Share

227. ROH #2

last update Last Updated: 2022-12-02 14:00:38

Ketika Akshaya menjentikkan jari lagi, bekas hidangan-hidangan makanan hilang, dan kami tiba-tiba berada di tempat yang tampaknya seperti taman. Bunga-bunga bertebaran. Kami dikelilingi tanaman hias, duduk melingkar.

“Kita perlu membicarakan pelindung,” ujar Akshaya, mengumumkan.

Reila masih terkejut dirinya pindah, tetapi karena Akshaya sudah memulai penjelasan, dia berusaha tetap memasang telinga.

“Hanya kemampuan roh yang bisa membuat pelindung,” ujar Akshaya.

“Dan itu kemampuan terkuat,” ucapku.

“Kemampuan terkuat,” ulang Akshaya, seolah ingin membenarkan. “Lebih tepatnya, kemampuan ini mengizinkan pemilik kemampuan roh memiliki dunianya sendiri, sama seperti yang kalian lihat di sini, atau seperti yang kalian lihat selama di Padang Anushka, atau bahkan selama Forlan di pondok. Selama pelindung masih ada, kemampuan roh berhak melakukan apa pun di dalam pelindung yang dia buat.”

Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Selubung Memori   228. ROH #3

    Pembicaraan dihentikan atas permintaan Reila.Metode menghiburnya kali ini cukup unik. Awalnya aku hanya ingin duduk di dekat batu nisan Aza, tetapi kemudian Reila melarang itu karena aku sudah duduk lama sekali. Jadi, dia menarikku, lalu kami duduk di dekat pancuran air, dan Reila berkata, “Berhentilah bersedih. Aku tidak mau kau jadi Raja Arwah.”Humorku sepertinya sudah jongkok sampai bisa tertawa mendengar itu.“Tapi sebenarnya ada yang ingin kutanyakan. Ng, soal arwah,” katanya.“Apa?”“Bagaimana dengan... Ibu? Ayah?”Aku terdiam, tidak bisa menjawab. Ingatanku langsung memproses ucapan Bibi tentang aturan yang tidak boleh mengonfirmasi keberadaan pada pihak yang belum tahu. Aku tidak pernah bertemu atau bahkan merasakan eksistensi samar Ibu lagi sejak mengunjunginya bersama Tara. Namun, kalau Ayah—“Kau sering ke makam Ibu?” tanyaku.“Setiap saat.&rdq

    Last Updated : 2022-12-04
  • Selubung Memori   229. ROH #4

    Aku bisa mengerti mengapa Reila marah.Bila posisi kami terbalik, barangkali aku juga tidak pernah mau dengar Reila menukar sisa umurnya untuk membuat pelindung yang tidak memberi kebahagiaan padanya. Maksudku, dia melindungi orang asing. Kubayangkan diriku menjadi Aza yang telah memberi sisa umurku untuk melindungi orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, dengan harapan mereka bisa membawa kedamaian untuk permukaan tanah. Namun, ternyata, orang-orang ini menghancurkan pelindung yang harganya tidak gratis, lalu menyerang orang-orang yang selama ini berusaha Aza lindungi—mustahil Aza tidak terluka. Mustahil Aza tidak kecewa pada Padang Anushka.Barangkali itu juga salah satu alasan Aza menahanku sangat lama—dengan cara spesifik memintaku turun ke puing-puing kota, bukannya lokasi yang menjadi Padang Anushka. Aza pasti tahu Reila tiba di sana ketika nantinya aku sampai di puing-puing kota. Sejak awal, Aza ingin mengembalikanku pada keluarga, bukan Padang A

    Last Updated : 2022-12-06
  • Selubung Memori   230. ROH #5

    Pertempuran itu menghabiskan tiga hari dua malam.Ya. Pertempuran. Bukan latihan. Bahkan Reila sempat kehilangan kendali akan kesadarannya. ketika sadar, dia merengek, “Aku mau pulang.”Itu reaksi yang sama seperti ketika aku pertama kali mendapat latihan serupa dari Aza. Waktu itu aku masih sebelas tahun. Dunia seperti neraka. Aza tidak ragu mengeluarkan kemampuan paling super untuk membuatku berhenti merengek. Dan Nenek, sepertinya sedang pakai tutup telinga—atau jarak kami memang keterlaluan jauh—karena kami bertempur di tengah-tengah hutan belantara.Terulang lagi kali ini. Bedanya aku berdua. Meskipun seperti sendiri karena Reila berulang kali kaget, tidak terima, lalu menuntut kalau semestinya tidak begini. Aku jadi heran apakah ini latihan standar yang diberikan oleh pemilik kemampuan roh karena Aza juga memakai cara latihan yang sama.Dibilang pertempuran, sebenarnya ini bukan pertempuran.Lebih tepatnya, ini permain

    Last Updated : 2022-12-08
  • Selubung Memori   231. DERAK KILAT #1

    Aku ingin segera sadar, tetapi pikiranku justru melayang tinggi.Begitu kusadari, aku sudah berada di bibir danau Padang Anushka. Cuaca sedang mengamuk—bahkan seperti badai. Hujan membuat air danau memunculkan gelombang pasang. Dan bibir danau yang sebelumnya dipenuhi rerumputan basah, kini benar-benar sudah terendam air danau yang naik. Banyak kano yang harusnya terikat terbawa arus, terombang-ambing pada gelombang yang tidak beraturan. Dan aku di sana. Di bibir danau, siap menerima arus gelombang pasang seolah danau bukan lagi danau, melainkan laut di bibir pantai.Sayangnya, ketika aku membayangkan tubuhku akan terseret arus ombak—aku tidak. Aku tetap berdiri di bibir danau, dengan separuh badanku tenggelam, dan baru kusadari bahwa aku tidak benar-benar di sana.Maksudku, aku bahkan tidak punya tubuh. Ini hanya kesadaranku.Aku menoleh, mengedarkan pandangan, ujung mercusuar bersinar terang—menyorot ke segala arah. Namun, hujan mengab

    Last Updated : 2022-12-10
  • Selubung Memori   232. DERAK KILAT #2

    Aku terbangun karena diguncang Reila.Entah sejak kapan dia sudah terbangun, tetapi yang jelas, kami terombang-ambing di danau. Langitnya mendung, bahkan terasa hujan rintik-rintik, lalu karena kami tidak punya dayung, kano harus digerakkan. Reila pikir aku bisa membuat air mendorong kano, tetapi kukatakan itu mustahil. Bukan karena aku tidak sanggup menggerakkan air, tetapi sesuatu dalam diriku seperti terserap habis.“Sama,” kata Reila. “Aku juga. Rasanya capek.”“Mungkin karena kita baru dari tempat hebat.”“Mungkin.” Reila juga tidak yakin. “Kita terlalu lama di sana.”Kabut masih cukup tebal, sehingga bibir danau tidak terlihat jelas. Di satu titik, aku merasa mimpiku kabur seolah tak ada yang bisa kuingat lagi. Aku merasa sudah melupakan hal penting, tetapi rasanya mengabur begitu saja.Meskipun agak sulit mengendalikan kemampuan, pada akhirnya kami bisa sedikit demi sedikit m

    Last Updated : 2022-12-12
  • Selubung Memori   233. DERAK KILAT #3

    Ketika akhirnya sampai di klinik, Isha sepertinya baru bangun tidur, jadi dia menatapku dan Reila, tidak tahu harus merespons yang mana, terutama ketika Kara ada di belakang kami, berkata, “Periksa kondisi mereka, Nak.”Menurut keterangan Dokter Gelda, Isha terjaga dua hari berturut-turut tanpa tidur, lalu baru saja tertidur setengah hari ketika aku tiba di ladang.“Sulit berpikir jernih,” kata Isha. “Yang perlu kulakukan hanya memeriksa? Atau ada yang harus kulakukan lagi?”“Hanya memeriksa.” Dokter Gelda membenarkan. “Dan memulihkan.”Jadi, Dokter Gelda menjelaskan situasi yang baru terjadi, ketika aku sampai di danau ladang, yang membuat Isha bertanya mengapa aku bisa di sana, jadi Dokter Gelda bilang kalau aku baru dari Pulau Pendiri. Itu membuat Isha mengernyitkan alis, berulang kali melihat antara aku, Reila, aku, Reila, lalu menghela napas.Setelah yakin dengan yang dia lihat, Isha

    Last Updated : 2022-12-14
  • Selubung Memori   234. DEBU MASA LALU #1

    Belakangan, ternyata Reila meminta maaf sambil bersimpuh—semata-mata dia sendiri juga tidak sadar mengapa sampai bersimpuh, tetapi katanya Reila sudah gemetar, bahkan tidak mampu melihat mata Lavi. Reila tidak berdaya, lalu meminta maaf—yang lebih tepat disebut meminta pengampunan—dengan ketakutan.Lavi, yang terkejut memaksanya berhenti melakukan itu. Reila membantah sampai menetap di posisi itu hampir lebih dari tiga menit.Lavi tidak bertanya alasan Reila membawaku, dia hanya bilang, “Aku tahu kau tidak memaksanya. Aku tidak tahu kenapa dia bisa menurut padamu, tapi aku senang kalian kembali. Jangan meminta maaf seolah aku akan membunuhmu.” Itu membuatku dan Lavi tertawa.Sebenarnya ada banyak yang ingin kubicarakan, tetapi ketika Lavi duduk di depanku seperti ini, bercerita dengan antusias seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tenggorokanku tercekat. Barangkali dia tidak lagi marah, dan alih-alih aku meminta maaf, dia yang memint

    Last Updated : 2022-12-16
  • Selubung Memori   235. DEBU MASA LALU #2

    Setelah hampir mati dibunuh Lavi, bersama Lavi ternyata menenangkan.Tenda sudah tidak menyisakan apa pun, kecuali tendanya sendiri, jadi kami duduk di atas rumput basah, dan suasananya masih romantis untuk beberapa waktu. Setidaknya, Lavi masih bisa menyandar bahuku, dan aku menikmati irama waktu, sampai akhirnya kuputuskan bercerita semua yang terjadi di Pulau Pendiri.Kurang lebih, Lavi langsung kehilangan reaksi.Mata Lavi benar-benar jarang pergi dari mataku, tidak terkecuali ketika aku bercerita hal-hal pedih di masa lalu dan semua citra yang kulihat, termasuk semua kebenaran yang baru kumengerti setelah bertemu Ratu Arwah. Lavi memilih tidak memotong cerita sama sekali, membiarkanku cerita semua yang terjadi, sehingga waktu tidak terasa telah bergulir, dan dari ufuk timur, fajar mulai tiba. Dia benar-benar meletakkan semua perhatiannya pada setiap kata yang kuucapkan dan meski aku sesekali mengajaknya untuk menebak, dia benar-benar memikirkan itu sangat m

    Last Updated : 2022-12-18

Latest chapter

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status