Aza sedang membuat parit untuk aliran air setelah pondok diterjang hujan badai selama seminggu terakhir. Itu dua tahun sebelum Nenek tiada.
Aza masih seperti gadis jail yang terlalu aktif bermain.
“Sekarang airnya bisa langsung ke sungai kalau hujan deras lagi,” kata Aza. Saat itu hanya aku dan Aza. Kami berjongkok di ujung tanah sebelum ketinggian tanah mulai turun ke sungai. Jalur air yang dibuat Aza sangat bagus, pinggirnya ditahan memakai bebatuan, sehingga tanah pinggir jalur tak akan longsor menutupi jalur air. Beberapa tanaman juga sengaja dipindahkan ke sekitar jalur air—entah apa tujuannya.
Aza saat itu sudah penuh lumpur. Aku juga. Kami benar-benar bau tanah. Sela-sela jemariku terisi tanah tebal.
“Aku suka hujan, tapi kalau banjir, aku benci,” kata Aza.
“Aku heran pondok tidak terbang saat angin kencang,” kataku.
“Kau ini. Harusnya bersyukur, dong. Kalau di alam liar, pondok seperti
Aku tertidur hanya sesaat.Di mimpiku, aku sedang latihan berpedang di sungai dengan Aza. Serangan Aza seperti kalap, tidak memberiku jeda sama sekali, jadi aku kesal, melontarkan sebongkah air agar dia memberiku sedikit ruang. Namun, aku lupa Aza juga bisa mengendalikan air. Saat aku melontarkan selusin air, Aza mengembalikannya bak berniat membuat air sungai meluap sampai pondok. Dan itu benar-benar raksasa. Aliran air tiba-tiba semakin deras, dan deras. Tiba-tiba sudah setinggi tsunami, dan ketika air itu berjarak beberapa meter dari wajahku, sentakan membuatku terkejut setengah mati hingga aku melompat dari tidur.Aku meledakkan selimut di sofa. Ada dua orang di dekatku.Pertama, Kara yang menoleh ke tempatku.Kedua, Lavi yang menatapku heran.Tidak ada siapa-siapa lagi. Tidak terdengar apa pun, kecuali angin semilir yang membunyikan lonceng angin. Kami di ruangan pondok utama. Selimutku ikut terbang ketika aku melompat bangun. Lavi tepat di sa
Aku terpana pada keterampilan menata rambut Lavi karena aku bisa terlihat begitu oke dibanding sebelumnya hanya karena mengganti gaya rambut.“Isha kadang iseng membuat campuran bahan-bahan alami untuk tambahan sampo,” kata Lavi. “Aku bisa memberimu kalau mau. Sepertinya kau tidak pernah menjaga rambutmu. Banyak yang rontok.”Aku oke menerimanya, tetapi aku yakin yang memakainya nanti Reila.Jadi, Lavi mencetuskan agar kami berangkat ke markas tim penyerang lama. Terlebih karena Lavi, “Pernah janji mengajakmu jalan-jalan ke markas lama tim penyerang. Jadi, sebelum tempat itu roboh, aku mau menepati janji.”Kami mampir ke gerhanya untuk mengambil jubah Kapten, tetapi karena kami perlu melewati Venus, kurang lebih semua orang membicarakan kami—bisik-bisik, bergosip atau apa pun. Aku bisa membayangkan itu. Lavi memakai pakaian yang jarang dia pakai, dan aku mengganti gaya rambut. Pasti terjadi sesuatu.Ketika
Yang pertama datang setelah kami, tentu anggota tim penyerang: si kembar, dan si anggota baru: Reila. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk jail.“Ah, berisik!” Reila jengkel. “Aku juga tidak tahu kenapa kemari.”“Anggap saja ini pesta penyambutanmu,” kata Dalton.Aku baru memikirkan ini, tetapi sejak Reila bergabung, tim penyerang juga belum benar-benar berkumpul sebagai tim. Rasanya seperti tidak ada penyambutan atau apalah. Reila hanya tiba-tiba bergabung.“Tempat ini bau sekali,” hardik Reila. “Bau minyak.”“Namanya juga mau dibakar,” kataku.“Yang merobohkan siapa? Kakak?”“Bukan. Aku tidak semestinya bertugas, meski lebih gampang.”“Iya, sih, tidak semestinya dilakukan orang luar.”Sewaktu aku menjaili Reila, Dalton ikut denganku. Namun, Elton langsung menghampiri Lavi yang masih duduk. Fase merenung
Saat matahari sudah terbenam dan aku sedang mengajarkan Fal bagaimana dia harus mengendalikan cahaya di ujung jemarinya—tentu bersama Reila—pintu gerhaku diketuk seseorang.Ketika membuka pintu, aku membeku sejenak—sebagian karena terkejut.“Aku perlu memberitahumu sesuatu,” kata Elton. Dan dia tidak basa-basi. “Sewaktu penyerangan ke markas musuh di Lembah Palapa, aku tahu Lavi sempat bertemu Erick. Apa dia sudah memberitahumu?”Aku semakin kaget, tetapi juga bingung. Aku tidak pernah terpikirkan Elton akan menghampiriku untuk mengatakan itu.“Tidak,” kataku, berhasil kelihatan normal. “Dia bertemu Erick?”“Dia memintanya berkhianat.”“Siapa yang kau maksud ini? Lavi memintanya berkhianat, atau Erick yang memintanya berkhianat?” Aku tidak tahu mengapa menanyakan ini meskipun tahu jawabannya, tetapi aku merasa perlu bertanya.“Erick meminta
Pagi-pagi buta, aku sudah di bukit perbatasan. Lavi bahkan masih menguap.Matahari masih muncul sedikit, sehingga kabut lumayan menipis. Udaranya terasa alami dan menyegarkan. Sebagian penghuni masih tidur. Hanya tim tungku yang sudah bersiap di dapur—menurut Layla.“Aku sudah pamit, tidak perlu mengantar,” kata Layla, padaku dan Reila.“Selalu saja ada yang kau perdebatkan dariku,” balasku.Layla tertawa. “Reila, kakakmu ini tidur, kan?”“Dia tidur di tempat Lavi,” kata Reila, menunjuk Lavi.Di bukit perbatasan hanya ada mereka yang akan berangkat misi: Profesor Merla, Yasha, Layla, ditambah aku, Lavi, Reila, Fal, Haswin, dan Kara. Sebenarnya ada Mister, tetapi bukit perbatasan, kan, memang tempat Mister.Sebelum kemari, Profesor Merla sempat mengajakku bicara sejenak.“Kalau situasinya memang masih belum memungkinkan Layla untuk segera kembali, aku mungkin membiarkan
Di perjalanan kembali, sebelum pagi benar-benar datang, aku tahu urusanku bakal lebih panjang dari semestinya.“Forlan mau ke mana?” tanya Fal.“Urusan bisnis,” jawabku, memberi Reila isyarat agar membawa Fal pergi.Ketika aku memasuki Joglo, aku bisa memastikan semua orang tidak sadar, dan tampaknya itu juga dia mengerti. Jadi, ketika aku duduk di lingkaran perapian yang dikelilingi kursi, Bibi Nadya mulai mewujud.“Tempat ini benar-benar menjadi wilayahmu,” sapa Bibi.“Aku benar-benar bertemu dengannya,” kataku, tanpa basa-basi. “Maaf aku tidak sadar sewaktu punya kesempatan. Semestinya aku menariknya kemari, bukan memberinya panah. Aku janji bakal mencarinya lagi. Maafkan aku.”Bibi langsung terdiam. Pendar kabur Bibi sempat kacau.“Harusnya aku tidak punya muka lagi bertemu Bibi. Aku—”“Kau terlalu memikirkan perasaan orang, Forlan,” p
Sarapan berlangsung seperti biasanya.Tim tungku sangat sibuk sampai meneriaki penghuni Mars yang mengambil jatah lebih banyak, itu wajar. Dari pintu tim tungku yang terbuka, terlihat Dhiena yang sibuk mencuci piring, itu cukup wajar. Di meja makan panjang, Mika terlihat sedang mengobrol dengan Isha, itu lumayan wajar. Dapur sedang jam sibuk sarapan sehingga hampir tidak ada kursi kosong, yah, itu wajar. Hal tidak wajarnya datang setelah diucapkan Dalton. “Tumben kau tepat waktu.”Aku sudah membawa jatah yang kuambil sendiri, menatap Dalton sedang menyantap makanan bersama Aslan. Kuputuskan ikut duduk di sana.“Aslan, kau punya pekerjaan?” tanyaku, menyantap bayam.“Mungkin peternakan,” kata suara beratnya. “Haswin katanya mau bantu, tapi aku tidak yakin dia bisa datang hari ini.”“Karena proyeknya?” tanya Dalton. “Kurasa dia bakal tetap datang.”“Hm, ya, aku juga
Di luar dugaan, ternyata aku dan Dalton punya ide yang sama.“Yang seperti rumah singgah biasa saja.”Itu yang kuucapkan, tetapi Dalton mengucapkan lebih banyak saran—atau permintaan. “Bagian depannya menghadap ke jalur penghubung, tapi pisahkan juga dengan pepohonan. Lebih baik di depannya ada pekarangan kecil. Kaptenku suka bunga, jadi dia bisa hias markas kami dengan bunga-bunga itu. Pekarangannya agak diluaskan, biar bisa buat latihan. Jangan lupa ada sasaran panah di setiap sisi yang lokasinya agak sulit. Bagian belakang markas kami jangan gundul—maksudku, ada pohon di sana, agar kami bisa latihan halang rintang pakai pohon. Dan buat juga semacam pekarangan belakang untuk latihan juga. Tapi buat juga jalur setapak kecil ke bibir danau. Usahakan di bibir danau ada ruang kosong. Buat terhubung juga dengan pusat kano. Saranku, bangun juga dermaga sekat kayu. Sesekali kita perlu berkomunikasi dengan Ratu Arwah, jadi tempat itu bisa menjad