“ Aku juga maunya begitu, Mas. Tapi ....” Tias terdiam, ketika telunjuk Ilham menempel pada bibirnya. Dia menundukan kepala, sehingga Ilham menegakkannya dengan memegang dagunya.
“Telepon bapak dan ibu agar lebih tenang hatimu, bahwa kita sudah sampai di sini. Sekitar setengah jam sampai.” Ilham memberikan telepon miliknya, untuk Tias gunakan sebagai alat menghubungi keluarganya.
“Ah, sepertinya ponsel yang dibelikan kemarin masih utuh. Aku pakai punyaku sendiri saja,” tolak Tias.
“Ini agar bapak dan ibu juga tenang. Bahwa kamu bersamaku,” bujuk Ilham.
Tias tersenyum kemudian. Tias sudah tahu sandinya adalah hari lahir dirinya. Ilham pernah mengatakan hal itu. Tias mengabari orang rumah, bahwa dirinya sudah hampir sampai bersama keluarga Ilham. Setelah menghubungi ibunya, ajaib. Tias sedikit tenang. Dia tidak gelisah lagi. Mereka sudah sampai di d
“Sudah siap semua. Mempelai perempuan di belakang juga sudah, ya?” tanya penghulu.“Sudah.” Jawab hampir sebagain para tamu yang mengetahui.“Baiklah. Wali, silakan di sebelah sini. Mempelai laki-laki, dua orang saksi silakan di sini.” Penghulu mengatur posisi. Maka, mmepelai laki-laki berada di depan wali dengan meja sebagai penghalang, sedangkan saksi berada mengapit mempelai laki-laki. Mereka memulai dengan bersalaman antara wali dan juga mempelai laki-laki.“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ilham Sanjaya Sasmita bin Mahardika Dwi Saloka dengan anak kandung saya bernama Tias Divia Lestari binti Yoga Wijaya dengan maskawin uang tunai sebesar tujuh ratus lima puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah di bayar tunai.” Ucapan ijab oleh ayah Tias.“Saya terima nikah dan kawinnya Tias Divia Lestari binti Yoga Wijaya dengan mas k
“Cepatlah! Ibu harus keluar dari sini. Jangan pedulikan saya.” Akan tetapi ibu itu terus membalut lukanya. Setelah selesai, baru dia pergi meninggalkan Mario. Kini, Mario yang terluka harus menghadapi tembakan demi tembakan. Dia berlindung di depan lemari agar peluru tidak menembus tubuhnya. Makin lama, desingan peluru membanjiri ruang itu, hingga Mario hanya mampu bersembunyi. Mario keluar dari tempat persembunyiannya, ketika desingan sudah sedikit mereda.“Bajingan memang. Mati kau!” Mario memberondong ke arah lawan. Namun, karena kalah jumlah, pihak kepolisian menjadi terdesak. Mario terluka parah.“Kemana mereka, hah!” Galih memegang kepala Mario yang hampir pingsan karena kehabisan darah. Dia sangat pusing, terkena beberapa tembakan di kaki dan tangan. Mario tidak bisa lagi merespon pertanyaan Galih. Gelap semua menjadi gelap dia kehilangan kesadaran.“Kita kejar merek
“Kita akan membelinya.” Mereka mengendarai motornya kembali. Untung saja, tidak ada operasi pemeriksaan polantas di jalan. Jadi mereka aman-aman saja. Mereka memasuki toko aksesories, sekaligus butik. Tias berdandan ala pria dengan menggunakan rambut palsu. Sedangkan Ilham berdandan ala pria India dengan janggut dan juga turban yang melingkari kepala.“Hahaha ... aduh. Lihatlah, lucu banget. Hahaha.” Tias tertawa terpingkal-pingkal melihat Ilham yang berdandan ala-ala orang India itu.“Aca-aca, nehi-nehi ....” Ilham bertingkah seolah-olah dia memang betul-betul orang India. Dia menangkupkan tangannya, sambil menggoyang-goyangkannya, sehingga Tias makin terpingkal melihatnya.Setelah membayar, mereka kemudian menitipkan motor mereka di titipan motor dan sepeda. Setelah itu, mereka menggunakan taksi untuk kembali ke bandara, agar anak buah Galih tidak curiga.Mereka
“Jangan kebanyakan ngeluh. Lakukan saja!” kata lelaki kecil berambut gondrong.“Masalahnya, aku bingung, Man. Bagaimana caranya memintanya. Lah, kita tidak di bawain uang untuk menyogok. Jaman sekarang, apa yang tidak pakai uang?” tanya lelaki bertubuh gempal.“Kamu memang goblok kok, Ndut. Pakai otak jangan pakai dengkul.”“Lah, kamu ikut-ikutan ngatain aku jadinya, Jef?”“Udah, ayo kerjakan! Malah berantem sendiri,” cegah pria cungkring. Mereka ahirnya pergi menuju ke bagian informasi yang ada di bandara itu. Dimulai dari maskapai penerbangan yang paling terkenal dan paling bagus. Mereka memilih di mulai dari yang paling bagus, karena menyadari Ilham adalah orang yang kaya. Sehinga tentu memilih pesawat yang bagus.Akhirnya, mereka memperoleh informasi. Tias dan Ilham sudah berangkat menaiki pesawat beberapa jam yang l
Ilham membangunkan Tias, ketika taxi yang mereka tumpangi sudah sampai di hotel yang ingin mereka singgahi. Jika ini mobilnya sendiri, mungkin Ilham akan langsung menggendongnya. Tapi, ini taxi. Tentu ada sedikit rikuh dan sungkan untuk melakukannya, kendati dirinya sudah menjadi suaminya.“Oh, sudah sampai?” Tias tergagap karena menyadari jika ini bukan di rumah mereka.“Kita menginap di sini saja malam ini. Seenggaknya, Galih akan perlu waktu untuk menemukan kita. Kau mau ‘kan, Sayang?” Tias mengangguk saja. Setelah membayar sejumlah nominal yang tertera di argo, Ilham menggandeng istrinya untuk masuk ke hotel tersebut.“Mbak, saya pesan satu kamar untuk kami. Ah, sebentar akan saya rilis dulu dari KUA surat nikah kami.” Ilham menghubungi ketua KUA Ungaran, untuk mengirimkan berkas bahwa mereka telah tercatat sebagai suami istri. Bahkan di komputer mereka berkas itu sudah
“Mau melanjutkan di ranjang?” bisik Ilham. Suaranya terdengar terengah dan tercekat karena jantung berpacu semakin deras memompa darah. Alirannya bak air bah yang menggelondor menembus segala dinding sehingga, kepasrahan Tias menjadikan dirinya mulai menyusuri lekuk tubuh wanita itu.Ilham menurunkan tubuh istrinya yang tadi terduduk di dekat washtafel. Mereka kembali memagutkan bibir mereka, sambil memutar tubuh mereka sedikit demi sedikit, sehingga karena gerakan itu maka mereka dapat sampai ke renjang. Karena terlalu intens, maka mereka malah terjatuh di lantai. Tapi, mereka tidak saling melepaskan.“Kau sudah siap? Kalau belum, aku tunggu sampai kamu siap.” Tapi, Ilham tahu jika Tias menikmatinya, karena bagian dadanya ujung, mulai mengeras.“Aku akan coba, Mas. Kau bisa membimbingku.” Tias memasrahkan seluruh jiwa raganya pada lelaki yang selama ini menghiasi mim
“Hai,” sapa Ilham. Tias menutup wajahnya dengan bantal. Dia malu ketahuan baru bangun tidur.“Kenapa? Kok di tutupin? Cantik lagi, kalau baru bangun dari tidur.” Tias tersenyum karena perkataan Ilham itu. Rasanya, ada kupu-kupu beterbangan membentuk lingkaran di perutnya. Ilham membuka bantalnya, tapi lagi-lagi Tias menutupnya kembali.“Mandi, habis itu sarapan. Sudah ku belikan baju.” Tias membuka bantalnya, kemudian tersenyum. Sesungguhnya, dia mengingat peristiwa tadi malam. Bahkan bajunya belum lengkap terpakai. Pakaian dalam atas belum terkait, kancing baju masih berantakan, dan dalaman bagian bawah pun sudah melorot. Akan tetapi, dia tidak bisa meneruskannya, karena takut dan mengeluarkan keringat dingin.“Mas.” Tias merapikan dalamannya.“Hem. Ada apa?” Ilham membantunya untuk mengaitkannya.“Kamu ...
“Kau menyukainya?” bisik Ilham. Tias tidak mampu berkata. Ternyata memang sangat berbeda. Dia selalu takut jika Galih menciumnya. Tapi, tidak dengan Ilham. Dia merasa aman dan nyaman di cium dan di belai oleh lelaki itu. Setelah puas dengan ciuman, Ilham memulai menyusuri senti demi senti lehernya, hingga terdiam nyenyak di bagian puncak dada. Dia mengeksplor benda bundar berpucuk merah muda itu. Dia seperti bayi yang meminum ASI ibunya.“Mas, ahhh,” cicit Tias.Dia mulai merasakan sensasi rasa yang begitu nikmat menjalari seluruh tubuh dan juga perasaannya. Rasa takut yang selama ini di deritanya musnah sudah. Tidak ada lagi aura ketakutan yang menyelinap di benaknya. Rasanya, justru sangat nikmat dan bersemangat.“Teruslah mendesah, Sayang. Aku harap, ini akan membantumu sembuh. Lupakan ketakutanmu.” Ilham terus saja bergerilya merasuki inci demi inci tubuh molek Tias. Rasanya