“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”
Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.
“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan
“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.
“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”
Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang, meskipun aku tidak pernah tau kenapa dia tak menjawab, saat aku menanyai namanya waktu itu. Mitsuki juga sepertinya tidak mencoba untuk menyembunyikan namanya sendiri.
Namanya Mitsuki ya… nama yang indah. Ingin sekali aku memuji namanya, tapi sepertinya itu hal yang memalukan, jadi aku mengurungkan niatku. Setelah mengetahui namanya aku malah menjadi sedikit penasaran tentang dimana rumahnya, mungkin karena setiap kali dia pulang aku suka melihatnya pergi ke arah yang berdekatan dengan rumahku.
“Sudah sore, kita pulang saja yuk,” ucap Mitsuki sambil mulai menaiki sepedanya.
Baiklah, akan aku coba tanyakan saja di mana rumahnya.
“Mitsuki, aku antar ya?” Tunggu dulu, ini bukan menanyakan di mana rumahnya… ini berbeda.
Beberapa saat sebelum mengayuh sepedanya, Mitsuki berhenti, lalu berbalik menatapku, dia terlihat terkejut saat aku tiba-tiba menanyakan hal tadi.
“E-eh… b-baiklah. Boleh…”
Kami berdua pergi dengan sepeda masing-masing, sejak kejadian waktu itu Mitsuki menjadi takut untuk berboncengan denganku, dan menyuruhku untuk membawa sepeda sendiri saja, untungnya ayahku tidak pernah memakai sepedanya lagi, jadi aku gunakan saja. Arah menuju rumahnya ternyata memang berdekatan dengan arah rumahku, kenapa aku tidak sadar ya. Mitsuki mengayuh sepedanya dengan santai, dan perlahan. Aku hanya bisa mengikutinya saja dari belakang, sambil sesekali memperhatikan punggungnya yang kecil itu.
Tanpa kusadari ternyata rumahku baru saja terlewati, sepertinya rumahnya lebih jauh dari dugaanku.
“Kita sampai,” Mitsuki turun dari sepedanya, dan menatapku seolah penasaran dengan reaksiku.
Saat aku lihat… woaaa rumahnya besar sekali. Aku bahkan baru tahu jika di dekat sini ada rumah yang sebesar ini, dan ternyata rumahku hanya berjarak beberapa rumah saja dari sini. Apa rumahnya ini 2 lantai? Tidak-tidak sepertinya ini 3 lantai. Lebih jelasnya aku tidak tahu seperti apa, tapi hanya melihatnya dari luar saja sudah membuatku terkejut. Gerbang rumahnya yang berwarna hitam juga cukup besar, dan tinggi.
“Besarnya…” Aku terkagum.
“K-kalau begitu sampai jumpa besok… terima kasih Alan.”
Mitsuki mengatakan itu dengan senyum yang biasanya dia tunjukkan. Ya tuhan dia benar-benar manis sekali, aku langsung berpikir jika senyumannya itu harus aku lindungi. Layaknya senyuman ibuku sendiri.
“Ya, sampai jumpa besok Mitsuki.”
Aku langsung pulang setelah Mitsuki memasuki rumahnya. Dari kejauhan aku melihat seorang wanita yang membawa dua buah kresek besar berisi bahan makanan. Wanita berambut pendek itu tersenyum padaku, dan sepertinya dia mulai mendekat ke arahku.
“Apa kamu temannya Mitsuki?” tanya wanita itu.
Dia terlihat senang ketika aku mengiyakan pertanyaannya itu.
“Begitu ya, syukurlah. Apa kamu mau mampir dulu…?”
“Ah, tidak terima kasih… ini sudah sore kak… kalau begitu aku permisi.”
“Hehe betul juga ya. Mohon tetap berteman dengan Mitsuki ya.”
“Tentu saja… Mitsuki gadis yang baik, siapapun pasti ingin berteman dengannya.”
Wanita itu tersenyum padaku, lalu kembali berjalan masuk menuju rumah yang sama dengan Mitsuki. Setelah itu aku pun pulang dengan sedikit terburu-buru, karena hari sudah mulai semakin gelap.
Esoknya aku kembali bermain bersama Mitsuki, karena liburan musim panas sudah lama berlalu jadinya aku harus menyelesaikan terlebih dulu jam sekolahku sampai siang hari, dan setelah itu baru aku bisa menemuinya.
Hari ini seperti biasanya Mitsuki selalu datang lebih awal, dia selalu menungguku dengan duduk manis sambil menatap ke arah langit. Untungnya hari ini terlihat cukup cerah, dan berawan.
“Oiii… Mitsuki?”
“A-Alan? Duh bikin kaget saja…,” Mitsuki terkejut, dan terbangun dari lamunannya.
“Oh iya Mitsuki, kemarin aku disapa oleh seseorang, dan dia terlihat memasuki rumahmu setelah itu. Apa dia kakakmu?”
Ekspresi Mitsuki yang tadinya santai mendengarkan menjadi panik, dan mulai menatapku dari dekat. Sangat dekat, sampai-sampai aku bisa mencium bau sampo nya… wangi sekali.
