“Mas, sudah ramai, ya? Saya lama tidak ke Surabaya.” Tias mengedarkan pandangan sambil berjalan sedikit menjingkat. Mereka sudah di jemput oleh sopir ayahnya Ilham.
“Selamat siang, Mas Ilham.” Sopir itu membungkuk. Dia sudah berkerja bersama ayahnya Ilham beberapa puluh tahun yang lalu, saat Ilham masih remaja.
“Siang, Pak Kirman. Sehat?” Mereka ahirnya melaju menuju rumah ayahnya Ilham. Meskipun sudah uzur, tapi dia masih sangat gagah dan mempesona. Usianya hampir tujuh puluh tahun, namun masih saja aura kegantengannya sangat memukau.
Mereka sudah sampai di rumah Ilham. Ayah dan anak itu berpelukan gaya khas anak laki-laki dengan ayahnya. Tias hanya melihat saja. Dia berada di belakang Ilham sambil menangkupkan kedua tangannya. Tidak tahu harus berbuat apa.
“Siapa yang di belakangmu?” tanya ayah Ilham. Mahardika Dwi Saloka sampai saat ini masih menjadi
“Aku merindukan ibumu. Sudah sekian lama dia pergi. Tapi, perhatiannya tidak pernah hilang dari diri ayah. Seandainya dia masih di sini, dia yang pertama kali akan mengomelimu, karena menganggap mudah segala pernikahan dan pernak-perniknya.” Mahardika mengelus foto sang istri yang terpampang jelas. Senyum khas priyayi Jawa tergambar jelas di wajah ayunya.“Saya bukan menggampangkan, Yah. Ada banyak hal yang terjadi. Ini termasuk darurat. Sebenarnya, ada yang harus saya tanyakan. Tapi, biarlah nanti. Untuk saat ini, kita bahagia dulu.” Mereka berangkulan. Betapa akrabnya ayah dan anak itu, walau jarang saling bersua.Esok harinya terlihat sibuk. Dua mobil terparkir sempurna sudah berisi bebrapa parsel untuk lamaran. Bahkan sekalian uang mahar dan lain sebagainya. Yang paling mengejutkan adalah jumlah uang mahar yang di persiapkan sangat unik. Yaitu uang pecahan paling kecil jaman dahulu, d
“Turun!” Mereka mengetuk kaca mobil yang buram dari luar.“Ham, biar ayah yang turun,” tukas Mahardika.“Tidak! Ayah dan Tias di sini saja. Saya sanggup mengahdapi mereka.” Ilham turun, kemudian berdiri di samping pintu yang baru saja di tutup. Dia menyenderkan punggungnya pada mobil.“Kalian perlu apa? Kenapa memakai cara seperti ini. Uang?” Ilham dengan santai mengatakannya, sambil bersedakap di depan mereka.“Kurang ajar! Kamu menghina kami?” geram salah seorang.“Tidak! Aku tidak menghinamu. Kalau kamu merasa terhina, berarti memang benar kamu butuh.” Lelaki itu maju dan menyerang Ilham. Ilham hanya menghindar saja, sehingga lelaki itu nyusruk hanya menemukan ruang hampa.“Aku ajarin bung. Menyerang itu begini.” Ilham mmeutar tubuhnya, kemudian mengangkat kakinya de
“ Aku juga maunya begitu, Mas. Tapi ....” Tias terdiam, ketika telunjuk Ilham menempel pada bibirnya. Dia menundukan kepala, sehingga Ilham menegakkannya dengan memegang dagunya.“Telepon bapak dan ibu agar lebih tenang hatimu, bahwa kita sudah sampai di sini. Sekitar setengah jam sampai.” Ilham memberikan telepon miliknya, untuk Tias gunakan sebagai alat menghubungi keluarganya.“Ah, sepertinya ponsel yang dibelikan kemarin masih utuh. Aku pakai punyaku sendiri saja,” tolak Tias.“Ini agar bapak dan ibu juga tenang. Bahwa kamu bersamaku,” bujuk Ilham.Tias tersenyum kemudian. Tias sudah tahu sandinya adalah hari lahir dirinya. Ilham pernah mengatakan hal itu. Tias mengabari orang rumah, bahwa dirinya sudah hampir sampai bersama keluarga Ilham. Setelah menghubungi ibunya, ajaib. Tias sedikit tenang. Dia tidak gelisah lagi. Mereka sudah sampai di d
“Sudah siap semua. Mempelai perempuan di belakang juga sudah, ya?” tanya penghulu.“Sudah.” Jawab hampir sebagain para tamu yang mengetahui.“Baiklah. Wali, silakan di sebelah sini. Mempelai laki-laki, dua orang saksi silakan di sini.” Penghulu mengatur posisi. Maka, mmepelai laki-laki berada di depan wali dengan meja sebagai penghalang, sedangkan saksi berada mengapit mempelai laki-laki. Mereka memulai dengan bersalaman antara wali dan juga mempelai laki-laki.“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ilham Sanjaya Sasmita bin Mahardika Dwi Saloka dengan anak kandung saya bernama Tias Divia Lestari binti Yoga Wijaya dengan maskawin uang tunai sebesar tujuh ratus lima puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah di bayar tunai.” Ucapan ijab oleh ayah Tias.“Saya terima nikah dan kawinnya Tias Divia Lestari binti Yoga Wijaya dengan mas k
“Cepatlah! Ibu harus keluar dari sini. Jangan pedulikan saya.” Akan tetapi ibu itu terus membalut lukanya. Setelah selesai, baru dia pergi meninggalkan Mario. Kini, Mario yang terluka harus menghadapi tembakan demi tembakan. Dia berlindung di depan lemari agar peluru tidak menembus tubuhnya. Makin lama, desingan peluru membanjiri ruang itu, hingga Mario hanya mampu bersembunyi. Mario keluar dari tempat persembunyiannya, ketika desingan sudah sedikit mereda.“Bajingan memang. Mati kau!” Mario memberondong ke arah lawan. Namun, karena kalah jumlah, pihak kepolisian menjadi terdesak. Mario terluka parah.“Kemana mereka, hah!” Galih memegang kepala Mario yang hampir pingsan karena kehabisan darah. Dia sangat pusing, terkena beberapa tembakan di kaki dan tangan. Mario tidak bisa lagi merespon pertanyaan Galih. Gelap semua menjadi gelap dia kehilangan kesadaran.“Kita kejar merek
“Kita akan membelinya.” Mereka mengendarai motornya kembali. Untung saja, tidak ada operasi pemeriksaan polantas di jalan. Jadi mereka aman-aman saja. Mereka memasuki toko aksesories, sekaligus butik. Tias berdandan ala pria dengan menggunakan rambut palsu. Sedangkan Ilham berdandan ala pria India dengan janggut dan juga turban yang melingkari kepala.“Hahaha ... aduh. Lihatlah, lucu banget. Hahaha.” Tias tertawa terpingkal-pingkal melihat Ilham yang berdandan ala-ala orang India itu.“Aca-aca, nehi-nehi ....” Ilham bertingkah seolah-olah dia memang betul-betul orang India. Dia menangkupkan tangannya, sambil menggoyang-goyangkannya, sehingga Tias makin terpingkal melihatnya.Setelah membayar, mereka kemudian menitipkan motor mereka di titipan motor dan sepeda. Setelah itu, mereka menggunakan taksi untuk kembali ke bandara, agar anak buah Galih tidak curiga.Mereka
“Jangan kebanyakan ngeluh. Lakukan saja!” kata lelaki kecil berambut gondrong.“Masalahnya, aku bingung, Man. Bagaimana caranya memintanya. Lah, kita tidak di bawain uang untuk menyogok. Jaman sekarang, apa yang tidak pakai uang?” tanya lelaki bertubuh gempal.“Kamu memang goblok kok, Ndut. Pakai otak jangan pakai dengkul.”“Lah, kamu ikut-ikutan ngatain aku jadinya, Jef?”“Udah, ayo kerjakan! Malah berantem sendiri,” cegah pria cungkring. Mereka ahirnya pergi menuju ke bagian informasi yang ada di bandara itu. Dimulai dari maskapai penerbangan yang paling terkenal dan paling bagus. Mereka memilih di mulai dari yang paling bagus, karena menyadari Ilham adalah orang yang kaya. Sehinga tentu memilih pesawat yang bagus.Akhirnya, mereka memperoleh informasi. Tias dan Ilham sudah berangkat menaiki pesawat beberapa jam yang l
Ilham membangunkan Tias, ketika taxi yang mereka tumpangi sudah sampai di hotel yang ingin mereka singgahi. Jika ini mobilnya sendiri, mungkin Ilham akan langsung menggendongnya. Tapi, ini taxi. Tentu ada sedikit rikuh dan sungkan untuk melakukannya, kendati dirinya sudah menjadi suaminya.“Oh, sudah sampai?” Tias tergagap karena menyadari jika ini bukan di rumah mereka.“Kita menginap di sini saja malam ini. Seenggaknya, Galih akan perlu waktu untuk menemukan kita. Kau mau ‘kan, Sayang?” Tias mengangguk saja. Setelah membayar sejumlah nominal yang tertera di argo, Ilham menggandeng istrinya untuk masuk ke hotel tersebut.“Mbak, saya pesan satu kamar untuk kami. Ah, sebentar akan saya rilis dulu dari KUA surat nikah kami.” Ilham menghubungi ketua KUA Ungaran, untuk mengirimkan berkas bahwa mereka telah tercatat sebagai suami istri. Bahkan di komputer mereka berkas itu sudah