“Kau menyukainya?” bisik Ilham. Tias tidak mampu berkata. Ternyata memang sangat berbeda. Dia selalu takut jika Galih menciumnya. Tapi, tidak dengan Ilham. Dia merasa aman dan nyaman di cium dan di belai oleh lelaki itu. Setelah puas dengan ciuman, Ilham memulai menyusuri senti demi senti lehernya, hingga terdiam nyenyak di bagian puncak dada. Dia mengeksplor benda bundar berpucuk merah muda itu. Dia seperti bayi yang meminum ASI ibunya.
“Mas, ahhh,” cicit Tias.
Dia mulai merasakan sensasi rasa yang begitu nikmat menjalari seluruh tubuh dan juga perasaannya. Rasa takut yang selama ini di deritanya musnah sudah. Tidak ada lagi aura ketakutan yang menyelinap di benaknya. Rasanya, justru sangat nikmat dan bersemangat.
“Teruslah mendesah, Sayang. Aku harap, ini akan membantumu sembuh. Lupakan ketakutanmu.” Ilham terus saja bergerilya merasuki inci demi inci tubuh molek Tias. Rasanya
“Kamu mau jalan-jalan ke mana? Biar Aditia yang mengurus mobil kita.” Ilham menawarkan masih dalam posisi tanpa baju dan menyusup ke dalam selimut. Lengket karena keringat tidak mereka raasakan. Rasa bahagia membara sudah, karena sudah berhasil melakukan hubungan suami istri, tanpa rasa takut dari Tias seeprti biasanya.“Kemana, ya? Di sini saja. Dari pada keluar, Bang Galih pasti mengejar kita. Tidur di sini lebih enak. Kalau di rumah juga pasti dia sudah menyelidiki,” tutur Tias.“Ada satu rumah di Cinere. Dia belum mengetahui. Itu juga atas nama mama. Pasti dia tidak menyangka kalau kita di sana,”ucap Ilham.“Terserah, Mas. Tapi, untuk hari ini boleh, ya kita di sini dulu?” pinta Tias.“Jelas boleh. Aku akan mengajukan cuti sehari lagi. Demi bidadariku ini.” Ilham mentoel dagu sang istri. Tias kembali menyusup ke dada lebar milik suaminya
“Ah, sana sih, mandi. Dari tadi godain mulu. Aku sudah lapar, kutinggal nih,” usir Tias.“Emang tahu jalan? Kalau kesasar?” Ilham tertawa terbahak-bahak, hingga Tias mendorong tubuh suaminya itu ke kamar mandi. Lelaki itu tanpa busana, hingga tubuhnya sangat terlihat sempurna.“Duh, ternyata suamiku memang sempurna.” Tias mencicit dalam hatinya. Wanita itu cepat mengganti bajunya, atau akan di terkam kembali oleh sang suami.Suara gemericik terdengar dari dalam kamar mandi itu. Tias tersenyum, karena kini bajunya sudah terpasang sempurna. Tidak menggunakan make-up, karena memang tidak membawa apapun, dan Ilham hanya membelikannya baju. Ada suara bel dari luar, namun Tias tidak berani membukanya.“Siapa?” Ilham sudah keluar dari kamar mandi. Suara gawainya berdering. Ilham sedang mengeringkan rambutnya. Dia mengeringkan rambutnya menggunakan
Sepanjang jalan, Aditia memberi informasi kepada Ilham tentang bagaimana Galih beraksi. Tias hanya miris mendengarnya. Banyak kejutan dari Galih yang dia sendiri tidak tahu. Namun, untuk menjaga perasaan suaminya dia hanya menyimpan keterkejutannya.Ilham memiliki kepekaan yang baik. Dia tahu jika istrinya merasa tidak nyaman dengan obrolan mereka. Ilham menanyakan kepada istrinya.“Sayang, kamu tidak menyukai kita ngobrolin Galih? Kita bukan menjelekkan dia. Tapi, kita hanya tidak suka dengan pekerjaannya saja,” tukas Ilham.“Tidak mengapa, Mas. Aku hanya kaget saja. Ternyata sebagai istrinya aku pernah sedungu itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya.” Tias mengatakan yang sebenarnya dalam pikirannya.“Kadang, tidak semua yang ada pada pasangan kita, kita ketahui. Kalau kau ingin tahu tentang aku, kau bisa tanyakan. Aku tidak akan menyembunyikan apapun darimu. Kamu
“Bos, besok sudah berangkat? Sepertinya akan ada investor meninjau sekolah Cosmos. Untuk korupsi Galih di wilayah gedung terpadu juga akan ada reserse yang akan bertemu dengan bos besak.” Mereka sudah menyelesaikan makan.“Bang, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayan.“Seporsi sate sama nasi putih,” tukas lelaki itu.Tidak mungkin. Suara itu? Dia ada di sini. Ilham dan Tias menengok ke arah suara itu. Spontan mereka terkejut berjamaah. Suara itu adalah Galih dan juga Milea. Mengapa seolah-olah ada mereka berdua. Ini di Jakarta, bukan di Bogor. Tapi, mengapa bisa kebetulan begitu? Ah, sepertinya dunia begitu sempit.Melihat perubahan raut wajah istrinya, Ilham memegang tangannya untuk menguatkan.“Kenapa, Sayang? Hatimu masih sakit?” tanya Ilham.“Hah, sakit? Enggaklah. Aku memiliki kamu sekarang.
“Kau mau menggendongku, Sayang? Boleh. Tapi, ini di tempat umum. Kalau di rumah saja, bagaimana? Setelah itu, kita bermain di ... ah, kau pasti tahu ‘kan?” Tias bergelayut manja di pundak suaminya. Mereka akhirnya meninggalkan meja Galih dan Milea dengan masih saling menggandeng. Sedangkan Aditia sudah lebih dulu masuk ke mobil. Dia tidak ingin melihat drama keluarga seperti itu. Ah, seperti drama ibu-ibu kompleks yang suka nonton sinetron ikan terbang itu.Sementara itu, Galih yang melihat hal itu sangat dongkol. Dia bahkan mengepalkan tangannya dan memukulkannya pada meja, sehingga orang-orang menatap mereka kembali.“Mas, sudah. Duduk! Kita makan. Jangan marah-marah mulu.” Galih akhirnya duduk. Dia mulai memakan makanannya dengan lahap. Karena memang dari semalam tidak makan. Dia bahkan seperti kesetanan karena memakan habis pesanannya dalam waktu singkat.“Mas, hati-hat
“Kagak, bercanda, Bos. Mana mungkin? Saya tahu kalau gaji pegawai proyek itu tidak bisa buat hidup. Maaf, ye bos?” Aditia menoleh ke belakang kemudian nyengir.“Nggak jadi, nih daftar jadi pegawai?” tawar Ilham.“Enggak aja deh, Bos. Entar malah nggak kawin-kawin karena kere. Hahahaha.” Tidak terasa, mereka sudah sampai depan pintu gerbang. Seorang penjaga rumah membukakan pintu untuk mereka.“Buruan! Gue mau jalan-jalan. Kau urus pekerjaanku sampai hari ini. Besok aku berangkat.” Mereka kemudian melenggang terus ke arah rumah mereka. Mereka memasuki pintu gerbang, kemudian hanya berganti mobil saja.Ilham membukakan pintu mobil untuk sang istri, kemudian Tias keluar dari mobil tersebut. Mereka mengganti mobil dengan mobil berwarna putih. Ilham akan membawanya jalan-jalan dan akan memberikan kejutan untuknya. Sebuah hadiah mewah yang akan dia berikan un
“Aku takut naik perahu,” cicit Tias. Wajahnya sangat pucat dan tangannya dingin.Ilham memeluk mistrinya itu. Rasa takut yang semula menggerayangi tubuh Tias, kini berubah menjadi rasa nyaman karena pelukan itu.“Sudah lebih baik?” Ilham tersenyum, dan menyuruh Tias sedikit demi sedikit melihat ke arah air yang bergejolak karena sapuan dari dasar kapal.“Lihat ikan itu? Mereka terbiasa tertimpa dasar kapal. Maka dari itu, kau juga harus terbiasa dengan hal-hal ekstream, kalau ingin rasa takutmu hilang. Termasuk, berhubungan itu denganku,” bisik Ilham. Telinga Tias memanas. Dari tadi, Ilham selalu menggodanya. Dia bersemu merah dan menyembunyikan wajahnya.“Jangan sembunyikan, aku suka saat kamu merasa malu seperti ini. Mirip lopster goreng,” tawa Ilham. Dia tertawa lepas. Hobinya sekarang adalah membuat istrinya tersebut merasa sangat malu. Wajah
“Jejak mata ini, jejak diriku dalam matamu yang membuat aku tidak pernah bisa menggantikanmu dengan siapa pun. Aku mencintaiku.” Ilham memajukan wajahnya, tapi hanya menemukan telapak tangan Tias. Wanita itu berniat menggodanya dan bergantian mengerjainya.“Ih, nakal!” Tias menepuk lengan Ilham. Ilham mengedipkan nakal sebelah matanya, kemudian memainkan alisnya naik tutun. Tias makin tersipu melihat itu.“Kejar aku! Baru kau boleh menciumku!” Tias berlari terus menyusuri pantai, dengan Ilham yang mengejarnya. Pelariannya terhenti, ketika dia meringis kesakitan dan terduduk di tepian pantai itu.Dia meringis karena sebuah kerang mengenai kakinya yang telanjang. Kaki wanita itu berdarah, sehingga Ilhaqm mengangkat tubuh itu karena Tias semakin merintih. Lelaki itu mengangkat tubuh itu dengan elegan menuju ke tepian. Padahal, selesai sholat maghrib nanti dia akan mengajak istrinya itu un