Rapat Dewan ada dalam cekungan waktu yang membeku ketika aku mulai melaporkan apa yang dikatakan Akshaya tentang kemampuanku.
Tiba-tiba tempat kami berkumpul sudah tidak bersuara seolah semua orang tersentak sampai mengeras begitu saja. Ada beberapa orang yang sudah mengerti kebenarannya—Profesor Merla, Layla, Reila, Lavi—tetapi mereka tidak membuat keadaan terasa jauh lebih ringan. Mereka hanya bungkam seolah tidak tahu apa lagi yang harus dibicarakan. Lavi bahkan mulai tertarik menatap lantai Pendopo.
Jenderal terlihat lebih serius dari biasanya. Kara juga berulang kali menatap Profesor Merla di sebelahnya seolah mencari konfirmasi, dan Profesor Merla selalu hanya mengangguk atau mengedikkan bahu. Kurasakan Dokter Gelda juga tampak mulai kaku seolah kepalanya sedang memutar balik segala hal aneh yang terjadi padaku—sama seperti cara memandang Isha dan Tara padaku saat ini. Sebenarnya yang mengejutkan justru Jesse dan Nuel. Kubayangkan mereka marah,
Sayangnya, Jesse kali ini menghindari pertanyaan. Dia hanya melengos—tidak berniat peduli apa pertanyaanku, hanya meminta Nadir melanjutkan.Jadi, aku mengangkat alis pada Lavi, seperti bilang, “Aku sudah tahu akan jadi seperti ini, jangan meragukan firasatku.”Lavi tidak mau bertautan mata, sepertinya marah.“Aku tidak mau menganggap Forlan kunci daya tempur kita, tapi bukannya itu artinya kita ada di masa yang penuh celah?” tanya Dokter Gelda.“Itu yang kupikirkan,” gumam Kara. “Kemampuan roh berarti banyak untuk garis depan. Pimpinan musuh pasti mengincar Forlan. Itu sebabnya hampir setiap misi, frekuensi pertemuan Forlan dengan musuh selalu lebih banyak dari yang lain. Ada kemungkinan sejak awal musuh sudah tahu keberadaan kemampuan roh dalam diri Forlan. Itu artinya, keadaan sekarang tidak mengubah apa pun.”“Berarti kita harus menarik Forlan dari garis depan?” tanya Nadir.
Aku sudah membayangkan para penghuni bertanya-tanya bagaimana Rapat Dewan bisa berakhir dengan kondisi mengkhawatirkan—karena semua orang yang hadir kembali dalam waktu berbeda—tetapi semua orang yang terlibat malam itu, entah bagaimana sepakat dalam satu suara, bahkan tanpa pernah berunding—bahwa itu rahasia para dewan. Lebih anehnya lagi, tidak ada petinggi tim yang bertanya-tanya mengapa mereka bisa tiba-tiba tidak sadarkan diri, mengingat hampir semua orang juga ambruk di tempat yang sama.Jadi, semua bermula ketika semua orang diangkut ke klinik—beruntungnya, klinik punya ruangan yang cukup untuk semua orang. Tim medis ambruk. Namun, tetap harus ada yang menjaga. Dokter Gelda tetap membuka mata, tetapi karena aku merasa bertanggung jawab, sepanjang malam aku menemani Dokter Gelda.Bersama Fal.Fal masih terjaga di pondok utama. Sebenarnya bersama Dalton dan Elton, tetapi mereka gagal menahan kantuk. Jadi, saat aku menjemput Fal, dia
Dokter Gelda menyarankan untuk memisahkanku dengan Lavi untuk waktu yang tidak ditentukan. Dia langsung membawa Lavi kembali ke Gerhanya, semata-mata agar kondisinya bisa benar-benar pulih. Lavi masih kelihatan syok.Aku tidak punya pembelaan. Pertama, bisa jadi itu bukan mimpi. Itu cuma penglihatan yang ditunjukkan pemilik kemampuan jiwa sebagai bentuk perlawanan yang berniat menghancurkan jiwa Lavi. Kedua, terkadang mimpi tidak benar-benar terjadi. Lavi pernah bermimpi aku terbunuh, tetapi pada akhirnya, dia sendiri yang, secara teknis, membunuhku. Ketiga, setelah jiwa kami terikat pada batu yang tidak stabil, aku tahu nyawa kami memang sudah di ujung tanduk.Gagasan itu membuatku pergi dari klinik, yang mungkin saja akan membuat situasi semakin runyam. Aku yakin yang bermimpi aneh tidak hanya Lavi. Dokter Gelda juga sepakat agar aku tidak terlalu terlibat dalam kegiatan penghuni sampai Rapat Dewan berikutnya—yang rencananya, “Malam ini. Ini hanya perkira
Di tengah ladang bunga itu, ada semacam pondok sederhana.Setelah Kara menghampiri kami, kami berjalan ke pondok sederhana itu—pondok yang bahkan lebih kecil dari pondok Nenek. Di sana ada semacam beranda kecil, tempat angin semilir membuat bunyi gemerincing pada lonceng angin, dan satu kursi santai, yang tengah diduduki orang paling fenomenal di Padang Anushka. Orang itu duduk, menaikkan kaki ke pagar kayu pondok, bersantai sangat normal, yang Kara sebut sebagai, “Berpikir.” Sebenarnya aku setuju berpikir dengan pose seperti itu dan di depan ladang bunga akan membuat kerja otakku seribu kali lipat lebih cemerlang, tetapi pose itu tidak cocok denganku.Hanya saja, pose itu cocok dengannya.“Jenderal,” sapa Kara. Kami naik ke beranda—sebenarnya aku ragu, tetapi Fal biasa saja, jadi aku ikut naik ke beranda.Saat itu masih awal pagi, dan tadi malam kami baru mengalami hal lumayan mengerikan, itu membuat pertemuan dengan J
Seharian penuh aku menghabiskan waktu bersama Fal.Lebih tepatnya, seharian penuh aku di ladang bunga. Fal mengajakku main banyak hal di pekarangan bunga, jadi tidak ada alasan pergi dari sana. Sesekali Fal perlu minum, jadi dia kembali ke pondok Jenderal—yang jujur saja agak membuat ngeri—tetapi ternyata Jenderal menerima Fal kelewat baik sampai setiap kami ke sana, Jenderal hanya bilang, “Jangan mengacak-acak,” sebagai tanda bahwa secara khusus, Fal diperbolehkan masuk dan mengambil apa pun yang dia mau. Tentunya aku—sebagai orang yang bersama Fal—juga diizinkan, meski agak takut.Aku memikirkan Jenderal tinggal sendirian di tempat ini—pondok itu berisi banyak kenangan tentang Bibi Nadya: foto-fotonya, barang peninggalannya, atau bahkan nuansa khasnya—tampaknya Jenderal selalu memendam kerinduannya di gubuk kecil ini. Gubuk sederhana, yang tidak terlalu besar, yang bahkan tidak cocok untuk citra Jenderal yang begitu meg
Sebelum Rapat Dewan, aku berdiri di depan pagar gerha Lavi.Kurasa Lavi tahu aku di sana, jadi dia keluar dengan jubah Kapten, senyum kecilnya terukir, dan aku tahu kami tidak perlu obrolan panjang untuk menguraikan benang kusut. Satu-satunya yang dia lakukan hanya mulai mengulurkan tangan, dan kami berpelukan dalam intensitas yang cukup mengerikan.Barangkali Lavi masuk dalam kategori penghuni yang bisa bertahan cukup kuat dari gempuran serangan jiwa. Namun, aku sudah menduganya, dan Kara juga mengonfirmasinya. Terlepas seberapa kuat Lavi bisa menahan gempuran itu, ketika serangan itu menyerang titik terlemah Lavi, mustahil Lavi mampu bertahan.“Satu-satunya cara mengalahkan lawan yang lebih kuat darimu,” kata Kara, “serang titik terlemahnya. Ironisnya, dalam diri manusia, objek yang diserang ini bukan fisik yang bisa sembuh dengan perlakuan cepat. Setiap orang selalu punya titik terlemah dalam dirinya—yang bukan fisik—dan tidak se
Reila dipanggil ke Rapat Dewan setelah kami membicarakan Ayah.“Kata Kara, Ayah itu populer. Banyak cewek yang naksir. Ibu sering bilang Ayah tukang rayu, jadi kadang Ibu sebal sampai tidak mau bicara.”“Mirip Lavi, ya,” kataku.“Lavi? Lavi bukan tukang rayu. Justru kau yang mirip Ayah.”“Kau pasti bercanda. Aku populer karena dihujat.”“Dasar idiot. Kalau tidak secepat itu pacaran sama Lavi, cewek-cewek pasti naksir. Kau cuma tidak tahu berapa banyak Venus membicarakanmu.”Aku tertawa. “Mustahil.”Reila memutar bola mata. “Persis. Ayah juga bilang begitu—kata Kara. Aku berani sumpah Lavi juga sadar, makanya dia mengamankan posisi sangat cepat—hebat sekali cinta kalian langsung bertepuk.”“Cuma orang tolol yang tidak cinta Lavi. Para cowok rebutan Lavi.”“Tapi Lavi bukan tukang rayu,” ulangnya. “L
Kurang lebih, aku langsung diseret Jenderal ke belakang Pendopo, disusul semua dewan—kecuali Mister—lalu Jenderal mencengkeram kerahku, mendorong keras sampai aku terbanting ke dinding, dan dengan aura penuh tuntutan, mengucap sumpah serapah apa yang sebenarnya baru saja kuucapkan.Kalau itu aku sebelum Rapat Dewan, aku pasti membeku bertemu neraka.Namun, aku baik-baik saja, justru balas menatap Jenderal dengan aura yang cukup mampu membalas. Kubilang, aku serius, dan kalau mau bercanda, aku tidak akan terpikirkan topik itu. Aku tidak bilang kalau sudah bertemu istrinya. Aku tidak bilang pada siapa pun, kecuali Profesor Merla di mimpi pertamaku tentangnya. Tak ada satu pun yang tahu, kecuali Reila di Pulau Pendiri. Itu aturannya. Tidak boleh ada yang tahu kepergian seseorang yang diam-diam diizinkan kembali ke dunia.Hanya saja, Helvin masih hidup. Dia masih berkeliaran di alam liar.Jadi, aku menjelaskan semua perawakan yang kuingat tentangn
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak