Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku.
“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”
Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.
“E-eh… baiklah…,” timpalku.
Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku.
“Namamu siapa?” tanya gadis itu.
Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertanya padaku dengan tersenyum seperti itu.
“Panggil saja Alan, kalau kamu?”
Aku pikir dia akan memperkenalkan dirinya dengan normal, tapi ternyata tidak. Bahkan dia tidak memberi tahu namanya sama sekali, dia hanya tersenyum mendengarku bertanya balik mengenai namanya, dan kemudian dia kembali mengajakku berjalan. Aku sedikit ragu untuk kembali bertanya padanya, mungkin lain kali aku akan bertanya lagi.
Aku masih berjalan di sampingnya, dan dia juga masih memegangi tanganku. Rasanya sedikit memalukan, dan sepertinya telapak tanganku mulai berkeringat. Aku ingin menarik tanganku dari genggamannya ini, tapi aku juga tidak ingin melepaskannya!
Meskipun begitu tetap saja aku tidak ingin terganggu dengan telapak tanganku yang basah. Di ujung jalan aku melihat sebuah vending machine, aku langsung melepaskan genggamannya itu dan kemudian berlari ke ujung jalan. Aku membeli dua buah minuman kaleng dingin disana, dan membagi salah satu kaleng minumannya pada gadis itu.
Aku mengajak gadis itu untuk duduk di bangku taman di dekat sana. Tempat itu terlihat sejuk karena berada tepat di bawah pohon yang cukup besar. Dia hanya mengangguk, dan kemudian mengikutiku berjalan. Di bangku taman itu dia hanya menatap ke bawah, dia terlihat gugup sambil terus memegang erat kaleng minumannya itu.
“Terima kasih ya…,” ucapnya.
Aku langsung terdiam selama beberapa saat ketika mendengar itu. Dia berterima kasih padaku, dan kemudian dia tersenyum. Senyumannya seolah-olah menghembuskan sebuah angin lembut yang membelai wajahku.
“Ngomong-ngomong namamu Alan ya? itu tidak terdengar seperti nama orang Jepang.”
“Kamu benar, sebenarnya aku tidak sepenuhnya orang Jepang. Aku blasteran.”
“E-eh benarkah…?”
“Ya…”
Ayahku dari Jepang, dan ibuku dari Indonesia. Aku lahir di Jepang, tapi entah kenapa kedua orang tuaku menamaiku seperti itu, tapi aku tidak membencinya. Sudah 11 tahun aku tinggal di sini, dan aku menjalani keseharianku dengan biasa-biasa saja.
“Alan. A-apa kamu keberatan jika kita terus bermain bersama?” tanyanya dengan terbata-bata.
“Tentu saja tidak. Libur musim panas baru saja dimulai bukan?”
“Benarkah? Janji?” dia bertanya kembali.
Dia mengeluarkan jari kelingking dari lengan kanannya, dan mengarahkannya padaku. Kurang lebih aku mengerti apa yang dia maksud…
“Ya, janji… aku pasti akan selalu bermain denganmu…”
Aku pun ikut mengeluarkan jari kelingking ku, dan memeluk jari miliknya. Wajahnya sedikit terkejut saat jarinya saling bersentuhan dengan jariku, tapi setelah itu dia mulai tersenyum, dan sedikit tertawa.
“Terima kasih, Alan itu baik ya…”
Aku tidak mengetahui namanya, tapi sepertinya aku mulai berteman dengan dirinya. Aku juga masih belum mengetahui kenapa dia tiba-tiba mengajakku untuk pergi berjalan-jalan, apa dia kesepian? Sepertinya tidak. Dia terlihat cantik, dan menawan. Pasti dia populer, dan memiliki banyak teman di sekolahnya.
Tanpa aku sadari anak-anak yang sedang berada di taman tadi sudah mulai pergi. Langit juga menjadi sedikit mendung, mungkin akan turun hujan.
“Sepertinya mau hujan, sebaiknya kita segera pulang. Besok kita bertemu lagi disini saja bagaimana?”
“Baiklah! Kalau begitu sampai jumpa besok Alan.”
Setelah sepakat gadis itu pergi meninggalkan taman mendahuluiku. Apa dia barusan pergi kearah yang sama dengan arah rumahku? Sepertinya tidak. Air hujan mulai berjatuhan, dan mengenai kepalaku. Aku langsung berlari pulang menuju rumah. Beberapa saat sebelum aku sampai rumah, hujan mulai semakin menjadi, dan akhirnya aku menjadi basah kuyup terkena hujan saat sampai rumah. Lagian kenapa saat libur musim panas seperti ini bisa turun hujan ya…?
“Aku pulang.”
“Ya ampun… Cepat ganti bajunya ya, nanti masuk angin,” ucap ibuku yang melihatku berdiri kebasahan di depan pintu.
“Iya bu.”
Aku menjadi sedikit mengantuk, ditambah cuaca yang masih turun hujan, itu menjadi semakin membuatku malas untuk melakukan sesuatu.
Esok harinya di siang yang cerah ini aku pergi menuju ke taman kemarin. Di taman itu ternyata dia sudah datang terlebih dahulu, dan sedang duduk di kursi taman. Hatiku langsung merasa senang, dan juga bersemangat ketika melihat dirinya.
“Yo, selamat pagi. Hari ini kita mau bermain kemana?”
Aku mencoba menyapanya yang sedang terduduk, sambil memandangi langit. Dia terlihat menawan dengan sebuah gaun musim panasnya yang berwarna putih.
“Ah, maaf aku melamun,” ucapnya
“Apa ini sepedah milikmu? Kita berkeliling menggunakan sepeda saja!” Di dekatnya aku melihat sebuah sepeda keranjang berwarna pink yang bersandar di samping pohon.
“Tidak-tidak, berboncengan itu kan bahaya!”
Memang itu yang di ucapkannya tadi, tapi pada akhirnya aku berhasil membujuknya untuk pergi berkeliling dengan berboncengan menaiki sepeda miliknya.
“A-apa benar tidak apa-apa? Aaaa pelan-pelan Alan! Bahaya tau!”
“Tenang saja!” ucapku berusaha untuk meyakinkan.
Aku iseng mempercepat kecepatan sepedanya, tapi reaksinya diluar dugaanku. Aku pikir dia akan memukul-mukul punggungku dengan imut, tapi dia malah menutup matanya dengan ekspresi ketakutan. Karena merasa bersalah, aku akhirnya kembali mengendarai sepeda dengan pelan-pelan.
Kami berdua hanya bersepeda di sekitaran rumah-rumah saja, dan menghindari jalan raya. Saat tengah menikmati perjalanan, tiba-tiba saja kami berdua melihat seorang wanita dengan gaun pengantin berwarna putih yang keluar dari sebuah mobil sedan berwarna hitam.
“Lihat ada pengantin! Waaahhh cantiknya…”
Dia terlihat kagum, dan memuji pengantin wanita tersebut. Gadis yang sedang bersamaku ini juga tidak mengalihkan pandangannya dari pengantin itu sepanjang perjalanan. Karena penasaran akhirnya aku memberhentikan laju sepeda selama beberapa saat untuk melihatnya juga, dan saat aku lihat pengantin tersebut memang cantik. Gaunnya terlihat putih, dan bersinar.
“Wah kau benar,” timpalku.
Setelah puas melihat, aku kembali mengayuh sepeda, dan melanjutkan perjalanan yang tidak tau akan berakhir dimana.
“Aku juga ingin menjadi pengantin… pasti rasanya hebat. Kalau Alan bagaimana?” ucapnya memulai kembali pembicaraan.
“Eh, entahlah. Kamu ini memangnya mau menikah sama siapa?”
“Aku juga tidak tahu… Kalau Alan ingin menikah dengan siapa?” dia terlihat merenung, dan kemudian tiba-tiba bertanya kembali.
“Dengan siapa ya…? Dengan orang tercantik di dunia ini, mungkin… Hahaha bercanda. Aku juga tidak tahu,” karena merasa malu, aku pun menarik kembali kata-kataku, dan telinga ku terasa sedikit panas. Meskipun samar-samar, aku tadi berniat untuk mengarahkan kata-kataku itu padanya, ya Tuhan itu memalukan.
“Apa itu, haha,” timpalnya dengan sedikit tertawa.
Matahari semakin naik, dan cuaca mulai terasa panas. Tadinya aku memutuskan untuk berhenti, dan beristirahat. Tapi kami berdua malah secara tak sengaja melewati sebuah pos polisi. Polisi yang sedang berjaga tersebut mulai keluar, dan berusaha berlari mengejarku. Wajah gadis yang sedang bersamaku terlihat panik saat sang polisi berteriak meminta kami untuk berhenti.
“Heiii kalian berhenti! Itu berbahaya!” ucap polisi dibelakangku yang terlihat masih mengejar
“Gawat, aku tidak tahu jika di sekitar sini ada sebuah pos polisi. Pegangan!”
Aku memilih untuk kabur. Aku mulai mengayuh sambil berdiri dengan semua tenagaku, dan gadis itu tak berhenti berteriak ketakutan untuk menyuruhku berhenti.
“Aaaaaaaaa, udah berhenti Alaannn…!” teriakannya semakin menjadi.
“Fuuuh. Sepertinya pak polisi itu sudah berhenti mengejar. Hehe maaf-maaf.”
“Bahaya tau! Gimana kalau,” terdengar suara dari perutnya, “mena… brak…”
Sepertinya dia lapar, ya wajar saja ini sudah memasuki jam makan siang, sebenarnya aku juga sedikit lapar.
“Aku juga lapar, mau pergi ke kedai ramen?”
Dia tidak menjawab, dan hanya mengangguk sambil menatap kebawah. Wajahnya terlihat memerah menahan malu. Saat aku mengajaknya untuk kembali berboncengan dengan sepeda, dia menolak, dan mulai menggiring sepedanya sendiri. Sepertinya tadi itu adalah pertama, dan terakhir kalinya aku memboncengnya dengan sepeda.
“A-ayo, kamu kenapa melamun,” ucapnya dari kejauhan sambil menggiring sepeda.
“Tunggu! Kenapa kamu buru-buru…?” aku melihat gadis itu menaiki sepedanya, kemudian mengayuhnya, “Eh, tu- tunggu aku!”
Setelah itu aku sepenuhnya berlari mengejarnya, dan tanpa disadari ternyata kami berdua sudah kejar-kejaran sampai ke kedai ramen. Setelah dipikir-pikir, siapa ya yang akan makan ramen di tengah hari begini? Mungkin aku akan memesan soba dingin saja…
Selesai mengisi perut aku kembali berjalan-jalan bersamanya. Dia menggiring sepedanya, dan ikut berjalan kaki bersamaku. Aku hanya bisa memandangi wajahnya itu dari samping sambil memikirkan sebuah topik pembicaraan.
“Alan, jika seseorang yang berharga bagimu menghilang, apa yang kamu rasakan?” ucapnya, dia mencoba memecah keheningan ini dengan sebuah pertanyaan yang aneh.
“Mungkin aku akan bersedih, tapi aku tidak akan menangis,” timpalku.
“Kalau aku…,” dia berhenti berjalan dan kemudian menatapku sambil tersenyum, “mungkin akan menangis.”
Aku tidak mengerti kenapa dia mempertanyakan itu padaku, terkadang dia selalu menanyakan sesuatu yang benar-benar tidak bisa aku pahami.
Cuaca siang ini mulai semakin panas, kami berdua masih berjalan-jalan tanpa sebuah tujuan, dan mulai membicarakan hal-hal yang kami temui di sepanjang jalan. Seperti mobil itu keren, atau rumah itu besar sekali. Tak jauh dari sini ternyata ada sebuah perpustakaan. Perpustakaan ini berada di dekat stasiun, mungkin ini jaraknya agak jauh dari rumah. Aku baru sadar jika aku sudah pergi berjalan sejauh ini.
“Panas, kita berteduh dulu di dalam sana yuk,” ucapku sambil menunjuk ke arah perpustakaan yang berada di seberang jalan.
“Yuk…,” balasnya sambil mengangguk.
Setelah itu kami berdua pergi kedalam perpustakaan itu. Begitu membuka pintu masuk aku bisa merasakan udara sejuk dari AC menyambutku. Kami berdua mulai berjalan-jalan mengitari rak-rak buku di dalam perpustakaan ini, sebenarnya aku tidak terlalu berniat untuk mencari buku untuk dibaca. Yang terus aku perhatikan hanyalah dirinya…
“Alan buku ini,” gadis itu mendadak berbalik sambil menunjukkan buku itu padaku, karena aku berada tepat di belakangnya wajah kami jadi saling berdekatan. Tak lama dia langsung mundur dariku, “b-buku ini menarik loh… i-ingin membacanya bersama…?”
“B-begitu ya… kalau begitu kita sambil duduk disana saja, sepertinya disana kosong…”
Setelah itu kami berdua pergi berjalan menuju sebuah meja kosong di dekat jendela. Aku merasa jika suasana menjadi semakin canggung saat kami berdua mulai duduk saling berdampingan. Dia tidak melihatku sama sekali, dan fokus melihat buku tentang bunga yang tadi dia tunjukkan.
Tapi aku malah terus memperhatikannya dibanding ikut membaca isi buku itu…
“Bukunya bagus bukan?” tanya gadis itu.
“Eh, ah iya. Bukunya bagus!”
Dan hari ini pun berakhir…
“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang,
Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku
Malam ini aku dan keluargaku sudah sampai di kota Bandung, kota kelahiran ibuku. Saat di bandara kami dijemput oleh tante Nanda teman lama ibu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak pedagang yang berbaris di pinggir jalan, dan ibuku juga terlihat senang melihat pemandangan kota Bandung yang sepertinya sudah lama dia rindukan.“Alan baru pertama kali kesini ya? Eh, Alan bisa bahasa Indonesia gak ya?” Tanya tante Nanda.“I-iya tante saya baru pertama kali kesini, dan t-tenang aja saya bisa bahasa Indonesia kok…”“Hahaha, Alan ngomongnya masih kaku ya… tapi gak apa-apa, mungkin nanti juga akan terbiasa.”Saat kecil ibu mengajariku bahasa Indonesia, dan karena aku jarang menggunakannya saat di Jepang itu membuat pengucapanku dalam bahasa Indonesia masih kaku.Aku yang tadin
Karena terlalu sering menelpon keluar negeri, tagihan telepon rumahku jadi membengkak. Rasanya aku juga sedikit merasa bersalah soal itu. Aku mulai mengurangi waktuku untuk berbicara dengan Mitsuki. Tapi, aku bersyukur itu tidak bertahan lama. Ayahku memberiku solusi lain agar aku bisa terus berkomunikasi dengannya, yaitu dengan membelikanku sebuah ponsel.Tentunya aku langsung mengabari Mitsuki soal ini. Beberapa waktu yang lalu Mitsuki pernah bercerita jika dia dibelikan sebuah ponsel oleh ibunya, jadi aku pikir ini akan menjadi berita bagus. Aku dan Mitsuki mulai saling berbagi nomor telepon dan alamat email masing-masing. Hampir semalaman aku memainkan ponsel, padahal yang aku lakukan hanya membuka tutup isi pesan yang pernah Mitsuki kirimkan.Esok harinya, saat di kelas aku dimintai nomor telepon oleh Anton, dan juga teman-temanku yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan yang lainnya, satu persatu dari mereka mulai mengirimi
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq