“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan.
Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki.
Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain.
Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semangat!” Aku terkadang sesekali melihat pesan itu hanya untuk menghibur diri. Pesanku tidak pernah dia balas atau pun terbaca. Sambungan teleponku tak pernah terangkat, dan begitu juga dengan telepon rumahnya. Selalu saja gagal tersambung.
Sebuah hubungan yang terjalin selama enam tahun itu… benar-benar melelahkan. Rasanya tak cukup jika hanya melihatnya dari balik layar.
Waktu terkadang terasa berjalan lambat, dan juga terkadang berjalan begitu cepat. Sudah delapan Tahun berlalu sejak aku pindah rumah, dan meninggalkan Mitsuki di Jepang. Dalam waktu itu… tidak pernah ada sebuah kesempatan bagiku untuk menemuinya. Kami berdua selalu berangan-angan tentang hal apa yang akan kami lakukan nanti saat bertemu kembali. Yang aku inginkan hanya duduk di sampingnya, dan membicarakan banyak hal bersamanya. Hanya sebuah keinginan sederhana, tapi benar-benar sulit untuk terlaksana.
Aku memang mempercayai Mitsuki, tapi… entah kenapa aku merasa sedikit tidak tenang, dan merasa cemas.
Ketika sedang terduduk untuk beristirahat sejenak, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku dari belakang, dan membuatku sedikit terkejut. Aku terbangun dari renunganku, dan menoleh ke arah belakang.
“Cerialah Alan. Kamu terlalu memikirkan Mitsuki. Dia pasti baik-baik saja,” ucap Risa sambil tersenyum lebar padaku.
Entah kenapa Risa selalu tiba-tiba muncul begitu saja, dan menarik diriku yang tenggelam ke atas permukaan. Dia sekarang menjadi seorang penulis novel fiksi yang cukup populer. Cerita yang dia tulis selalu saja memiliki bau romantis yang menyengat. Meskipun begitu, menurutku Risa sama sekali tidak terlihat berubah. Mungkin hanya sedikit, rambut cokelatnya sekarang jadi terlihat lebih panjang, dan menurutku itu bagus.
“Kau benar… Mungkin aku hanya sedikit lelah.”
“Abis ini kamu mau langsung pindah ke rumah orang tuamu? Atau masih di kosan?”
“Di kosan, mungkin besok aja. Aku masih harus beres-beres, sedikit lagi selesai sih. Mungkin malam ini juga beres.”
“Jangan terlalu maksain, kalo capek istirahat aja. Nanti kabarin aku ya, kalau begitu…,” Risa mengulurkan tangan kanannya ke arahku, aku pun ikut mengulurkan tanganku, dan menjabat tangannya, “selamat ya! kita foto Yuk!” Risa menarikku ke tempat yang terbuka.
“Permisi tante, bisa tolong fotoin gak?” Risa menghampiri kerumunan ibu-ibu, dan meminta ibuku untuk memotret kami berdua.
“Boleh-boleh, sini…”
Aku, dan Risa berdiri bersebelahan. Menahan pose sampai hitungan mundur selesai, dan terdengar suara potretan dari sebuah ponsel. Entah kenapa ini rasanya sedikit nostalgia… Tak lama setelah itu, ponsel Risa berdering. Risa dengan sedikit terburu-buru mengangkatnya, dia terlihat fokus menyimak seseorang yang sedang berbicara dari balik telepon.
“Maaf, aku langsung pamit aja ya,” ucap Risa setelah menutup panggilan.
“Dari penerbit?” tanyaku iseng menebak.
“Iya, aku duluan ya…”
“Iya, h-hati-hati.”
Risa tersenyum padaku, dan kemudian berjalan pergi.
Setelah semuanya selesai aku pun di antar pulang ke kosan oleh ayah naik mobil, bersama ibu, dan juga Naomi. Baju wisuda, dan topi toga ini benar-benar membuatku gerah. Wajar saja ini sudah memasuki bulan agustus, waktunya musim panas.
Dari balik kaca mobil aku memandang keluar, dan melihat langit sore yang mulai semakin gelap. Udara mulai semakin terasa sejuk, melihat cuaca yang sepertinya akan hujan malah membuatku tenggelam ke dalam rasa kantuk. Baru saja beberapa saat menikmati tidur, tak lama kemudian aku terbangun kembali karena kondisi jalanan yang tidak mulus, dan membuat kepalaku terbentur kaca jendela mobil.
Hari sudah mulai terlihat gelap, lampu jalanan yang berjejer pun mulai menerangi jalan. Aku merasa jika bahuku sedikit terasa berat, dan saat menoleh ke arah samping aku melihat Naomi yang tertidur nyenyak. Aku merasa kasihan untuk membangunkannya, meskipun dia selalu menamparku saat tidur dulu. Setelah sampai di depan kosan, aku memindahkan kepala Naomi dengan perlahan, dan kemudian turun dari mobil.
“Besok kamu beneran pulang lagi ke rumah? Mau di jemput gak?” tanya ayah.
“Gak usah, aku sama temen aja nanti.”
“Ya udah, kalau begitu ibu sama ayah pulang ya. Awas, abis ini kamu istirahat ya…,” dari balik pintu mobil, ibu terlihat melotot padaku.
“Iya-iya… hati-hati di jalan.”
Mobil keluargaku pun perlahan melaju pergi dari depan kosan. Aku melambaikan tanganku sebelum mobil berwarna merah tua itu benar-benar pergi menjauh.
Setelah itu aku berjalan lemas menuju kamar kos. Ketika sedang asik berjalan tanpa memikirkan apapun, tiba-tiba saja ponselku berbunyi, dan sepertinya ada pesan masuk. Aku meraba-raba setiap saku di pakaianku, dan mencoba untuk mencari dimana ponselku berada.
Kantuk yang aku rasakan langsung hilang ketika melihat siapa yang mengirimiku pesan. Dia adalah Mitsuki, aku langsung berlari menuju kamar kos, dan menutup pintu rapat-rapat. Aku terduduk di atas kasur, dan mulai membaca perlahan pesan terbaru yang Mitsuki kirimkan.
“Selamat malam Alan. Maaf karena sudah lama tidak mengabarimu, apa sekarang kamu sibuk? Aku ingin berbicara denganmu.” Sebuah pesan singkat dari Mitsuki itu benar-benar membuatku tegang, dan berdebar-debar.
“Iya boleh, silahkan. Ada apa?” balasku singkat lewat pesan.
Tak lama setelah itu Mitsuki pun menelponku.
“Halo? Mitsuki? Apa terjadi sesuatu? Kamu kemana aja? Aku mengkhawatirkanmu…” Begitu telepon tersambung, aku tidak bisa menahan kalimat-kalimat itu, dan tanpa sadar aku terus berbicara sampai kehabisan napas.
“Kita… udahan aja ya…?”
“Eh? maksudnya…?”
“… H-hubungan kita ini… kita akhiri saja. Maaf…”
Aku terdiam sesaat, bingung akan berkata apa. Apakah ini hanya sebuah mimpi?? Apa aku belum terbangun dari tidurku di mobil tadi…? Perlahan aku mulai sadar jika ini bukanlah sebuah mimpi, aku mendengar suara Mitsuki menangis. Sepertinya ini memang sebuah kenyataan pahit yang sedang terjadi.
“Maafkan aku Alan… Maafkan aku.”
“…”
“A-aku di jodohkan, dengan anak dari teman perusahaan ayahku.”
Suara tangisan itu… aku benar-benar tidak ingin mendengarnya.
“Jangan menangis Mitsuki…”
Selama aku mengenal Mitsuki aku tidak pernah melihat ayahnya sama sekali. Tapi, jika Mitsuki menerima perjodohan itu… Aku tidak keberatan, mungkin.
“Tapi, apa Mitsuki benar-benar ingin menerimanya begitu saja…?
“Aku tidak bisa menolaknya, ayahku benar-benar memaksaku… Jadi, aku…”
“Begitu ya… jika begitu mau bagaimana lagi. Terima kasih sudah memberitahuku soal ini…
Dia pasti orang yang lebih baik untukmu.”
“Maaf Alan, maafkan aku… Aku mohon kamu lupakan saja diriku ini… Sampai ju-, mungkin kita tidak akan bertemu lagi ya… Maaf.”
Tak lama setelah itu dia langsung menutup panggilannya.
Melupakan dirinya? Jika bisa… mungkin aku menginginkannya. Tapi nyatanya itu mustahil.
Kamu meminta suatu hal yang berat Mitsuki, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhi permintaanmu ini.
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku.“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.“E-eh… baiklah…,” timpalku.Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku.“Namamu siapa?” tanya gadis itu.Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertany
“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang,
Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku
Malam ini aku dan keluargaku sudah sampai di kota Bandung, kota kelahiran ibuku. Saat di bandara kami dijemput oleh tante Nanda teman lama ibu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak pedagang yang berbaris di pinggir jalan, dan ibuku juga terlihat senang melihat pemandangan kota Bandung yang sepertinya sudah lama dia rindukan.“Alan baru pertama kali kesini ya? Eh, Alan bisa bahasa Indonesia gak ya?” Tanya tante Nanda.“I-iya tante saya baru pertama kali kesini, dan t-tenang aja saya bisa bahasa Indonesia kok…”“Hahaha, Alan ngomongnya masih kaku ya… tapi gak apa-apa, mungkin nanti juga akan terbiasa.”Saat kecil ibu mengajariku bahasa Indonesia, dan karena aku jarang menggunakannya saat di Jepang itu membuat pengucapanku dalam bahasa Indonesia masih kaku.Aku yang tadin
Karena terlalu sering menelpon keluar negeri, tagihan telepon rumahku jadi membengkak. Rasanya aku juga sedikit merasa bersalah soal itu. Aku mulai mengurangi waktuku untuk berbicara dengan Mitsuki. Tapi, aku bersyukur itu tidak bertahan lama. Ayahku memberiku solusi lain agar aku bisa terus berkomunikasi dengannya, yaitu dengan membelikanku sebuah ponsel.Tentunya aku langsung mengabari Mitsuki soal ini. Beberapa waktu yang lalu Mitsuki pernah bercerita jika dia dibelikan sebuah ponsel oleh ibunya, jadi aku pikir ini akan menjadi berita bagus. Aku dan Mitsuki mulai saling berbagi nomor telepon dan alamat email masing-masing. Hampir semalaman aku memainkan ponsel, padahal yang aku lakukan hanya membuka tutup isi pesan yang pernah Mitsuki kirimkan.Esok harinya, saat di kelas aku dimintai nomor telepon oleh Anton, dan juga teman-temanku yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan yang lainnya, satu persatu dari mereka mulai mengirimi
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq