“Bos, besok sudah berangkat? Sepertinya akan ada investor meninjau sekolah Cosmos. Untuk korupsi Galih di wilayah gedung terpadu juga akan ada reserse yang akan bertemu dengan bos besak.” Mereka sudah menyelesaikan makan.
“Bang, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayan.
“Seporsi sate sama nasi putih,” tukas lelaki itu.
Tidak mungkin. Suara itu? Dia ada di sini. Ilham dan Tias menengok ke arah suara itu. Spontan mereka terkejut berjamaah. Suara itu adalah Galih dan juga Milea. Mengapa seolah-olah ada mereka berdua. Ini di Jakarta, bukan di Bogor. Tapi, mengapa bisa kebetulan begitu? Ah, sepertinya dunia begitu sempit.
Melihat perubahan raut wajah istrinya, Ilham memegang tangannya untuk menguatkan.
“Kenapa, Sayang? Hatimu masih sakit?” tanya Ilham.
“Hah, sakit? Enggaklah. Aku memiliki kamu sekarang.
“Kau mau menggendongku, Sayang? Boleh. Tapi, ini di tempat umum. Kalau di rumah saja, bagaimana? Setelah itu, kita bermain di ... ah, kau pasti tahu ‘kan?” Tias bergelayut manja di pundak suaminya. Mereka akhirnya meninggalkan meja Galih dan Milea dengan masih saling menggandeng. Sedangkan Aditia sudah lebih dulu masuk ke mobil. Dia tidak ingin melihat drama keluarga seperti itu. Ah, seperti drama ibu-ibu kompleks yang suka nonton sinetron ikan terbang itu.Sementara itu, Galih yang melihat hal itu sangat dongkol. Dia bahkan mengepalkan tangannya dan memukulkannya pada meja, sehingga orang-orang menatap mereka kembali.“Mas, sudah. Duduk! Kita makan. Jangan marah-marah mulu.” Galih akhirnya duduk. Dia mulai memakan makanannya dengan lahap. Karena memang dari semalam tidak makan. Dia bahkan seperti kesetanan karena memakan habis pesanannya dalam waktu singkat.“Mas, hati-hat
“Kagak, bercanda, Bos. Mana mungkin? Saya tahu kalau gaji pegawai proyek itu tidak bisa buat hidup. Maaf, ye bos?” Aditia menoleh ke belakang kemudian nyengir.“Nggak jadi, nih daftar jadi pegawai?” tawar Ilham.“Enggak aja deh, Bos. Entar malah nggak kawin-kawin karena kere. Hahahaha.” Tidak terasa, mereka sudah sampai depan pintu gerbang. Seorang penjaga rumah membukakan pintu untuk mereka.“Buruan! Gue mau jalan-jalan. Kau urus pekerjaanku sampai hari ini. Besok aku berangkat.” Mereka kemudian melenggang terus ke arah rumah mereka. Mereka memasuki pintu gerbang, kemudian hanya berganti mobil saja.Ilham membukakan pintu mobil untuk sang istri, kemudian Tias keluar dari mobil tersebut. Mereka mengganti mobil dengan mobil berwarna putih. Ilham akan membawanya jalan-jalan dan akan memberikan kejutan untuknya. Sebuah hadiah mewah yang akan dia berikan un
“Aku takut naik perahu,” cicit Tias. Wajahnya sangat pucat dan tangannya dingin.Ilham memeluk mistrinya itu. Rasa takut yang semula menggerayangi tubuh Tias, kini berubah menjadi rasa nyaman karena pelukan itu.“Sudah lebih baik?” Ilham tersenyum, dan menyuruh Tias sedikit demi sedikit melihat ke arah air yang bergejolak karena sapuan dari dasar kapal.“Lihat ikan itu? Mereka terbiasa tertimpa dasar kapal. Maka dari itu, kau juga harus terbiasa dengan hal-hal ekstream, kalau ingin rasa takutmu hilang. Termasuk, berhubungan itu denganku,” bisik Ilham. Telinga Tias memanas. Dari tadi, Ilham selalu menggodanya. Dia bersemu merah dan menyembunyikan wajahnya.“Jangan sembunyikan, aku suka saat kamu merasa malu seperti ini. Mirip lopster goreng,” tawa Ilham. Dia tertawa lepas. Hobinya sekarang adalah membuat istrinya tersebut merasa sangat malu. Wajah
“Jejak mata ini, jejak diriku dalam matamu yang membuat aku tidak pernah bisa menggantikanmu dengan siapa pun. Aku mencintaiku.” Ilham memajukan wajahnya, tapi hanya menemukan telapak tangan Tias. Wanita itu berniat menggodanya dan bergantian mengerjainya.“Ih, nakal!” Tias menepuk lengan Ilham. Ilham mengedipkan nakal sebelah matanya, kemudian memainkan alisnya naik tutun. Tias makin tersipu melihat itu.“Kejar aku! Baru kau boleh menciumku!” Tias berlari terus menyusuri pantai, dengan Ilham yang mengejarnya. Pelariannya terhenti, ketika dia meringis kesakitan dan terduduk di tepian pantai itu.Dia meringis karena sebuah kerang mengenai kakinya yang telanjang. Kaki wanita itu berdarah, sehingga Ilhaqm mengangkat tubuh itu karena Tias semakin merintih. Lelaki itu mengangkat tubuh itu dengan elegan menuju ke tepian. Padahal, selesai sholat maghrib nanti dia akan mengajak istrinya itu un
“Habis sholat maghrib, kita ke pantai lagi, ya?” Ilham duduk di samping Tias sambil sesekali memainkan rambutnya.“Baiklah.” Tias merebahkan tubuhnya dengan tengkurap sambil berselancar di internet. Lelaki itu mengerutkan keningnya, melihat istrinya mencari tahu dirinya lewat internet.“Aku di sini, Baby. Kau malah bertanya pada internet. Kau mau tanya apa, hah?” Ilham ikut tengkurap.“Ih, emang kenapa? Aku Cuma ingin lihat berita tentang kita. Kali aja ada yang bilang aneh-aneh,” bohong Tias.Ilham hanya tersnyum. Istrinya itu tidak pandai dalam berbohong. Dia langsung akan mendeteksi kebohongan pada diri Tias.“Tidak usah berbohong, Sayang. Kalau tidak mau aku mengahabisi bibirmu sekarang. Apa yang ingin kau tanyakan?” bujuk Ilham. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri, sehingga kepalanya berada di dada
Tias membiarkan saja, Ilham menyusuri jengkal demi jengkal tubuhnya dengan juluran lidahnya. Kini, pakaian mereka sudah berserakan di lantai, dengan tumpukan bertambah lagi, setelah Ilham berhasil melepaskan seluruh pakaian yang menempel dapa tubuh istrinya. kali ini, dia akan melakukannya dengan sedikit liar, apakah Tias sudah benar-benar sembuh dari traumanya.“Aku suka desahanmu, Sayang. Mendesahlah dengan lebih dahsyat.” Ilham mencicit dengan suara nafas yang sudah memburu.Akan tetapi, aktivitas mereka harus terhenti karena ada bel yang berbunyi. Ilham menutup tubuh istrinya yang setengah terbuka dengan selimut, dan merapikan celananya yang hampir lepas dari tubuhnya. Setelah itu, membukakan pintu orang yang memencet bel.“Tuan, mohon maaf. Kejutannya apakah jadi?” tanya seorang lelaki memakai seragam pelayan.“Jadi. Setengah tujuh nanti, saya akan ke sana. Sebentar
Ilham mengganti bajunya, kali ini mengenakan jas semi formal sehingga masih terlihat fasionable. Jas berwarna merah maroon, sehingga senada dengan gaun milik Tias.Mereka sudah siap, kemudian jalan bergandengan menuju ke tepi pantai. Aura romantis sudah terasa. Semua lamputemaram yang ada di sepanjang jalan membuat suasana sedikit aneh. Namun, Tias tidak bertanya apapun karena dia pikir mungkin memang seperti itu. Sampai seratus meter seblum tepian pantai. Lilin-lilin kecil berjejer dengan kelopak mawar tersebar di jalan menuju pantai.Sampai di tepian pantai, musik romantis sudah terngiang hingga sepasang kursi dan makanan sudah tersedia.“Mas, ini?” Tias menunjuk ke arah meja dan kusi serta makan malam romantis malam ini.“Iya, ini ucapan terima kasih, karena kau menerima lamaranku.” Ilham membimbing Tias untuk duduk dengan menarikkan kursi untuknya.Tia
Tias menutup mulutnya. Dia tidak percaya akan kejutan yang di berikan oleh sauminya itu. Dia sangat terkejut melihatnya, hingga tidak mampu berkata apa-apa. Wanita itu sampai meuncurkan cairan bening di matanya.“Aku mencintaimu,” ungkap Ilham.Tias hanya tersenyum mendengarkannya. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia merasa sangat bahagia. Perlakuannya Ilham saat ini benar-benar membuatnya melayang di awang-awang bagai tak berpijak di bumi. Tubuhnya ringan melambung.“Mas, kau menyiapkan ini semua?” Tias masih kaget dan menganga. Dia bahkan bingung harus bagaimana bersikap. Dia spontan memeluk suaminya itu. Ilham merasakan hangat di jas yang dia pakai. Rasanya wanita itu memberikan siraman hangat air matanya. Ilham tersenyum pada tangis bahagia istrinya tersebut.“Hai, kau menangis? Ini tangis bahagia, atau?” Ilham terdiam karena telunjuk Tias menempel di bi