Kurang lebih, aku langsung diseret Jenderal ke belakang Pendopo, disusul semua dewan—kecuali Mister—lalu Jenderal mencengkeram kerahku, mendorong keras sampai aku terbanting ke dinding, dan dengan aura penuh tuntutan, mengucap sumpah serapah apa yang sebenarnya baru saja kuucapkan.
Kalau itu aku sebelum Rapat Dewan, aku pasti membeku bertemu neraka.
Namun, aku baik-baik saja, justru balas menatap Jenderal dengan aura yang cukup mampu membalas. Kubilang, aku serius, dan kalau mau bercanda, aku tidak akan terpikirkan topik itu. Aku tidak bilang kalau sudah bertemu istrinya. Aku tidak bilang pada siapa pun, kecuali Profesor Merla di mimpi pertamaku tentangnya. Tak ada satu pun yang tahu, kecuali Reila di Pulau Pendiri. Itu aturannya. Tidak boleh ada yang tahu kepergian seseorang yang diam-diam diizinkan kembali ke dunia.
Hanya saja, Helvin masih hidup. Dia masih berkeliaran di alam liar.
Jadi, aku menjelaskan semua perawakan yang kuingat tentangn
Pada akhirnya, aku terjaga sepanjang malam.Aku perlu memikirkan banyak hal, jadi beberapa hal yang kupikirkan mulai kutulis di lembaran. Tiba-tiba aku merasa perlu kembali ke penjara, bertemu dengan Aaron yang sudah menjadi boneka pimpinan musuh. Jiwanya terikat kontrak secara sepihak. Kemungkinan besar tubuhnya sudah diambil alih. Namun, mengapa dewan tetap membiarkannya di penjara—itu pertanyaan terbesar. Membiarkannya di sini hanya seperti membiarkan pimpinan musuh terdiam di Padang Anushka.Namun, tiba-tiba kupikirkan kalau barangkali penjara tidak benar-benar di Padang Anushka. Aku tidak tahu mengapa memikirkan itu, tetapi gagasan itu yang paling masuk akal. Kemampuan roh tidak punya kemampuan melacak lokasi jiwa seseorang, tetapi kami punya kemampuan merasakan alam liar. Barangkali markas musuh punya aura alam liar yang mirip ketika di dekat Aaron.Rasanya ada banyak yang harus kupikirkan.Fal, yang tidur di belakang, juga perlu dipertimbangk
Aza sedang membuat parit untuk aliran air setelah pondok diterjang hujan badai selama seminggu terakhir. Itu dua tahun sebelum Nenek tiada.Aza masih seperti gadis jail yang terlalu aktif bermain.“Sekarang airnya bisa langsung ke sungai kalau hujan deras lagi,” kata Aza. Saat itu hanya aku dan Aza. Kami berjongkok di ujung tanah sebelum ketinggian tanah mulai turun ke sungai. Jalur air yang dibuat Aza sangat bagus, pinggirnya ditahan memakai bebatuan, sehingga tanah pinggir jalur tak akan longsor menutupi jalur air. Beberapa tanaman juga sengaja dipindahkan ke sekitar jalur air—entah apa tujuannya.Aza saat itu sudah penuh lumpur. Aku juga. Kami benar-benar bau tanah. Sela-sela jemariku terisi tanah tebal.“Aku suka hujan, tapi kalau banjir, aku benci,” kata Aza.“Aku heran pondok tidak terbang saat angin kencang,” kataku.“Kau ini. Harusnya bersyukur, dong. Kalau di alam liar, pondok seperti
Aku tertidur hanya sesaat.Di mimpiku, aku sedang latihan berpedang di sungai dengan Aza. Serangan Aza seperti kalap, tidak memberiku jeda sama sekali, jadi aku kesal, melontarkan sebongkah air agar dia memberiku sedikit ruang. Namun, aku lupa Aza juga bisa mengendalikan air. Saat aku melontarkan selusin air, Aza mengembalikannya bak berniat membuat air sungai meluap sampai pondok. Dan itu benar-benar raksasa. Aliran air tiba-tiba semakin deras, dan deras. Tiba-tiba sudah setinggi tsunami, dan ketika air itu berjarak beberapa meter dari wajahku, sentakan membuatku terkejut setengah mati hingga aku melompat dari tidur.Aku meledakkan selimut di sofa. Ada dua orang di dekatku.Pertama, Kara yang menoleh ke tempatku.Kedua, Lavi yang menatapku heran.Tidak ada siapa-siapa lagi. Tidak terdengar apa pun, kecuali angin semilir yang membunyikan lonceng angin. Kami di ruangan pondok utama. Selimutku ikut terbang ketika aku melompat bangun. Lavi tepat di sa
Aku terpana pada keterampilan menata rambut Lavi karena aku bisa terlihat begitu oke dibanding sebelumnya hanya karena mengganti gaya rambut.“Isha kadang iseng membuat campuran bahan-bahan alami untuk tambahan sampo,” kata Lavi. “Aku bisa memberimu kalau mau. Sepertinya kau tidak pernah menjaga rambutmu. Banyak yang rontok.”Aku oke menerimanya, tetapi aku yakin yang memakainya nanti Reila.Jadi, Lavi mencetuskan agar kami berangkat ke markas tim penyerang lama. Terlebih karena Lavi, “Pernah janji mengajakmu jalan-jalan ke markas lama tim penyerang. Jadi, sebelum tempat itu roboh, aku mau menepati janji.”Kami mampir ke gerhanya untuk mengambil jubah Kapten, tetapi karena kami perlu melewati Venus, kurang lebih semua orang membicarakan kami—bisik-bisik, bergosip atau apa pun. Aku bisa membayangkan itu. Lavi memakai pakaian yang jarang dia pakai, dan aku mengganti gaya rambut. Pasti terjadi sesuatu.Ketika
Yang pertama datang setelah kami, tentu anggota tim penyerang: si kembar, dan si anggota baru: Reila. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk jail.“Ah, berisik!” Reila jengkel. “Aku juga tidak tahu kenapa kemari.”“Anggap saja ini pesta penyambutanmu,” kata Dalton.Aku baru memikirkan ini, tetapi sejak Reila bergabung, tim penyerang juga belum benar-benar berkumpul sebagai tim. Rasanya seperti tidak ada penyambutan atau apalah. Reila hanya tiba-tiba bergabung.“Tempat ini bau sekali,” hardik Reila. “Bau minyak.”“Namanya juga mau dibakar,” kataku.“Yang merobohkan siapa? Kakak?”“Bukan. Aku tidak semestinya bertugas, meski lebih gampang.”“Iya, sih, tidak semestinya dilakukan orang luar.”Sewaktu aku menjaili Reila, Dalton ikut denganku. Namun, Elton langsung menghampiri Lavi yang masih duduk. Fase merenung
Saat matahari sudah terbenam dan aku sedang mengajarkan Fal bagaimana dia harus mengendalikan cahaya di ujung jemarinya—tentu bersama Reila—pintu gerhaku diketuk seseorang.Ketika membuka pintu, aku membeku sejenak—sebagian karena terkejut.“Aku perlu memberitahumu sesuatu,” kata Elton. Dan dia tidak basa-basi. “Sewaktu penyerangan ke markas musuh di Lembah Palapa, aku tahu Lavi sempat bertemu Erick. Apa dia sudah memberitahumu?”Aku semakin kaget, tetapi juga bingung. Aku tidak pernah terpikirkan Elton akan menghampiriku untuk mengatakan itu.“Tidak,” kataku, berhasil kelihatan normal. “Dia bertemu Erick?”“Dia memintanya berkhianat.”“Siapa yang kau maksud ini? Lavi memintanya berkhianat, atau Erick yang memintanya berkhianat?” Aku tidak tahu mengapa menanyakan ini meskipun tahu jawabannya, tetapi aku merasa perlu bertanya.“Erick meminta
Pagi-pagi buta, aku sudah di bukit perbatasan. Lavi bahkan masih menguap.Matahari masih muncul sedikit, sehingga kabut lumayan menipis. Udaranya terasa alami dan menyegarkan. Sebagian penghuni masih tidur. Hanya tim tungku yang sudah bersiap di dapur—menurut Layla.“Aku sudah pamit, tidak perlu mengantar,” kata Layla, padaku dan Reila.“Selalu saja ada yang kau perdebatkan dariku,” balasku.Layla tertawa. “Reila, kakakmu ini tidur, kan?”“Dia tidur di tempat Lavi,” kata Reila, menunjuk Lavi.Di bukit perbatasan hanya ada mereka yang akan berangkat misi: Profesor Merla, Yasha, Layla, ditambah aku, Lavi, Reila, Fal, Haswin, dan Kara. Sebenarnya ada Mister, tetapi bukit perbatasan, kan, memang tempat Mister.Sebelum kemari, Profesor Merla sempat mengajakku bicara sejenak.“Kalau situasinya memang masih belum memungkinkan Layla untuk segera kembali, aku mungkin membiarkan
Di perjalanan kembali, sebelum pagi benar-benar datang, aku tahu urusanku bakal lebih panjang dari semestinya.“Forlan mau ke mana?” tanya Fal.“Urusan bisnis,” jawabku, memberi Reila isyarat agar membawa Fal pergi.Ketika aku memasuki Joglo, aku bisa memastikan semua orang tidak sadar, dan tampaknya itu juga dia mengerti. Jadi, ketika aku duduk di lingkaran perapian yang dikelilingi kursi, Bibi Nadya mulai mewujud.“Tempat ini benar-benar menjadi wilayahmu,” sapa Bibi.“Aku benar-benar bertemu dengannya,” kataku, tanpa basa-basi. “Maaf aku tidak sadar sewaktu punya kesempatan. Semestinya aku menariknya kemari, bukan memberinya panah. Aku janji bakal mencarinya lagi. Maafkan aku.”Bibi langsung terdiam. Pendar kabur Bibi sempat kacau.“Harusnya aku tidak punya muka lagi bertemu Bibi. Aku—”“Kau terlalu memikirkan perasaan orang, Forlan,” p
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak