“Habis sholat maghrib, kita ke pantai lagi, ya?” Ilham duduk di samping Tias sambil sesekali memainkan rambutnya.
“Baiklah.” Tias merebahkan tubuhnya dengan tengkurap sambil berselancar di internet. Lelaki itu mengerutkan keningnya, melihat istrinya mencari tahu dirinya lewat internet.
“Aku di sini, Baby. Kau malah bertanya pada internet. Kau mau tanya apa, hah?” Ilham ikut tengkurap.
“Ih, emang kenapa? Aku Cuma ingin lihat berita tentang kita. Kali aja ada yang bilang aneh-aneh,” bohong Tias.
Ilham hanya tersnyum. Istrinya itu tidak pandai dalam berbohong. Dia langsung akan mendeteksi kebohongan pada diri Tias.
“Tidak usah berbohong, Sayang. Kalau tidak mau aku mengahabisi bibirmu sekarang. Apa yang ingin kau tanyakan?” bujuk Ilham. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri, sehingga kepalanya berada di dada
Tias membiarkan saja, Ilham menyusuri jengkal demi jengkal tubuhnya dengan juluran lidahnya. Kini, pakaian mereka sudah berserakan di lantai, dengan tumpukan bertambah lagi, setelah Ilham berhasil melepaskan seluruh pakaian yang menempel dapa tubuh istrinya. kali ini, dia akan melakukannya dengan sedikit liar, apakah Tias sudah benar-benar sembuh dari traumanya.“Aku suka desahanmu, Sayang. Mendesahlah dengan lebih dahsyat.” Ilham mencicit dengan suara nafas yang sudah memburu.Akan tetapi, aktivitas mereka harus terhenti karena ada bel yang berbunyi. Ilham menutup tubuh istrinya yang setengah terbuka dengan selimut, dan merapikan celananya yang hampir lepas dari tubuhnya. Setelah itu, membukakan pintu orang yang memencet bel.“Tuan, mohon maaf. Kejutannya apakah jadi?” tanya seorang lelaki memakai seragam pelayan.“Jadi. Setengah tujuh nanti, saya akan ke sana. Sebentar
Ilham mengganti bajunya, kali ini mengenakan jas semi formal sehingga masih terlihat fasionable. Jas berwarna merah maroon, sehingga senada dengan gaun milik Tias.Mereka sudah siap, kemudian jalan bergandengan menuju ke tepi pantai. Aura romantis sudah terasa. Semua lamputemaram yang ada di sepanjang jalan membuat suasana sedikit aneh. Namun, Tias tidak bertanya apapun karena dia pikir mungkin memang seperti itu. Sampai seratus meter seblum tepian pantai. Lilin-lilin kecil berjejer dengan kelopak mawar tersebar di jalan menuju pantai.Sampai di tepian pantai, musik romantis sudah terngiang hingga sepasang kursi dan makanan sudah tersedia.“Mas, ini?” Tias menunjuk ke arah meja dan kusi serta makan malam romantis malam ini.“Iya, ini ucapan terima kasih, karena kau menerima lamaranku.” Ilham membimbing Tias untuk duduk dengan menarikkan kursi untuknya.Tia
Tias menutup mulutnya. Dia tidak percaya akan kejutan yang di berikan oleh sauminya itu. Dia sangat terkejut melihatnya, hingga tidak mampu berkata apa-apa. Wanita itu sampai meuncurkan cairan bening di matanya.“Aku mencintaimu,” ungkap Ilham.Tias hanya tersenyum mendengarkannya. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia merasa sangat bahagia. Perlakuannya Ilham saat ini benar-benar membuatnya melayang di awang-awang bagai tak berpijak di bumi. Tubuhnya ringan melambung.“Mas, kau menyiapkan ini semua?” Tias masih kaget dan menganga. Dia bahkan bingung harus bagaimana bersikap. Dia spontan memeluk suaminya itu. Ilham merasakan hangat di jas yang dia pakai. Rasanya wanita itu memberikan siraman hangat air matanya. Ilham tersenyum pada tangis bahagia istrinya tersebut.“Hai, kau menangis? Ini tangis bahagia, atau?” Ilham terdiam karena telunjuk Tias menempel di bi
Galih mencari di mana lokasi mereka. Dia akan mencari sampai kemana Tias berada. Sampai ke ujung langit pun tidak akan dibiarkan lolos. Dia melihat bahwa lokasinya ada di pulau seribu. Dia dan anak buahnya langsung meringsek menuju ke lokasi tersebut. Padahal sekarang sudah sangat malam.Galih membawa pasukan berjumlah dua puluh lima orang. Namun, dia lupa bahwa akses menuju ke pulau itu hanya dapat di lewati oleh akses prahu pribadi. Mereka kini berada di pintu masuk. Di jaga oleh para petugas.“Mohon maaf. Kalian mau ke mana?” tanya petugas.“Kami mau ke pulau.” Galih menjawab dengan suara setengah bergetar karena menahan marah.“Kalian tidak bisa.” Akan tetapi mereka tidak peduli. Galih menembak dua petugas itu, hingga mereka terkapar. Seluruh orang masuk ke dermaga. Akan tetapi, mereka harus menelan pil pahit, ketika tidak ada satu pun kendaraan bertengger di s
“Tidak usah. Biarkan saja. Sudah ada yang mengurus. Nanti tinggal dilaundri saja.” Tias lupa, jika suaminya ini sultan. Dia tidak perlu mencuci sendiri. Tias mengangguk. Ilham mengajak istrinya untuk bersiap pulang saja. Untuk sarapan, mungkin di luar pulau lebih banyak varian piliahan. Lagi pula, masih terlalu dini untuk sarapan. Mereka akhirnya menyeberang, untuk pulang ke rumah. Perjalanan sedikit lama, karena nanti akan langsung ke kantor yang ada di Bogor. Sekitar dua jam lebih mungkin hampir tiga jam.Mereka sudah menyebrang menggunakan perahu kecil, karena memang hanya perlu untuk dua orang. Biasanya malah dia menggunakan speed boat untuk menyebrang. Semburat kuning terlihat sangat cantik menerpa air yang bergejolak karena terbelah oleh dasar perahu.Tias tersenyum melihat indahnya pemandangan itu. Ilham memeluk dari samping, untuk merespon senyum istrinya itu.“Terima kasih, Pak.” Tias men
Cukup siang mereka sampai di kantor. Pukul sembilan lebih sepuluh. Ilham langsung menuju ke ruangannya , melewati lift. Mereka berpisah di lobi, dengan Ilham mengedrop Tias di lobi dan mencium keningnya sebelum dia memarkirkan mobil di basement.“Hati-hati. Aku parkir mobil dulu.” Satpam yang melihat senyam-senyum. Untuk pertama kalinya, dia melihat Ilham bucin seperti itu. Ah, tapi Tias ‘kan sudah punya suami. Seluruh kantor tahunya bahwa suami Tias adalah Galih bukan Ilham.“Pagi, Mbak.” Satpam menyapa Ilham dengan sangat santai.“Pagi pak Yanto.” Tias langsung meringsek memasuki kubikelnya. Namun, di depan dia bertemu dengan Ajeng yang memang sudah mengawasinya.“Heh, tukang selingkuh! Masih berani kamu masuk kantor ini. Kok ya masih di biarkan orang sebejad kamu menjadi pegawai negeri, ya?” Tias hanya tersenyum menanggapi celoteh Ajeng. Dia su
Ilham duduk di dermaga setelahnya. Dia begitu memikirkan hubungan antara memiliki Tias dengan memuluskan segala bentuk usaha Galih untuk posisinya di tubuh Mafia itu. Ilham memang bukan dari kepolisian atau yang berwenang. Namun ketika berhubungan dengan sang istri, mau tidak mau dia harus turun tangan. “Hai, kok malah melamun?” Tias menyusulnya, padahal tadi jelas—jelas sudah tertidur.“Hai, maaf, ya? Banyak yang aku pikirkan sehingga tidak maksimal bulan madu kita.” Ilham berbalik badan agar dapat berhadapan dengan sang istri.“Tidak masalah. Maukah kamu jujur, apakah itu ada hubungannya denganku?” Mereka saling berhadapan.“Hus, jangan pikirkan itu. Aku tidak mau kamu banyak berpikir.” Ilham menghabisi bibir mungil milik sang istri. Semakin lama semakin dalam, dengan meraih tengkuknya. Mereka sudah larut dalam buaian malam di ditepian laut dengan debur ombak
“Ah ... ternyata benar lebih asik. Semoga tidak ada yang mengintip.” Ilham mencabut miliknya. Mereka bermandikan keringat malam ini. Ilham memakai celana kolornya kembali dan meletakkan tubuh sang istri di dadanya. Mereka saling mengatuir napasnya sebelum pembicaraan berlanjut.“Kau masih tidak mau berbagi? Apa aku hanya pajangan saja? Lupakan kalau begitu! Kita pulang besok!” Ilham menepuk jidadnya. Dia meraup wajahnya kasar, menyaksikan punggung sang istri pergi meninggalkannya. Dia mengangkat tangannya kemudian mengejar sang istri. Dia dapat meraihnya sebelum sampai ke pintu resort.“Hai, kenapa jadi marah? Tapi sepertinya makin cantik kalau marah,” goda Ilham. Dia memeluk sang istri dari dalam.“Nggak usah mengalihkan pembicaraan!” Ilham membimbingnya untuk sampai pada kursi dan menariknya agar duduk di pangkuannya. Mereka saling menatap. Ilham tidak melewatkan kesempat
“Sepertinya, sudah waktunya.”“Oh, Galih maaf, aku harus membawanya.” Ilham menggendong sang istri untuk keluar dari pesta itu dia sangat panik. Sedangkan orang-orang juga memandang ke arah kepergian mereka. Ada bisik-bisik doa dari mereka, semoga baik-baik saja.***Meyyis_GN***Ilham langsung memasukkan tubuh sang istri ke dalam mobilnya. Keringatnya bercucuran, karena merasa tegang. “Huff … aduhhh ….”“Tahan, Sayang. Kamu kesakitan begitu. Ya Allah, semoga ….”“Mas, konsen nyetir … hufff ….” Tias menarik napas dan mengembuskan dengan berlahan lewat muluah.“Ahh … sabar, Sayang. Papa sedang berusaha, kita ke rumah sakit, ya?” Tias mengelus perutnya dan menahan rasa sakit yang teramat hebat. Dia menggigit bibir bawahnya. Ahirnya, lelaki itu
“Kamu tidak perlu mengajariku, kamu tahu … Mas Galih tidak akan pernah menyukai gaya itu lagi. Aku akan selalu membuatnya puas, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain selain diriku. Apalagi, memikirkan masa lalu yang menjijikkan.” Mira sepertinya bukan lawan yang sangat tanggung bagi Milea. Dia tersenyum dan mulai berbalik turun. Kepala Milea sudah panas dan berasap. Ingin dia meledak sekarang, tapi tunggu nanti, hingga seluruh orang fokus pada makanannya, itu akan lebih mudah.Milea turun. Dia mengambil gelas dan sendok dan menabuhnya. Mereka semua melihat ke arah Milea. “Mohon perhatiannya, permisi!” Galih sudah tidak tahan lagi, tapi Mira mencegahnya.“Jangan, Mas. Biarkan dia berbuat semaunya. Nanti dia sendiri yang akan malu.” Galih mengangguk.“Kalian tahu, kedua mempelai? Mereka adalah pembatu dan suamiku, ups aku lupa … tepatnya mantan.
“Sudahlah, aku siap mendengarmu kapan saja. Tapi tidak sekarang, pengantin priamu sudah menunggu.” Mira bangkit dibantu oleh Tias. Mereka keluar menuju pelaminan. Karpet merah yang membentang menambah suasana dramatis, bagai ratu sejagad. Tias membantu memegang gaunnya, dengan anggun Mira melewati sejegkal demi sejengkal karpet merah itu. Kelopak mawar ditabur dari kanan dan kiri. Di ujung sebelum mencapai puncak Galih sudah siap menyambut pengantinnya dengan stelan jas tuxedo.***Meyyis_GN***Jangan lupa musik pengiring yang membuat suasana semakin sakral. Seluruh pasang mata berpusat ke arah kedatangan pengantin. Bisik-bisik terdengar, sehingga membuat suasana hati Milea semakin panas.“Kalian nora, pengantin ya cantik, tapi tidak alami.” Yang ada di sebelah Milea tersenyum sinis.“Kau iri? Makanya jangan berulah.” Milea yang sedang marah rasanya ingin meledak da
“Tidak ada, hanya sedikit merasa menekan perut.” Ilham menggangguk.“Mau makan apa? Biar aku ambilkan, sebelum pengantin wanita keluar dan kita akan sibuk memandangnya.” Tias mencubit pinggang suaminya.***Meyyis_GN***“Sepertinya aku mau sate saja. Tapi tolong lepaskan dari tusuknya, ya? Kata mama tidak boleh orang hamil makan langsung dari tusuknya.” Ilham tersenyum. Dia meninggalkan sang istri duduk sendiri dan mengambilkan makanannya yang sudah dipesan istrinya. Lelaki itu dengan elegan menuju ke tempat prasmanan.“Oh, mantan istrinya Mas Galih diundang semua ternyata?” Milea mendekati Tias. Tias tersenyum.“Sebagai mantan istri, tentu masih berkewajiban menjaga tali silaturahmi ‘kan? Bagaimana pun, pernah tidur satu ranjang, jadi tidak ada salahnya kalau berbaik hati mengucapkan selamat pada wanita yang menggantikan menemaninya t
“Satu minggu terasa sangat lama. Sabar ya, Sayang. Kamu akan puas setelah ijab-kabul.” Galih menunjuk miliknya dan tersenyum setelah tatanan rambut selesai. Siang ini, dia akan bermanja-manja dengan Mira. Dia memiliki energi baru untuk memulai sebuah kehidupan. Senyumnya merekah membuai siang yang terasa terik, namun baginya berbalut dengan kesejukan. Dia sduah merindukan sentuhan wanita, menyata kulitnya yang begitu sensitif dengan rangsangan.Galih mempersiapkan pernikahan ini dengan sangat baik. Dia menyewa jasa wedding organizer terbaik untuk mempersiapkan pernikahan ini. Di gedung hotel ternama, sudah disusun acara dengan sangat baik. Galih mengenakan stelan jan warna hitam, karena memang konsepnya internasional. Dia mengenakan tuxedo itu dan memandang penampilannya sendiri di depan cermin. “Ini untuk yang ke tiga kalinya aku mengucapkan ijab kabul. Semoga ini yang terakhir.” Galih berdoa salam hati. Dia membetulkan dasi kupu-k
“Aku ingin lihat! Pertontonkan saja!” Galih mengatakannya tanpa menoleh, dia melenggang pergi. Milea terasa meledak. Dia mengumpat sejadi-jadinya dan membuang benda apa saja ke arah kepergian Galih. Galih merasa lega setelah ancaman kepada Milea tersebut terlaksana. Dia menjadi geli sendiri, pernah tergila-gila pada wanita sejenis itu. Galih menyetir mobilnya dengan cepat menuju ke rumah, harus memastikan kekasihnya baik-baik saja.Galih langsung berlari menuju ke dalam rumah. Dia melihat kekasihnya sedang menggendong putranya, membuat dirinya lega. “Ada apa? Ada yang tertinggal?” Galih menggeleng. Dia memeluk sang istri dari belakang.“Aku mengkhawatirkanmu.” Mira mengerutkan keningya.“Mengkhawatirkanku? Kenapa?” Karena Gibran sudah tenang, maka dia menurunkan anak itu ke lantai yang dilapisi karpet tebal.“Milea tadi datang ‘kan?” M
Mira luruh ke kursi. Dia menyadari, bahwa serangan dari Milea itu normal. Namun dia berpikir lagi, apakah yang dikatakan oleh Milea itu benar? Bahwa dirinya merebut Galih dari tangan Milea? Mira mengingat kembali, kapan mulai saling jatuh cinta dan menyesap indahnya ciuman nikmat.Milea pergi dari rumah Galih dengan tersenyum smirk. Dia yakin pasti Mira merasa tertekan. Dia mengenal Mira selama beberapa tahun, wanita itu berhati baik. Dia pasti akan merasa bersalah dengan tekanan yang diberikan oleh Mira.Sementara itu, Galih menyaksikan aksi manatan istrinya lewat CCTV yang memang sengaja dia pasang. Galih pernah menjadi manusia paling brengsek di muka bumi ini, jadi dia sangat hafal dengan trik brengsek yang dimainkan oleh Milea. Dia menarik napas untuk menenangkan syarafnya. Galih menyuruh ajudannya untuk menyiapkan mobil pribadinya. Dia akan mencari MIlea untuk memberinya pelajaran yang akan wanita itu sesali seumur hidupnya.
“Aku mencintaimu, apa pun yang kau inginkan akan aku lakukan. Apalagi hanya menemani tidur,” bisik Ilham. Lelaki itu tidak berapa lama kemudian terlelap ke alam mimpi menyusul sang istri. Terkadang memang bumil akan sedikit manja.***Meyyis_GN***Milea tidak terima dengan penolakan dari Galih. Dia mencari tahu penyebabnya, bahkan menyelidiki. Dia menemukan Mira sebagai pengasuh dari putranya yang dicintai Galih. Dia menunggu Galih pergi kerja. Pagi itu, terlihat Galih sedang berpamitan dengan Mira. Lelaki itu mencium kening Mira. Semakin terbakar hati Milea.“Kamu lihat nanti! Kalian terlalu enak menikmati masa pacaran, hingga lupa dengan aku yang sakit hati.” Milea menggenggam tanggannya dengan erat, hingga kukunya menancap ke telapak tangannya.“Sayang, jangan lupa kunci rumah. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kecuali aku meneleponmu dan memperbolehkan dia masuk.
“Kan bisa mengingatkan baik-baik, kenapa harus teriak, sih?” protes Tias.“Aku nggak teriak, Sayang. Maaf, ih jangan nangis, dong!” Tias sudah hampir nangis karena ucapan Ilham yang agak bernada tinggi. Dasar bumil!Ilham meraih tubuh sang istri yang hampir bergoyang karena menangis. “Ah, seperti inikah orang hamil? Kenapa selalu saja sensitif,” batin Ilham.“Aku akan menggendongmu,” ucap Ilham. Lelaki itu memang sangat memanjakan sang istri. Walau Tias begitu sedikit ceroboh dan jorok, namun lelaki itu tidak masalah untuk membereskn kekacauan yang dibuat oleh istrinya. Terkadang, memang kekurangan pasangan kita yang menjadi dasar pemicu pertengkaran. Tapi tidak dengan Ilham. Dia menjadikan kekurang sang istri sebagai semangat. Terkadang, sepulang kerja dia harus rela membereskan beberapa kekacauan istrinya.Sebenarnya, kadang Tias sudah h