Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya…
Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil.
“Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku.
“Kenapa?” tanyaku.
Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menenangkannya. Tapi sepertinya Clara benar-benar marah padaku.
“Udah buka aja helmnya!”
“Iya iya, sebentar,” aku pun mengalah, dan membuka helmku dengan cepat, “iya kenapa?”
Saat baru saja melepas. dan meletakkan helm di atas jok motor, Clara menamparku. Teman-temannya semakin menahan dia, dan menjauhkannya dariku.
“Ehh, Clara! Udah-udah!” teriak kedua teman Clara yang berusaha menahanya.
“Kamu tuh ya! kalo udah nolak Risa jangan terus-terusan baik sama dia, itu kayak ngasih dia harapan palsu tau! Kamu gak sadar apa?!” ucap Clara sambil menatap kesal padaku.
“Maaf, aku benar-benar tidak berniat begitu…”
Di tengah ketegangan Anton tiba-tiba datang dari belakang Clara.
“Oi ceboll… Harusnya kamu gak boleh nyalahin Alan, ini bukan salah dia kalo perasaanya gak sama. Kamu terlalu berlebihan,” ucap Anton.
“Iya Clara, aku juga sudah tidak apa-apa… maaf sudah membuatmu khawatir…” Risa berusaha menenangkan Clara.
Tak lama Clara mulai terlihat tenang, dan teman-temannya mulai melepasnya.
Plak!!!
Suara tamparan yang lebih keras terdengar, dia menamparku lagi, dan kemudian memukul perutku. Aku membungkuk menahan sakit. Anton yang berada disana langsung mengangkat Clara, dan menjauhkannya dariku.
“Udah Clara… kamu kayak anak kecil aja… sorry ya Alan, kalau begitu sampai besok…”
Clara terlihat meronta-ronta di atas bahu Anton.
“Lepasin Anton! Aku ini lebih tua dari kamu tau! Gak sopan banget!” Risa terus meronta-ronta sambil memukuli bahu Anton. Kedua teman Clara yang menahannya tadi pun mengikuti Anton.
“Tch, apaan cuma sebentar. Gak seru ah ributnya.” Entah siapa yang mengatakan itu, tapi perkataannya itu membuat kerumunan bubar. Lagi pula apa yang sebenarnya dia harapkan… dasar aneh.
“Ugh… baru kali ini aku ditampar perempuan dua kali…”
“Maaf Alan… karenaku kamu jadi begini…”
“Gak apa-apa, itu artinya punya teman yang baik… Yuk pulang.”
Risa terlihat ragu untuk pergi pulang denganku, dan tak lama dia pun menolak ajakanku.
“Maaf, mungkin untuk hari ini nggak dulu… Aku mau berbicara dulu dengan Clara,” ucap Risa sambil melepas kembali helmnya.
“Baiklah. Kalau begitu… sampai jumpa besok.”
“Ya… sampai jumpa besok.”
Aku pun pulang sendirian sore ini. Aku benar-benar tidak menduga hal tadi akan terjadi… Aku masih bisa merasakan sakit dari pipi kananku, dan mungkin masih meninggalkan bekas telapak tangan di pipiku ini. Sepanjang perjalanan aku merenungi apa yang dikatakan Clara padaku. Aku hanya berusaha untuk kembali berteman dengan Risa. Apa sikapku yang seperti biasanya ini akan menyakitinya…? Jika ini salah, aku benar-benar bingung harus bersikap seperti apa.
-
-
-
Sesampainya di rumah, aku terus memakai helmku sampai kamar karena takut bekas luka di pipiku masih ada. Begitu sampai di kamar aku langsung berkaca, dan memastikannya. Ternyata benar, meskipun rasa sakitnya sudah lama hilang, tapi ini masih membekas. Sebaiknya aku berhati-hati dengan teman Risa yang bernama Clara itu… Pukulannya keras sekali.
Saat meraba saku celana aku menjadi panik, dan tidak bergerak selama beberapa saat. Aku tidak bisa menemukan ponselku, ponselku tidak ada…!? Aku mulai meraba, dan memeriksa setiap saku celanaku. Tapi aku masih belum menemukannya, di dalam tas juga tidak ada. Aku mulai mengingat-ngingat kapan terakhir kali aku menggunakannya…
Begitu ingat, aku langsunng bergegas keluar kamar, dan menuruni tangga dengan buru-buru. Sampai-sampai ibu memarahiku.
“Pelan-pelan! Nanti jatuh…”
“Maaf, lagi buru-buru bu…”
Begitu sampai di depan pintu. aku langsung menarik, dan membukanya. Setelah terbuka aku melihat Risa yang sedang berdiri disana. Karena terburu-buru aku pun secara tak sengaja menabraknya hingga terjatuh.
