All Chapters of CEO Mencari Cinta: Chapter 171 - Chapter 180
273 Chapters
Baperan, Ih
“Ah, biar aku saja, Mas. Silakan tunggu di meja makan.” Tias dengan canggung mendekati Ilham. Lelaki itu memberikan spatulanya, membiarkan Tias mengaduk bumbunya. Namun, jangan harap melepaskan tubuh sang kekasih. Dia memeluknya dari belakang, sambil sesekali ikut mengaduk. “Aku kesusahan bergerak, ih.” Tias menggerakkan tubuhnya agar dilepaskan oleh Ilham. “Kamu yang memintanya untuk di peluk,” bisik Ilham didekat telinga Tias. Wajah merah bersemu jingga menghiasi pipi Tias yang merona karena godaan dari Ilham tersebut. “Ih, siapa juga?” Akhirnya Tias mengalah untuk memberikan spatulanya kepada lelaki itu, sedangkan dirinya akan keluar dari dapur itu dan sebelum keluar melepas celemek dan di gantungkan kembali di gantungan. Setelah itu, Tias naik tangga menuju kamarnya. Ganti baju mungkin lebih baik. Mengenakan dres tidak cocok dengan gayanya. Namun, demi melihat perubahan
Read more
Aku Sudah Bangun
“Ck, susah juga. Ternyata cowok semuanya baperan. Dih, susah deh.” Tias duduk di meja dapur. Dia berfikir bagaimana caranya untuk meminta maaf. Secangkir kopi mungkin cara terampuh untuk meminta mamar. Dia membubuhkan krimer di atasnya, kemudian didikuti kata maaf yang terukir dengan krimer tersebut. Tias memang memilikijemari yang terampil apapun yang pernah dia lihat, hampir semuanya dapat ditrukan. Camilan kecil biskuit menjadi teman makan kopi. Dia membuat satu kopi dan satulagi coklat. Sebab dirinya tidak menyukai kopi. Tias mengetuk pintu ruangan kerja Ilham. Namun, hening. Lelaki itu tidak menyahut. “Aku masuk ya, Mas?” Tias membuka pintu itu, kemudian melihat Ilham mendengkur sangat halus di kursinya. Sepertinya lelaki itu sangat lelah. Tapi, Ilham merasakan kehadirin Tias. Dia tersenyum dalam tidurnya. Tentu saja, Tias tidak menyadarinya karena dia sibuk membersihkan ruangan itu.&
Read more
Meminta Restu
“Ku kira muka brangasan kayak kalian nggak kenal sholat?” Ilham terkekeh menggoda para body guard itu.          “Hahaha. Kita muslim, Bos. Harus sholatlah. Kalau Thomas dan Erdigo itu baru ke Gereja.” “Baiklah. Yang paling tua yang jadi imam.” Seorang tukang kebun yang biasa menjadi penjaga malam juga maju ke depan, karena Ilham yang menyuruh. Mereka menghadap Tuhannya dengan khusuk. Hari demi hari telah berlalu. Kini tiba sudah pernikahan mereka berdua. Tidak ada pernikahan megah ala raja dan ratu. Walau seluruh seserahan dan baju sangat mewah, tapi pernikahan terjadi di rumah Tias saja, di Semarang. Mereka juga dadakan memberi tahu pada orang tua Tias. *Flas Back On* “Sayang, kita pulang ke Semarang dan Surabaya kapan? Tinggal dua minggu lho, aku juga pingin melamar kamu,
Read more
Restu Dadakan
“Mas, sudah ramai, ya? Saya lama tidak ke Surabaya.” Tias mengedarkan pandangan sambil berjalan sedikit menjingkat. Mereka sudah di jemput oleh sopir ayahnya Ilham. “Selamat siang, Mas Ilham.” Sopir itu membungkuk. Dia sudah berkerja bersama ayahnya Ilham beberapa puluh tahun yang lalu, saat Ilham masih remaja. “Siang, Pak Kirman. Sehat?” Mereka ahirnya melaju menuju rumah ayahnya Ilham. Meskipun sudah uzur, tapi dia masih sangat gagah dan mempesona. Usianya hampir tujuh puluh tahun, namun masih saja aura kegantengannya sangat memukau. Mereka sudah sampai di rumah Ilham. Ayah dan anak itu berpelukan gaya khas anak laki-laki dengan ayahnya. Tias hanya melihat saja. Dia berada di belakang Ilham sambil menangkupkan kedua tangannya. Tidak tahu harus berbuat apa. “Siapa yang di belakangmu?” tanya ayah Ilham. Mahardika Dwi Saloka sampai saat ini masih menjadi
Read more
Dicegat
“Aku merindukan ibumu. Sudah sekian lama dia pergi. Tapi, perhatiannya tidak pernah hilang dari diri ayah. Seandainya dia masih di sini, dia yang pertama kali akan mengomelimu, karena menganggap mudah segala pernikahan dan pernak-perniknya.” Mahardika mengelus foto sang istri yang terpampang jelas. Senyum khas priyayi Jawa tergambar jelas di wajah ayunya. “Saya bukan menggampangkan, Yah. Ada banyak hal yang terjadi. Ini termasuk darurat. Sebenarnya, ada yang harus saya tanyakan. Tapi, biarlah nanti. Untuk saat ini, kita bahagia dulu.” Mereka berangkulan. Betapa akrabnya ayah dan anak itu, walau jarang saling bersua.     Esok harinya terlihat sibuk. Dua mobil  terparkir sempurna sudah berisi bebrapa parsel untuk lamaran. Bahkan sekalian uang mahar dan lain sebagainya. Yang paling mengejutkan adalah jumlah uang mahar yang di persiapkan sangat unik. Yaitu uang pecahan paling kecil jaman dahulu, d
Read more
Mau Mijitin?
  “Turun!” Mereka mengetuk kaca mobil yang buram dari luar. “Ham, biar ayah yang turun,” tukas Mahardika. “Tidak! Ayah dan Tias di sini saja. Saya sanggup mengahdapi mereka.” Ilham turun, kemudian berdiri di samping pintu yang baru saja di tutup. Dia menyenderkan punggungnya pada mobil. “Kalian perlu apa? Kenapa memakai cara seperti ini. Uang?” Ilham dengan santai mengatakannya, sambil bersedakap di depan mereka. “Kurang ajar! Kamu menghina kami?” geram salah seorang. “Tidak! Aku tidak menghinamu. Kalau kamu merasa terhina, berarti memang benar kamu butuh.” Lelaki itu maju dan menyerang Ilham. Ilham hanya menghindar saja, sehingga lelaki itu nyusruk hanya menemukan ruang hampa. “Aku ajarin bung. Menyerang itu begini.” Ilham mmeutar tubuhnya, kemudian mengangkat kakinya de
Read more
Kawinan
“ Aku juga maunya begitu, Mas. Tapi ....” Tias terdiam, ketika telunjuk Ilham menempel pada bibirnya. Dia menundukan kepala, sehingga Ilham menegakkannya dengan memegang dagunya. “Telepon bapak dan ibu agar lebih tenang hatimu, bahwa kita sudah sampai di sini. Sekitar setengah jam sampai.” Ilham memberikan telepon miliknya, untuk Tias gunakan sebagai alat menghubungi keluarganya. “Ah, sepertinya ponsel yang dibelikan kemarin masih utuh. Aku pakai punyaku sendiri saja,”  tolak Tias. “Ini agar bapak dan ibu juga tenang. Bahwa kamu bersamaku,” bujuk Ilham. Tias tersenyum kemudian. Tias sudah tahu sandinya adalah hari lahir dirinya. Ilham pernah mengatakan hal itu. Tias mengabari orang rumah, bahwa dirinya sudah hampir sampai bersama keluarga Ilham. Setelah menghubungi ibunya, ajaib. Tias sedikit tenang. Dia tidak gelisah lagi. Mereka sudah sampai di d
Read more
Insiden Nikahan
“Sudah siap semua. Mempelai perempuan di belakang juga sudah, ya?” tanya penghulu. “Sudah.” Jawab hampir sebagain para tamu yang mengetahui. “Baiklah. Wali, silakan di sebelah sini. Mempelai laki-laki, dua orang saksi silakan di sini.” Penghulu mengatur posisi. Maka, mmepelai laki-laki berada di depan wali dengan meja sebagai penghalang, sedangkan  saksi berada mengapit mempelai laki-laki. Mereka memulai dengan bersalaman antara wali dan juga mempelai laki-laki. “Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ilham Sanjaya Sasmita bin Mahardika Dwi Saloka dengan anak kandung saya bernama Tias Divia Lestari binti  Yoga Wijaya dengan maskawin uang tunai sebesar  tujuh ratus lima puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah di bayar tunai.” Ucapan ijab oleh ayah Tias. “Saya terima nikah dan kawinnya Tias Divia Lestari binti Yoga Wijaya dengan mas k
Read more
Penyamaran
“Cepatlah! Ibu harus keluar dari sini. Jangan pedulikan saya.” Akan tetapi ibu itu terus membalut lukanya. Setelah selesai, baru dia pergi meninggalkan Mario. Kini, Mario yang terluka harus menghadapi tembakan demi tembakan. Dia berlindung di depan lemari agar peluru tidak menembus tubuhnya. Makin lama, desingan peluru membanjiri ruang itu, hingga Mario hanya mampu bersembunyi. Mario keluar dari tempat persembunyiannya, ketika desingan sudah sedikit mereda. “Bajingan memang. Mati kau!” Mario memberondong ke arah lawan. Namun, karena kalah jumlah, pihak kepolisian menjadi terdesak. Mario terluka parah. “Kemana mereka, hah!”  Galih memegang kepala Mario yang hampir pingsan karena kehabisan darah. Dia sangat pusing, terkena beberapa tembakan di kaki dan tangan. Mario tidak bisa lagi merespon pertanyaan Galih. Gelap semua menjadi gelap dia kehilangan kesadaran. “Kita kejar merek
Read more
Meloloskan Diri
“Kita akan membelinya.” Mereka mengendarai motornya kembali. Untung saja, tidak ada operasi pemeriksaan polantas di jalan. Jadi mereka aman-aman saja. Mereka memasuki toko aksesories, sekaligus butik. Tias berdandan ala pria dengan menggunakan rambut palsu. Sedangkan Ilham berdandan ala pria India dengan janggut dan juga turban yang melingkari kepala. “Hahaha ... aduh. Lihatlah, lucu banget. Hahaha.” Tias tertawa terpingkal-pingkal melihat Ilham yang berdandan ala-ala orang India itu. “Aca-aca, nehi-nehi ....” Ilham bertingkah seolah-olah dia memang betul-betul orang India. Dia menangkupkan tangannya, sambil menggoyang-goyangkannya, sehingga Tias makin terpingkal melihatnya. Setelah membayar, mereka kemudian menitipkan motor mereka di titipan motor dan sepeda. Setelah itu, mereka menggunakan taksi untuk kembali ke bandara, agar anak buah Galih tidak curiga. Mereka
Read more
PREV
1
...
1617181920
...
28
DMCA.com Protection Status