Yang pertama datang setelah kami, tentu anggota tim penyerang: si kembar, dan si anggota baru: Reila. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk jail.
“Ah, berisik!” Reila jengkel. “Aku juga tidak tahu kenapa kemari.”
“Anggap saja ini pesta penyambutanmu,” kata Dalton.
Aku baru memikirkan ini, tetapi sejak Reila bergabung, tim penyerang juga belum benar-benar berkumpul sebagai tim. Rasanya seperti tidak ada penyambutan atau apalah. Reila hanya tiba-tiba bergabung.
“Tempat ini bau sekali,” hardik Reila. “Bau minyak.”
“Namanya juga mau dibakar,” kataku.
“Yang merobohkan siapa? Kakak?”
“Bukan. Aku tidak semestinya bertugas, meski lebih gampang.”
“Iya, sih, tidak semestinya dilakukan orang luar.”
Sewaktu aku menjaili Reila, Dalton ikut denganku. Namun, Elton langsung menghampiri Lavi yang masih duduk. Fase merenung
Saat matahari sudah terbenam dan aku sedang mengajarkan Fal bagaimana dia harus mengendalikan cahaya di ujung jemarinya—tentu bersama Reila—pintu gerhaku diketuk seseorang.Ketika membuka pintu, aku membeku sejenak—sebagian karena terkejut.“Aku perlu memberitahumu sesuatu,” kata Elton. Dan dia tidak basa-basi. “Sewaktu penyerangan ke markas musuh di Lembah Palapa, aku tahu Lavi sempat bertemu Erick. Apa dia sudah memberitahumu?”Aku semakin kaget, tetapi juga bingung. Aku tidak pernah terpikirkan Elton akan menghampiriku untuk mengatakan itu.“Tidak,” kataku, berhasil kelihatan normal. “Dia bertemu Erick?”“Dia memintanya berkhianat.”“Siapa yang kau maksud ini? Lavi memintanya berkhianat, atau Erick yang memintanya berkhianat?” Aku tidak tahu mengapa menanyakan ini meskipun tahu jawabannya, tetapi aku merasa perlu bertanya.“Erick meminta
Pagi-pagi buta, aku sudah di bukit perbatasan. Lavi bahkan masih menguap.Matahari masih muncul sedikit, sehingga kabut lumayan menipis. Udaranya terasa alami dan menyegarkan. Sebagian penghuni masih tidur. Hanya tim tungku yang sudah bersiap di dapur—menurut Layla.“Aku sudah pamit, tidak perlu mengantar,” kata Layla, padaku dan Reila.“Selalu saja ada yang kau perdebatkan dariku,” balasku.Layla tertawa. “Reila, kakakmu ini tidur, kan?”“Dia tidur di tempat Lavi,” kata Reila, menunjuk Lavi.Di bukit perbatasan hanya ada mereka yang akan berangkat misi: Profesor Merla, Yasha, Layla, ditambah aku, Lavi, Reila, Fal, Haswin, dan Kara. Sebenarnya ada Mister, tetapi bukit perbatasan, kan, memang tempat Mister.Sebelum kemari, Profesor Merla sempat mengajakku bicara sejenak.“Kalau situasinya memang masih belum memungkinkan Layla untuk segera kembali, aku mungkin membiarkan
Di perjalanan kembali, sebelum pagi benar-benar datang, aku tahu urusanku bakal lebih panjang dari semestinya.“Forlan mau ke mana?” tanya Fal.“Urusan bisnis,” jawabku, memberi Reila isyarat agar membawa Fal pergi.Ketika aku memasuki Joglo, aku bisa memastikan semua orang tidak sadar, dan tampaknya itu juga dia mengerti. Jadi, ketika aku duduk di lingkaran perapian yang dikelilingi kursi, Bibi Nadya mulai mewujud.“Tempat ini benar-benar menjadi wilayahmu,” sapa Bibi.“Aku benar-benar bertemu dengannya,” kataku, tanpa basa-basi. “Maaf aku tidak sadar sewaktu punya kesempatan. Semestinya aku menariknya kemari, bukan memberinya panah. Aku janji bakal mencarinya lagi. Maafkan aku.”Bibi langsung terdiam. Pendar kabur Bibi sempat kacau.“Harusnya aku tidak punya muka lagi bertemu Bibi. Aku—”“Kau terlalu memikirkan perasaan orang, Forlan,” p
Sarapan berlangsung seperti biasanya.Tim tungku sangat sibuk sampai meneriaki penghuni Mars yang mengambil jatah lebih banyak, itu wajar. Dari pintu tim tungku yang terbuka, terlihat Dhiena yang sibuk mencuci piring, itu cukup wajar. Di meja makan panjang, Mika terlihat sedang mengobrol dengan Isha, itu lumayan wajar. Dapur sedang jam sibuk sarapan sehingga hampir tidak ada kursi kosong, yah, itu wajar. Hal tidak wajarnya datang setelah diucapkan Dalton. “Tumben kau tepat waktu.”Aku sudah membawa jatah yang kuambil sendiri, menatap Dalton sedang menyantap makanan bersama Aslan. Kuputuskan ikut duduk di sana.“Aslan, kau punya pekerjaan?” tanyaku, menyantap bayam.“Mungkin peternakan,” kata suara beratnya. “Haswin katanya mau bantu, tapi aku tidak yakin dia bisa datang hari ini.”“Karena proyeknya?” tanya Dalton. “Kurasa dia bakal tetap datang.”“Hm, ya, aku juga
Di luar dugaan, ternyata aku dan Dalton punya ide yang sama.“Yang seperti rumah singgah biasa saja.”Itu yang kuucapkan, tetapi Dalton mengucapkan lebih banyak saran—atau permintaan. “Bagian depannya menghadap ke jalur penghubung, tapi pisahkan juga dengan pepohonan. Lebih baik di depannya ada pekarangan kecil. Kaptenku suka bunga, jadi dia bisa hias markas kami dengan bunga-bunga itu. Pekarangannya agak diluaskan, biar bisa buat latihan. Jangan lupa ada sasaran panah di setiap sisi yang lokasinya agak sulit. Bagian belakang markas kami jangan gundul—maksudku, ada pohon di sana, agar kami bisa latihan halang rintang pakai pohon. Dan buat juga semacam pekarangan belakang untuk latihan juga. Tapi buat juga jalur setapak kecil ke bibir danau. Usahakan di bibir danau ada ruang kosong. Buat terhubung juga dengan pusat kano. Saranku, bangun juga dermaga sekat kayu. Sesekali kita perlu berkomunikasi dengan Ratu Arwah, jadi tempat itu bisa menjad
Sejujurnya, kami tersentak setelah mendengar ledakan keras, jadi aku dan Haswin sampai melompat mundur ke belakang, khawatir ada sesuatu mengerikan melompat dari layar. Hanya saja, tidak ada apa-apa. Hanya langsung mati.Sepertinya aku trauma diberi video mengerikan oleh Dalton.Suara gemeresak langsung menguasai ruangan. Kami terdiam begitu saja.Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, jadi tiba-tiba aku sudah menoleh menatap Haswin, dan dia juga menoleh menatapku. Dalton duduk di kursi, terdiam. Kami berdiri, jadi kami bisa saling menatap.Aku tahu pemikiran kami sama.“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi sepertinya aku bersalah di sini,” ungkapku, jujur-jujur saja. “Jadi, kalian bubar?”“Setidaknya, kami diusir,” jawab Nuel.“Ng,” aku bingung, “yah, bagaimana, ya? Menurutku, Asva benar.” Aku tak tahu mengapa menepuk-nepuk pundaknya, tetapi aku merasa itu perlu. “
Kara memanggilku dan Reila ke Balai Dewan.Kami duduk di ruangan seperti pertemuan. Ruangan dengan meja melingkar dan kursi-kursi. Bentuknya seperti Pendopo ketika Rapat Dewan. Bedanya, ini di dalam ruangan, dan jarang digunakan untuk pertemuan. Tampaknya ketika dewan ingin membicarakan hal penting, mereka menggunakan ruangan ini.Di ruangan sudah ada Nadir dan Kara. Kupikirkan mereka ingin bertanya beberapa hal tentang Pulau Pendiri, dan benar saja, Nadir bertanya, “Latihan yang kalian lakukan di Pulau Pendiri mungkin bisa diterapkan di sini. Bisa jelaskan kami bagaimana teknis latihan itu berlangsung?”Aku sudah menduga ini akan terjadi.Dua hari kemudian, semua pemilik kemampuan akhirnya dikumpulkan di padang rumput. Kara meminta kami mempersiapkan senjata, yang setidaknya bisa kami gunakan bila bertemu pertempuran. Jadi, aku tahu kami akan menjadi kelinci percobaan. Gelanggang sudah dipenuhi penghuni. Beberapa layar tancap besar juga terpa
Kara memberi kami waktu selama dua puluh menit untuk berdiskusi terkait taktik dan persenjataan. Kami sepakat berunding di dekat teritorial, jadi ketika kami akan pergi dari padang rumput, aku melihat Fal digendong Haswin di pundak, lalu berteriak, “FORLAN! SEMANGAT!”Aku mengacungkan jempol.Kami bergegas ke area teritorial, bertemu Jenderal yang menyambut dengan dengusan. “Kalian tim hutan? Semoga beruntung.”Penuh hinaan.Lokasinya lebih masuk dari markas lama. Setidaknya, itu yang kurasakan. Jadi, kami benar-benar di pedalaman hutan. Dan Jenderal berjaga sangat dekat dari teritorial. Dia duduk di sana, membaca buku, ada secangkir kopi hangat. Sepertinya sudah dipersiapkan sangat baik agar Jenderal bisa berlama-lama di sini.“Jenderal sendirian?” tanyaku.“Lihat saja sendiri,” jawabnya.Kuputuskan tidak menghiraukannya, mulai menyusun strategi.Nuel bilang, “Aku yakin di