengapa dewan tetap membiarkannya di penjara—itu pertanyaan terbesar. Membiarkannya di sini hanya seperti membiarkan pimpinan musuh terdiam di Padang Anushka.Namun, tiba-tiba kupikirkan kalau barangkali penjara tidak benar-benar di Padang Anushka. Aku tidak tahu mengapa memikirkan itu, tetapi gagasan itu yang paling masuk akal. Kemampuan roh tidak punya kemampuan melacak lokasi jiwa seseorang, tetapi kami punya kemampuan merasakan alam liar. Barangkali markas musuh punya aura alam liar yang mirip ketika di dekat Aaron.Rasanya ada banyak yang harus kupikirkan.Fal, yang tidur di belakang, juga perlu dipertimbangk
Aza sedang membuat parit untuk aliran air setelah pondok diterjang hujan badai selama seminggu terakhir. Itu dua tahun sebelum Nenek tiada.Aza masih seperti gadis jail yang terlalu aktif bermain.“Sekarang airnya bisa langsung ke sungai kalau hujan deras lagi,” kata Aza. Saat itu hanya aku dan Aza. Kami berjongkok di ujung tanah sebelum ketinggian tanah mulai turun ke sungai. Jalur air yang dibuat Aza sangat bagus, pinggirnya ditahan memakai bebatuan, sehingga tanah pinggir jalur tak akan longsor menutupi jalur air. Beberapa tanaman juga sengaja dipindahkan ke sekitar jalur air—entah apa tujuannya.Aza saat itu sudah penuh lumpur. Aku juga. Kami benar-benar bau tanah. Sela-sela jemariku terisi tanah tebal.“Aku suka hujan, tapi kalau banjir, aku benci,” kata Aza.“Aku heran pondok tidak terbang saat angin kencang,” kataku.“Kau ini. Harusnya bersyukur, dong. Kalau di alam liar, pondok seperti
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da