Bruukkk!
“Aduh! Aww…” Risa terjatuh.
“Risa? kamu ngapain? Maaf aku lagi buru-buru.”
Risa bangun, dan kemudian membuka isi tasnya.
“Ini ponsel kamu kan?” Risa memberikan sebuah ponsel padaku, dan itu memang benar punyaku, “tadi Anton bilang kalau dia nemu ini di kolong meja, dan menitipkannya padaku.”
“Begitu ya. Terima kasih banyak Risa.”
“Alan itu ceroboh juga ya… haha. Kalau begitu aku pulang ya, sampai besok.”
“Aku antar saja Risa, tunggu sebentar!”
“Eh gak usah…”
Aku kembali masuk rumah dengan buru-buru, dan berlari menuju kamar untuk mengambil helm. Begitu kembali keluar setelah mengambil helm, aku melihat Risa yang masih berdiri di depan teras, aku pikir dia akan langsung pergi pulang sendirian.
Aku baru sadar jika Risa masih membawa helm yang biasanya dia pakai, aku pikir dia akan menyimpannya di sekolah, ya setahuku dia selalu menyimpan helmnya di sekolah jika tidak sedang pulang bersamaku. Aku langsung pergi mengantar Risa ke rumahnya dengan motor tanpa menanyakan hal tadi.
“Temanmu yang di Jepang itu… siapa namanya?” tanya Risa.
“Dia… Mitsuki. Mitsuki Akio.”
“Aku tidak begitu mengerti, tapi namanya terdengar indah. Dia seperti apa orangnya? Ceritakan padaku dong.”
“Mitsuki itu… cengeng, dan… penakut. Terkadang dia suka menatap ke arah langit dalam waktu yang lama, dia bahkan tak pernah sadar jika rambutnya tertiup angin saat itu.”
“Apa foto gadis yang ada di layar depan ponselmu itu Mitsuki ya…?”
“Eh… ya.”
“Maaf aku secara tak sengaja melihatnya…”
Malu sekali rasanya jika Risa tau soal itu.
“Dia terlihat cantik dan manis. Jangan buat dia menangis ya…”
“Ya… tentu saja…”
Saat melihat Mitsuki menangis waktu itu… aku benar-benar tidak ingin melihatnya menangis lagi.
“Ngomong-ngomong… apa perutmu masih sakit?”
“Ya sedikit, aku hampir muntah saat tadi.”
“Alan tahu gak? Kalau Clara atlet silat di sekolah kita. Dia pernah juara provinsi loh.”
“Hah? Pantes aja pukulannya keras banget…” Pantas saja isi makan siangku hampir keluar semua tadi, ugh…
-
-
-
“Terima kasih sudah mengantarku pulang. Aku… akan mendukungmu.” Risa melepas helmnya, dan kemudian tersenyum padaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan, tapi begitu sadar… Oh dia ini benar-benar…
“Ya… aku juga terima kasih. Kalau begitu sampai jumpa besok…”
Risa hanya tersenyum, dan melambaikan tangannya saat aku mulai menjauh darinya.
Apakah dalam sebuah cinta itu… tak pernah seimbang ya… Semuanya selalu terlihat rumit. Jika dipikir-pikir aku ini memang menyukai Mitsuki, tapi… aku masih ragu untuk mengatakannya. Aku tidak ingin hubunganku dengan Mitsuki menjadi berubah karena ini, aku lebih baik memikirkan ini lebih jauh lagi… Seperti menikahinya? Sepertinya itu terlalu jauh ya…
Lagipula apa Mitsuki disana sudah mempunyai pacar ya… atau sedang menyukai seseorang mungkin? aku tidak tahu itu itu. Mitsuki itu cantik, disana pasti banyak yang menginginkannya. Ahh kenapa aku malah semakin memikirkannya.
Sebelum pulang aku memutuskan untuk mengunjungi ke minimarket terlebih dahulu, aku hanya merasa sedikit haus, dan membeli sebotol teh disana. Saat pikiranku masih tak karuan memikirkan hal tadi, aku secara tak sengaja melihat seorang karyawan café yang keluar, dan menempelkan sebuah poster di depan kaca café itu. Karena penasaran aku pun melihat poster itu lebih dekat, dan membacanya.
Di poster itu mereka sedang mencari tetap, dan paruh waktu. Aku mulai tertarik, dan membaca poster itu lebih jauh lagi, café ini sepertinya baru saja dibuka. Setelah berpikir cukup lama, aku pun pergi masuk ke dalam café itu, dan mencari managernya. Begitu masuk… aku langsung mencari sang manajer, dan berniat untuk bekerja disini.Setelah menemui pak manajer disana, aku di hujani banyak pertanyaan olehnya, dan aku cukup lama berada di dalam ruangannya itu. Setelah menyesuaikan aku pun diterima bekerja paruh waktu disini. Aku menjadi pelayan di café ini mulai besok, dengan jadwal senin sampai jum’at. Mungkin ini akan sedikit berat jika di hari sekolah, tapi ini hanya tiga jam waktu kerja, dan aku pikir ini tidak masalah. Mungkin nanti aku akan pulang lebih telat saat di rumah.
“Setelah bekerja besok kamu harus tetap menjaga kewajibanmu untuk belajar ya. Jangan lupa beritahu kedua orang tuamu.”
“Baik pak. Terima kasih, kalau begitu saya pamit…”
Sebelum aku pergi meninggalkan ruangannya pak manajer itu menjabat tanganku dengan erat.
Memberitahu kedua orang tua ya… Aku pikir ayah akan mengijinkanku, tapi ibu… aku tidak yakin. Aku memilih untuk diam saja, dan tidak memberitahu kedua orang tuaku.
Tanpa sadar hari pun sudah semakin gelap, cahaya senja mulai tenggelam, dan menghilang. Aku baru ingat jika saat melamar kerja disana… aku masih memakai seragam, dengan dasi yang sedikit kendor, dan melorot. Jika dilihat-lihat ini seperti berandalan saja.
Sesampainya di rumah, aku benar-benar tidak memberitahu kedua orang tuaku soal pekerjaan paruh waktu tadi. Aku langsung pergi mandi, dan makan setelah itu. Menutup pintu kamar rapat-rapat, dan kemudian memeriksa pesan-pesan yang ada di ponselku. Begitu melihat ada pesan masuk dari Mitsuki, aku langsung membacanya.
“Selamat malam Alan, sekolahmu hari ini bagaimana?”
“Hari ini terlalu banyak yang terjadi, ingin mendengarnya?”
“Mau, mendengar Alan bercerita itu… pasti menyenangkan.”
Aku pun menelpon Mitsuki setelah itu. Aku menceritakan pada Mitsuki jika sore tadi aku dipukul oleh seseorang. Aku iseng berbohong padanya, dan mengatakan jika aku di keroyok orang.
“Eh… apa Alan baik-baik saja? Kenapa bisa begitu?” Dari balik telepon Mitsuki terdengar panik. Aku senang mendengar itu…
“Hehe… maaf. Aku hanya bercanda.”
“Duh… apa sih Alan… a-aku khawatir tau.”
“Tapi aku memang dipukul Mitsuki, oleh perempuan yang lebih pendek dariku. Dia marah padaku, dan kemudian memukulku.”
“Pasti ada alasannya bukan? Kenapa?”
Sejujurnya pertanyaan Mitsuki itu sedikit membuatku tegang untuk menceritakannya. Tapi, pada akhirnya aku menceritakannya pada Mitsuki. Aku bercerita jika seorang temanku menembakku, dan aku menolaknya… Mitsuki sepertinya masih duduk manis mendengarkanku.
“Dan yang memukulku itu adalah teman dekatnya…”
“Aku tidak mengerti kenapa dia memukulmu… tapi ternyata Alan populer juga ya… hehe, dan kenapa Alan menolaknya?” tanya Mitsuki.
“Aku…”
Eh… apa aku akan melakukannya sekarang? Tidak-tidak, ini terlalu mendadak…!
“Aku tidak punya perasaan yang sama dengannya… Kalau Mitsuki… sekolahmu hari ini bagaimana?”
Syukurlah, aku berhasil menghindarinya. Tapi, setelah mengatakan itu Mitsuki menjadi terdiam. Aku hanya bisa mendengar suara jangkrik dari luar.
“Hallo? Mitsuki?”
“… Ah maaf Alan. Tadi ibu memeriksa kamarku, apakah aku sudah tidur, atau belum hehe.”
“Ah, disana sepertinya ini sudah cukup larut, maaf aku tidak memperhatikan itu.”
“Kalau begitu… terakhir. Sekolahku hari ini sangat menyenangkan, terima kasih Alan karena selalu menemaniku. Selamat malam…”
“Ah, ya… selamat malam…”
Benar… setiap hari memang selalu terasa menyenangkan jika ada dirimu Mitsuki, ditemani olehmu rasanya membuatku senang, dan nyaman. Setiap kali memejamkan mata… dirimu selalu saja muncul di dalam benakku.
Oh iya… aku lupa cerita pada Mitsuki kalau aku sekarang ada kerja paruh waktu tiap sore…
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku.“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.“E-eh… baiklah…,” timpalku.Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku.“Namamu siapa?” tanya gadis itu.Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertany
“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang,
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq