Reila dipanggil ke Rapat Dewan setelah kami membicarakan Ayah.
“Kata Kara, Ayah itu populer. Banyak cewek yang naksir. Ibu sering bilang Ayah tukang rayu, jadi kadang Ibu sebal sampai tidak mau bicara.”
“Mirip Lavi, ya,” kataku.
“Lavi? Lavi bukan tukang rayu. Justru kau yang mirip Ayah.”
“Kau pasti bercanda. Aku populer karena dihujat.”
“Dasar idiot. Kalau tidak secepat itu pacaran sama Lavi, cewek-cewek pasti naksir. Kau cuma tidak tahu berapa banyak Venus membicarakanmu.”
Aku tertawa. “Mustahil.”
Reila memutar bola mata. “Persis. Ayah juga bilang begitu—kata Kara. Aku berani sumpah Lavi juga sadar, makanya dia mengamankan posisi sangat cepat—hebat sekali cinta kalian langsung bertepuk.”
“Cuma orang tolol yang tidak cinta Lavi. Para cowok rebutan Lavi.”
“Tapi Lavi bukan tukang rayu,” ulangnya. “L
Kurang lebih, aku langsung diseret Jenderal ke belakang Pendopo, disusul semua dewan—kecuali Mister—lalu Jenderal mencengkeram kerahku, mendorong keras sampai aku terbanting ke dinding, dan dengan aura penuh tuntutan, mengucap sumpah serapah apa yang sebenarnya baru saja kuucapkan.Kalau itu aku sebelum Rapat Dewan, aku pasti membeku bertemu neraka.Namun, aku baik-baik saja, justru balas menatap Jenderal dengan aura yang cukup mampu membalas. Kubilang, aku serius, dan kalau mau bercanda, aku tidak akan terpikirkan topik itu. Aku tidak bilang kalau sudah bertemu istrinya. Aku tidak bilang pada siapa pun, kecuali Profesor Merla di mimpi pertamaku tentangnya. Tak ada satu pun yang tahu, kecuali Reila di Pulau Pendiri. Itu aturannya. Tidak boleh ada yang tahu kepergian seseorang yang diam-diam diizinkan kembali ke dunia.Hanya saja, Helvin masih hidup. Dia masih berkeliaran di alam liar.Jadi, aku menjelaskan semua perawakan yang kuingat tentangn
Pada akhirnya, aku terjaga sepanjang malam.Aku perlu memikirkan banyak hal, jadi beberapa hal yang kupikirkan mulai kutulis di lembaran. Tiba-tiba aku merasa perlu kembali ke penjara, bertemu dengan Aaron yang sudah menjadi boneka pimpinan musuh. Jiwanya terikat kontrak secara sepihak. Kemungkinan besar tubuhnya sudah diambil alih. Namun, mengapa dewan tetap membiarkannya di penjara—itu pertanyaan terbesar. Membiarkannya di sini hanya seperti membiarkan pimpinan musuh terdiam di Padang Anushka.Namun, tiba-tiba kupikirkan kalau barangkali penjara tidak benar-benar di Padang Anushka. Aku tidak tahu mengapa memikirkan itu, tetapi gagasan itu yang paling masuk akal. Kemampuan roh tidak punya kemampuan melacak lokasi jiwa seseorang, tetapi kami punya kemampuan merasakan alam liar. Barangkali markas musuh punya aura alam liar yang mirip ketika di dekat Aaron.Rasanya ada banyak yang harus kupikirkan.Fal, yang tidur di belakang, juga perlu dipertimbangk
Aza sedang membuat parit untuk aliran air setelah pondok diterjang hujan badai selama seminggu terakhir. Itu dua tahun sebelum Nenek tiada.Aza masih seperti gadis jail yang terlalu aktif bermain.“Sekarang airnya bisa langsung ke sungai kalau hujan deras lagi,” kata Aza. Saat itu hanya aku dan Aza. Kami berjongkok di ujung tanah sebelum ketinggian tanah mulai turun ke sungai. Jalur air yang dibuat Aza sangat bagus, pinggirnya ditahan memakai bebatuan, sehingga tanah pinggir jalur tak akan longsor menutupi jalur air. Beberapa tanaman juga sengaja dipindahkan ke sekitar jalur air—entah apa tujuannya.Aza saat itu sudah penuh lumpur. Aku juga. Kami benar-benar bau tanah. Sela-sela jemariku terisi tanah tebal.“Aku suka hujan, tapi kalau banjir, aku benci,” kata Aza.“Aku heran pondok tidak terbang saat angin kencang,” kataku.“Kau ini. Harusnya bersyukur, dong. Kalau di alam liar, pondok seperti
Aku tertidur hanya sesaat.Di mimpiku, aku sedang latihan berpedang di sungai dengan Aza. Serangan Aza seperti kalap, tidak memberiku jeda sama sekali, jadi aku kesal, melontarkan sebongkah air agar dia memberiku sedikit ruang. Namun, aku lupa Aza juga bisa mengendalikan air. Saat aku melontarkan selusin air, Aza mengembalikannya bak berniat membuat air sungai meluap sampai pondok. Dan itu benar-benar raksasa. Aliran air tiba-tiba semakin deras, dan deras. Tiba-tiba sudah setinggi tsunami, dan ketika air itu berjarak beberapa meter dari wajahku, sentakan membuatku terkejut setengah mati hingga aku melompat dari tidur.Aku meledakkan selimut di sofa. Ada dua orang di dekatku.Pertama, Kara yang menoleh ke tempatku.Kedua, Lavi yang menatapku heran.Tidak ada siapa-siapa lagi. Tidak terdengar apa pun, kecuali angin semilir yang membunyikan lonceng angin. Kami di ruangan pondok utama. Selimutku ikut terbang ketika aku melompat bangun. Lavi tepat di sa
Aku terpana pada keterampilan menata rambut Lavi karena aku bisa terlihat begitu oke dibanding sebelumnya hanya karena mengganti gaya rambut.“Isha kadang iseng membuat campuran bahan-bahan alami untuk tambahan sampo,” kata Lavi. “Aku bisa memberimu kalau mau. Sepertinya kau tidak pernah menjaga rambutmu. Banyak yang rontok.”Aku oke menerimanya, tetapi aku yakin yang memakainya nanti Reila.Jadi, Lavi mencetuskan agar kami berangkat ke markas tim penyerang lama. Terlebih karena Lavi, “Pernah janji mengajakmu jalan-jalan ke markas lama tim penyerang. Jadi, sebelum tempat itu roboh, aku mau menepati janji.”Kami mampir ke gerhanya untuk mengambil jubah Kapten, tetapi karena kami perlu melewati Venus, kurang lebih semua orang membicarakan kami—bisik-bisik, bergosip atau apa pun. Aku bisa membayangkan itu. Lavi memakai pakaian yang jarang dia pakai, dan aku mengganti gaya rambut. Pasti terjadi sesuatu.Ketika
Yang pertama datang setelah kami, tentu anggota tim penyerang: si kembar, dan si anggota baru: Reila. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk jail.“Ah, berisik!” Reila jengkel. “Aku juga tidak tahu kenapa kemari.”“Anggap saja ini pesta penyambutanmu,” kata Dalton.Aku baru memikirkan ini, tetapi sejak Reila bergabung, tim penyerang juga belum benar-benar berkumpul sebagai tim. Rasanya seperti tidak ada penyambutan atau apalah. Reila hanya tiba-tiba bergabung.“Tempat ini bau sekali,” hardik Reila. “Bau minyak.”“Namanya juga mau dibakar,” kataku.“Yang merobohkan siapa? Kakak?”“Bukan. Aku tidak semestinya bertugas, meski lebih gampang.”“Iya, sih, tidak semestinya dilakukan orang luar.”Sewaktu aku menjaili Reila, Dalton ikut denganku. Namun, Elton langsung menghampiri Lavi yang masih duduk. Fase merenung
Saat matahari sudah terbenam dan aku sedang mengajarkan Fal bagaimana dia harus mengendalikan cahaya di ujung jemarinya—tentu bersama Reila—pintu gerhaku diketuk seseorang.Ketika membuka pintu, aku membeku sejenak—sebagian karena terkejut.“Aku perlu memberitahumu sesuatu,” kata Elton. Dan dia tidak basa-basi. “Sewaktu penyerangan ke markas musuh di Lembah Palapa, aku tahu Lavi sempat bertemu Erick. Apa dia sudah memberitahumu?”Aku semakin kaget, tetapi juga bingung. Aku tidak pernah terpikirkan Elton akan menghampiriku untuk mengatakan itu.“Tidak,” kataku, berhasil kelihatan normal. “Dia bertemu Erick?”“Dia memintanya berkhianat.”“Siapa yang kau maksud ini? Lavi memintanya berkhianat, atau Erick yang memintanya berkhianat?” Aku tidak tahu mengapa menanyakan ini meskipun tahu jawabannya, tetapi aku merasa perlu bertanya.“Erick meminta
Pagi-pagi buta, aku sudah di bukit perbatasan. Lavi bahkan masih menguap.Matahari masih muncul sedikit, sehingga kabut lumayan menipis. Udaranya terasa alami dan menyegarkan. Sebagian penghuni masih tidur. Hanya tim tungku yang sudah bersiap di dapur—menurut Layla.“Aku sudah pamit, tidak perlu mengantar,” kata Layla, padaku dan Reila.“Selalu saja ada yang kau perdebatkan dariku,” balasku.Layla tertawa. “Reila, kakakmu ini tidur, kan?”“Dia tidur di tempat Lavi,” kata Reila, menunjuk Lavi.Di bukit perbatasan hanya ada mereka yang akan berangkat misi: Profesor Merla, Yasha, Layla, ditambah aku, Lavi, Reila, Fal, Haswin, dan Kara. Sebenarnya ada Mister, tetapi bukit perbatasan, kan, memang tempat Mister.Sebelum kemari, Profesor Merla sempat mengajakku bicara sejenak.“Kalau situasinya memang masih belum memungkinkan Layla untuk segera kembali, aku mungkin membiarkan
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da