“A-apa ibuku mengatakan sesuatu yang aneh? Kalian tidak benar-benar mengobrol kan? Kan?” pipinya menjadi merah, dan mulai sedikit mundur dariku, “m-maaf…”
Aku hanya bisa menunggunya selesai bicara saat dihujani pertanyaan olehnya. Tunggu dulu, yang kemarin ibunya Mitsuki? Dia terlihat masih muda sekali, aku kira kakaknya…
“Tidak, ibumu hanya menyapaku saja. Ngomong-ngomong hari ini kita mau kemana?”Aku menyembunyikan pesan dari ibu Mitsuki kemarin, karena itu terdengar memalukan jika kuceritakan pada Mitsuki.
Setiap hari aku selalu pergi bermain dengan Mitsuki. Meskipun sering melakukan hal yang sama setiap harinya, entah kenapa aku tidak pernah merasa bosan saat bersamanya. Kami berdua berulang kali bersepeda bersama, makan ramen bersama, atau bahkan ke perpustakaan untuk belajar bersama. Mitsuki benar-benar pintar, dia terkadang mengajariku jika ada tugas sekolah yang sulit.
2 tahun telah berlalu, sekarang umurku 13 tahun, dan kurang dari 1 minggu lagi Mitsuki akan berulang tahun, yaitu pada 5 Maret nanti. Sebenarnya aku sedikit bingung akan memberi Mitsuki apa, saat tahun lalu bahkan saking bingungnya aku jadi tidak memberikan apa-apa padanya. Aku menyesali itu setiap kali sebelum aku tidur…
Disaat merenungkan hal itu di kamar aku mendengar suara ayah di lantai bawah yang sedang berdebat dengan seseorang dari balik telepon, aku tidak terlalu mendengarnya dengan jelas, tapi sepertinya itu dari rekan kerjanya. Ayah cukup jarang berada di rumah, dan hanya sesekali saja aku melihatnya bersantai.
Beberapa saat setelah ayah menutup telponnya, aku pun terlelap tidur. Begitu terbangun di pagi hari aku langsung meninggalkan kamar, lalu pergi menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Pagi ini tumben sekali ayah pergi terburu-buru dengan pakaian rapih, apa dia pergi bekerja…? Tapi ini kan hari libur.
Selesai sarapan aku pergi berjalan kaki menuju taman, tempat dimana aku, dan Mitsuki biasanya bertemu.
Disana aku biasanya melihat Mitsuki terduduk di bangku taman, tapi hari ini aku tidak melihatnya. Apa aku coba pergi ke rumahnya saja ya…? Tidak-tidak, lebih baik aku tunggu sebentar… Ya sebentar lagi, dan sebentar lagi. Aku sudah cukup lama menunggu, tapi Mitsuki masih belum datang juga. Baiklah aku coba ke rumahnya saja.
Sesampainya di rumah Mitsuki aku malah ragu-ragu untuk menekan bel rumahnya. Ditengah keraguanku tiba-tiba saja gerbang rumahnya sedikit terbuka, lalu seorang gadis keluar dari rumah Mitsuki sepertinya dia seumuran denganku, gadis itu berambut pendek, dan berkacamata. Dia langsung pergi setelah mengucap permisi padaku, aku hanya mengangguk canggung padanya.
Setelah gadis itu pergi aku langsung menekan bel rumah Mitsuki, disana aku juga bisa melihat papan nama keluarganya Mitsuki yang bertuliskan Akio.
“Eh Alan, ada apa kemari?”
Beberapa saat setelah menekan bel tersebut aku bisa mendengar suara ibu Mitsuki menyapa dari balik speaker bel.
“Apa Mitsuki nya ada? Hari ini saya tidak melihatnya di taman, karena sedikit khawatir jadi saya kemari…”
“Maaf ya… Mitsuki nya sedang sakit, dari semalam suhu tubuhnya masih belum turun.”
“Begitu ya… kalau begitu saya permisi saja, semoga Mitsuki nya cepat sembuh.”
Beberapa saat sebelum pergi ibu Mitsuki menawariku untuk mampir, tapi aku menolak tawarannya karena takut Mitsuki terganggu saat sedang beristirahat.
“Alan!”
Seseorang memanggilku dari kejauhan, dan saat aku berbalik kebelakang disana ada sekumpulan anak laki-laki yang beberapa diantaranya teman sekolahku sendiri, satu orang diantara mereka membawa sebuah bola sepak.
“Ah, ternyata benar Alan, mau ikut tidak? Bermain bola,” tanya seorang temanku yang bernama Reiji.
“Kebetulan sekali, ayo!” timpalku dengan semangat.
Mendengar jawabanku Reiji ikut bersemangat, begitu juga dengan anak laki-laki yang lainnya. Kami semua berlarian menuju lapangan kosong di dekat sana. Aku bermain bersama mereka hingga siang hari, saat cuaca mulai panas kami semua mulai bosan, dan kelelahan. Tenggorokanku terasa kering, aku mencoba untuk diam-diam pergi, dan membeli minuman. Tapi, Reiji malah berteriak padaku. Kamu mau kemana?! Aku ikut dong. Karena teriakannya itu anak-anak yang lainnya malah memintaku untuk dititipkan beberapa minuman, hah merepotkan saja.
“Tadi pagi kamu ngapain disana Alan?” Reiji melirik wajahku yang kebingungan, “itu di rumah besar tadi.”
“Bukan apa-apa,” timpalku.
“Hmm bikin penasaran saja, beritahu aku dong Alan!” Reiji tersadar jika aku baru saja berjalan pergi meninggalkannya, “Oi, tunggu aku!” Reiji pun berlari menyusulku.
Setelah kembali ke lapangan aku membagikan minuman mereka satu persatu, tak lama setelah beristirahat satu per satu dari mereka semua berpamitan untuk pulang, hingga aku pun ikut memutuskan untuk pergi pulang.
Dalam perjalanan pulang aku mendengar suara seseorang memanggilku. Saat aku mencari-cari sumber suaranya, ternyata seorang kakek memanggilku, dia melambai-lambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Aku akan merasa bersalah jika mengabaikannya, jadi aku pun menghampiri toko kakek itu. Toko yang terlihat usang, dan sepi…
Kakek itu menawariku sebuah kalung tengkorak yang terlihat menyeramkan, dan dengan bohong dia mengatakan jika itu cocok untukku. Aku langsung menolaknya dengan sopan, dan memutuskan untuk pergi. Tapi, aku malah tertarik dengan salah satu kalung yang digantung di sudut ruangan, kalung dengan liontin huruf M itu terlihat berkilau. Selain huruf M dari gantungan itu juga banyak kalung berinisial huruf alfabet lainnya dari A sampai Z.
“Paman ini berapa?” tanyaku sambil menunjuk kea rah kalung-kalung itu.
“Hanya 500 yen saja…,” jawab pria tua itu.
Tanpa berpikir panjang aku langsung membelinya. Meskipun uang tadi adalah uang jajan terakhirku di Minggu ini, aku pikir ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang bagus untuk Mitsuki. Aku berlari pulang setelah itu, sambil menggenggam kalung yang baru saja kubeli tadi.
“Aku pulang,” saat membuka pintu aku melihat ayah dan ibu sedang mengemasi barang-barang kedalam kardus.
Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.
“Oh Alan, kamu sudah pulang? ayo cepat bantu ayah mengemasi ini. Jum’at nanti kita akan pindah ke Indonesia. Di Indonesia banyak hal menarik loh…”
Tunggu… apa? Apa ini serius?
Saat menyadari sesuatu aku langsung berlari mencari kalender untuk memastikan sesuatu, dan hari jum’at nanti itu ternyata jatuh pada tanggal 5 Maret, hari itu adalah hari ulang tahun Mitsuki…
Ya Tuhan aku harus bagaimana… bagaimana aku memberitahu Mitsuki soal ini, aku terlalu takut untuk memberitahunya soal ini… benar-benar terlalu takut…
Aku tidak ingin melihatnya bersedih, aku tidak ingin melihatnya menangis, aku benar-benar tidak ingin meninggalkannya… Aku masih belum siap untuk ini.
Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku
Malam ini aku dan keluargaku sudah sampai di kota Bandung, kota kelahiran ibuku. Saat di bandara kami dijemput oleh tante Nanda teman lama ibu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak pedagang yang berbaris di pinggir jalan, dan ibuku juga terlihat senang melihat pemandangan kota Bandung yang sepertinya sudah lama dia rindukan.“Alan baru pertama kali kesini ya? Eh, Alan bisa bahasa Indonesia gak ya?” Tanya tante Nanda.“I-iya tante saya baru pertama kali kesini, dan t-tenang aja saya bisa bahasa Indonesia kok…”“Hahaha, Alan ngomongnya masih kaku ya… tapi gak apa-apa, mungkin nanti juga akan terbiasa.”Saat kecil ibu mengajariku bahasa Indonesia, dan karena aku jarang menggunakannya saat di Jepang itu membuat pengucapanku dalam bahasa Indonesia masih kaku.Aku yang tadin
Karena terlalu sering menelpon keluar negeri, tagihan telepon rumahku jadi membengkak. Rasanya aku juga sedikit merasa bersalah soal itu. Aku mulai mengurangi waktuku untuk berbicara dengan Mitsuki. Tapi, aku bersyukur itu tidak bertahan lama. Ayahku memberiku solusi lain agar aku bisa terus berkomunikasi dengannya, yaitu dengan membelikanku sebuah ponsel.Tentunya aku langsung mengabari Mitsuki soal ini. Beberapa waktu yang lalu Mitsuki pernah bercerita jika dia dibelikan sebuah ponsel oleh ibunya, jadi aku pikir ini akan menjadi berita bagus. Aku dan Mitsuki mulai saling berbagi nomor telepon dan alamat email masing-masing. Hampir semalaman aku memainkan ponsel, padahal yang aku lakukan hanya membuka tutup isi pesan yang pernah Mitsuki kirimkan.Esok harinya, saat di kelas aku dimintai nomor telepon oleh Anton, dan juga teman-temanku yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan yang lainnya, satu persatu dari mereka mulai mengirimi
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq