Jentikan jari itu kedengaran begitu keras.
Langsung muncul di depan mataku: hidangan berkelas sangat lezat. Kami pindah tempat, dan tepat seperti yang kubayangkan: api unggun. Akshaya duduk di batang pohon, dikelilingi kucing-kucing lucu, dan di pangkuannya, kucing raksasa berwarna putih sedang menikmati garukan jemarinya. Api unggun itu mati. Jelas—masih siang, tetapi aku merasa ini tempat yang sama seperti dalam mimpiku.
Aku merasakan gejolak aneh. Setiap bertemu pemandangan ini, suasananya selalu malam. Dan momen itu selalu datang ketika aku dalam kondisi buruk.
“Bukannya tempat ini hanya muncul saat gundah?” tanyaku.
“Perkemahan,” sebut Akshaya, mengambil satu tusuk sate. Kupikirkan dia akan menggigitnya, tetapi ternyata dia melepaskan daging dari tusuk, membuatnya menjadi santapan para kucing. “Api unggun adalah tempat terhangat, benar?”
“Api unggun memang identik dengan itu,” kataku.
<Reaksi Reila sama sepertiku.Dia menatapku begitu lurus sama seperti yang kubayangkan bila sekarang aku bisa menatap diriku sendiri. Namun, sorot itu tidak hanya berarti ngeri. Dalam satu sorot itu, dia juga melihatku penuh simpati, kagum, sekaligus kaget. Aku juga menatapnya, tidak berniat mengalihkan pandangan seolah bila aku menjadi orang pertama yang mengalihkan pandangan, aku akan kalah.“Sejak kapan gagasan itu datang ke pikiranmu?” tanya Reila.“Sejujurnya, sejak awal,” jawabku, menelan ludah.“Sejak awal?”“Ingat kubilang Jesse pernah menganggapku objek penelitian? Aku mengira yang dia cari sebenarnya Aza. Jesse mencari orang yang bisa mengendalikan dunia roh dan hidup di dunia manusia. Dan kalau itu memang Aza—artinya Aza pemilik kemampuan roh. Dan karena Aza pernah bilang kemampuanku sama sepertinya, itu artinya kemampuanku juga kemampuan roh—wow. Kau bangga padaku?”&ldqu
Ketika Akshaya menjentikkan jari lagi, bekas hidangan-hidangan makanan hilang, dan kami tiba-tiba berada di tempat yang tampaknya seperti taman. Bunga-bunga bertebaran. Kami dikelilingi tanaman hias, duduk melingkar.“Kita perlu membicarakan pelindung,” ujar Akshaya, mengumumkan.Reila masih terkejut dirinya pindah, tetapi karena Akshaya sudah memulai penjelasan, dia berusaha tetap memasang telinga.“Hanya kemampuan roh yang bisa membuat pelindung,” ujar Akshaya.“Dan itu kemampuan terkuat,” ucapku.“Kemampuan terkuat,” ulang Akshaya, seolah ingin membenarkan. “Lebih tepatnya, kemampuan ini mengizinkan pemilik kemampuan roh memiliki dunianya sendiri, sama seperti yang kalian lihat di sini, atau seperti yang kalian lihat selama di Padang Anushka, atau bahkan selama Forlan di pondok. Selama pelindung masih ada, kemampuan roh berhak melakukan apa pun di dalam pelindung yang dia buat.”
Pembicaraan dihentikan atas permintaan Reila.Metode menghiburnya kali ini cukup unik. Awalnya aku hanya ingin duduk di dekat batu nisan Aza, tetapi kemudian Reila melarang itu karena aku sudah duduk lama sekali. Jadi, dia menarikku, lalu kami duduk di dekat pancuran air, dan Reila berkata, “Berhentilah bersedih. Aku tidak mau kau jadi Raja Arwah.”Humorku sepertinya sudah jongkok sampai bisa tertawa mendengar itu.“Tapi sebenarnya ada yang ingin kutanyakan. Ng, soal arwah,” katanya.“Apa?”“Bagaimana dengan... Ibu? Ayah?”Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Ingatanku langsung memproses ucapan Bibi tentang aturan yang tidak boleh mengonfirmasi keberadaan pada pihak yang belum tahu. Aku tidak pernah bertemu atau bahkan merasakan eksistensi samar Ibu lagi sejak mengunjunginya bersama Tara. Namun, kalau Ayah—“Kau sering ke makam Ibu?” tanyaku.“Setiap saat.&rdq
Aku bisa mengerti mengapa Reila marah.Bila posisi kami terbalik, barangkali aku juga tidak pernah mau dengar Reila menukar sisa umurnya untuk membuat pelindung yang tidak memberi kebahagiaan padanya. Maksudku, dia melindungi orang asing. Kubayangkan diriku menjadi Aza yang telah memberi sisa umurku untuk melindungi orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, dengan harapan mereka bisa membawa kedamaian untuk permukaan tanah. Namun, ternyata, orang-orang ini menghancurkan pelindung yang harganya tidak gratis, lalu menyerang orang-orang yang selama ini berusaha Aza lindungi—mustahil Aza tidak terluka. Mustahil Aza tidak kecewa pada Padang Anushka.Barangkali itu juga salah satu alasan Aza menahanku sangat lama—dengan cara spesifik memintaku turun ke puing-puing kota, bukannya lokasi yang menjadi Padang Anushka. Aza pasti tahu Reila tiba di sana ketika nantinya aku sampai di puing-puing kota. Sejak awal, Aza ingin mengembalikanku pada keluarga, bukan Padang A
Pertempuran itu menghabiskan tiga hari dua malam.Ya. Pertempuran. Bukan latihan. Bahkan Reila sempat kehilangan kendali akan kesadarannya. ketika sadar, dia merengek, “Aku mau pulang.”Itu reaksi yang sama seperti ketika aku pertama kali mendapat latihan serupa dari Aza. Waktu itu aku masih sebelas tahun. Dunia seperti neraka. Aza tidak ragu mengeluarkan kemampuan paling super untuk membuatku berhenti merengek. Dan Nenek, sepertinya sedang pakai tutup telinga—atau jarak kami memang keterlaluan jauh—karena kami bertempur di tengah-tengah hutan belantara.Terulang lagi kali ini. Bedanya aku berdua. Meskipun seperti sendiri karena Reila berulang kali kaget, tidak terima, lalu menuntut kalau semestinya tidak begini. Aku jadi heran apakah ini latihan standar yang diberikan oleh pemilik kemampuan roh karena Aza juga memakai cara latihan yang sama.Dibilang pertempuran, sebenarnya ini bukan pertempuran.Lebih tepatnya, ini permain
Aku ingin segera sadar, tetapi pikiranku justru melayang tinggi.Begitu kusadari, aku sudah berada di bibir danau Padang Anushka. Cuaca sedang mengamuk—bahkan seperti badai. Hujan membuat air danau memunculkan gelombang pasang. Dan bibir danau yang sebelumnya dipenuhi rerumputan basah, kini benar-benar sudah terendam air danau yang naik. Banyak kano yang harusnya terikat terbawa arus, terombang-ambing pada gelombang yang tidak beraturan. Dan aku di sana. Di bibir danau, siap menerima arus gelombang pasang seolah danau bukan lagi danau, melainkan laut di bibir pantai.Sayangnya, ketika aku membayangkan tubuhku akan terseret arus ombak—aku tidak. Aku tetap berdiri di bibir danau, dengan separuh badanku tenggelam, dan baru kusadari bahwa aku tidak benar-benar di sana.Maksudku, aku bahkan tidak punya tubuh. Ini hanya kesadaranku.Aku menoleh, mengedarkan pandangan, ujung mercusuar bersinar terang—menyorot ke segala arah. Namun, hujan mengab
Aku terbangun karena diguncang Reila.Entah sejak kapan dia sudah terbangun, tetapi yang jelas, kami terombang-ambing di danau. Langitnya mendung, bahkan terasa hujan rintik-rintik, lalu karena kami tidak punya dayung, kano harus digerakkan. Reila pikir aku bisa membuat air mendorong kano, tetapi kukatakan itu mustahil. Bukan karena aku tidak sanggup menggerakkan air, tetapi sesuatu dalam diriku seperti terserap habis.“Sama,” kata Reila. “Aku juga. Rasanya capek.”“Mungkin karena kita baru dari tempat hebat.”“Mungkin.” Reila juga tidak yakin. “Kita terlalu lama di sana.”Kabut masih cukup tebal, sehingga bibir danau tidak terlihat jelas. Di satu titik, aku merasa mimpiku kabur seolah tak ada yang bisa kuingat lagi. Aku merasa sudah melupakan hal penting, tetapi rasanya mengabur begitu saja.Meskipun agak sulit mengendalikan kemampuan, pada akhirnya kami bisa sedikit demi sedikit m
Ketika akhirnya sampai di klinik, Isha sepertinya baru bangun tidur, jadi dia menatapku dan Reila, tidak tahu harus merespons yang mana, terutama ketika Kara ada di belakang kami, berkata, “Periksa kondisi mereka, Nak.”Menurut keterangan Dokter Gelda, Isha terjaga dua hari berturut-turut tanpa tidur, lalu baru saja tertidur setengah hari ketika aku tiba di ladang.“Sulit berpikir jernih,” kata Isha. “Yang perlu kulakukan hanya memeriksa? Atau ada yang harus kulakukan lagi?”“Hanya memeriksa.” Dokter Gelda membenarkan. “Dan memulihkan.”Jadi, Dokter Gelda menjelaskan situasi yang baru terjadi, ketika aku sampai di danau ladang, yang membuat Isha bertanya mengapa aku bisa di sana, jadi Dokter Gelda bilang kalau aku baru dari Pulau Pendiri. Itu membuat Isha mengernyitkan alis, berulang kali melihat antara aku, Reila, aku, Reila, lalu menghela napas.Setelah yakin dengan yang dia lihat, Isha