Share

5|Ponsel

Author: Rama Sipit
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Karena terlalu sering menelpon keluar negeri, tagihan telepon rumahku jadi membengkak. Rasanya aku juga sedikit merasa bersalah soal itu. Aku mulai mengurangi waktuku untuk berbicara dengan Mitsuki. Tapi, aku bersyukur itu tidak bertahan lama. Ayahku memberiku solusi lain agar aku bisa terus berkomunikasi dengannya, yaitu dengan membelikanku sebuah ponsel.

Tentunya aku langsung mengabari Mitsuki soal ini. Beberapa waktu yang lalu Mitsuki pernah bercerita jika dia dibelikan sebuah ponsel oleh ibunya, jadi aku pikir ini akan menjadi berita bagus. Aku dan Mitsuki mulai saling berbagi nomor telepon dan alamat email masing-masing. Hampir semalaman aku memainkan ponsel, padahal yang aku lakukan hanya membuka tutup isi pesan yang pernah Mitsuki kirimkan.

Esok harinya, saat di kelas aku dimintai nomor telepon oleh Anton, dan juga teman-temanku yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan yang lainnya, satu persatu dari mereka mulai mengirimi pesan sapaan padaku. Ketua kelas juga memasukkan nomor ponselku ke grup chatting kelas, kami asik mengirimkan sebuah pesan sticker, hingga akhirnya dibubarkan oleh kehadiran pak guru yang mulai memasuki kelas.

“Hayooo, ngapain nih rame-rame? Bapak ikutan juga dong…” ucap pak Mamat. Seorang guru bahasa Sunda dengan rambut botak plontos, dan kacamata hitam di sakunya yang terlihat khas. Dia guru yang cukup humoris, meskipun aku tidak terlalu mengerti pelajaran bahasa Sunda ini, setiap katanya benar-benar sulit untuk aku ucapkan.

Aku baru sadar jika hari ini kak Risa tidak lewat ke depan kelasku lagi hari ini, bahkan sampai jam istirahat tiba aku masih belum melihatnya. 

Tak lama setelah berpikir seperti itu, dia tiba-tiba saja datang menghampiriku yang sedang duduk di kursi kantin bersama Anton. Dia memperhatikanku yang sedang menulis pesan dari belakang.

“Waahh, kamu punya ponsel? Minta nomer teleponnya dong… hehe,” ucap kak Risa.

“Boleh, nomernya…“

Dia mengambil sebuah pulpen dari sakunya, dan kemudian menuliskan nomer telpon yang aku sebutkan satu persatu di atas telapak tangannya sendiri. Setelah itu dia menarik lenganku, dan menuliskan sesuatu di atas telapak tanganku, rasanya sedikit geli… Saat aku lihat, ternyata dia menuliskan sesuatu di telapak tanganku.

“Itu nomor telponku ya… Sampai jumpa di bis nanti…”

Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Tapi, bekas tangannya itu entah kenapa terasa sedikit wangi.

Bel masuk langsung berbunyi setelah kak Risa pergi, aku langsung bergegas berlari menuju kelas bersama Anton.

Jam pelajaran kali ini adalah sejarah. Bu guru memberikan kami sebuah tugas yang harus dikerjakan secara kelompok yang berisi 4 orang, di kelompokku ada Toni, Rani, Ridwan, dan aku sendiri. Aku dengan mereka tidak terlalu sering mengobrol, tapi meskipun kami ber empat baru saja mengobrol tadi pagi saat bertukar nomor ponsel, suasananya terasa canggung. Hingga Ridwan menguap lebar, dan memecah suasana canggung yang terjadi. Seketika seisi kelas tertawa lepas.

Tak lama setelah itu Rani mulai berbicara terlebih dahulu, dan membimbingku untuk ikut menulis tugasnya. Untungnya tugas ini tidak benar-benar sulit, tapi jumlah kata yang harus kami tulis cukup menumpuk, dan membuat jari-jariku sedikit pegal. Ditambah lagi aku masih belum terbiasa menulis huruf alphabet.

Disaat kami bertiga sibuk menulis, Toni malah sibuk melamuni sesuatu. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Bagaimana ini… aku masih belum menyelesaikan tugas dari bu Anita… dia pasti akan membunuhku…” gumam Toni sambil menatap kosong kearah lantai.

Setelah tahu apa yang sedang dipikirkannya, aku jadi sedikit kasihan pada Toni. Dari rumor yang aku dengar bu Anita itu seorang guru yang cukup galak, dan sensitif terhadap tugas. Pantas saja dia jadi terlihat terbebani.

“Dari kemarin ngapain aja sih. Males banget, bukannya dikerjain…,” sindir Rani.

Tatapan Toni semakin tidak karuan, karena merasa tidak enak akhirnya aku mencoba untuk membantunya, dengan mengeluarkan buku tugas milikku dari tas.

“Ini Toni, salin saja punyaku,” ucapku sambil menyerahkan sebuah buku bersampul hijau tua.

“Apa boleh?” tanya Toni, dengan mata yang seolah melihat harapan.

Aku pun mengangguk dan memberikannya buku. Rani mencoba untuk mencegahku, tapi aku sudah terlanjur memberikan buku itu pada Toni.

Toni langsung berlari ke mejanya, dan terlihat bersemangat untuk menyalin tugasku. Tapi, semangat itu ternyata tidak bertahan lama. Dia kembali terlihat putus asa setelah membuka buku tugas buku milikku.

“Ini Alan tidak jadi, ternyata tugasnya banyak sekali… Aku akan menunggu eksekusi dari bu Anita saja,” ucap Toni lemas, sambil mengembalikan buku milikku.

Dia seperti kehilangan harapan… Sekarang sudah waktunya jam pelajaran berganti ke pelajaran bu Anita, yaitu pengetahuan alam. Toni yang duduk di belakangku terlihat semakin pasrah. Tapi, bu Anita masih belum datang juga. Sebagian siswa mulai berharap bu Anita tidak akan masuk kelas, ternyata banyak dari mereka yang belum mengerjakan tugas. Hingga akhirnya keheningan di kelasku pun hancur, berubah menjadi sebuah teriakan histeris saat mendengar pengumuman dari speaker sekolah.

“Karena akan ada rapat untuk para guru. Para siswa siswi SMP Negeri Hayalan Bandung, silahkan kalian berkemas saja, dan melanjutkan belajar di rumah. Besok kembali masuk seperti biasa ya, terima kasih.”

Seisi kelas langsung terburu-buru mengemas alat tulisnya kedalam tas masing-masing, begitu juga denganku. Aku memutuskan untuk buru-buru pulang sebelum kak Risa menemukanku. Tak lama setelah berjalan keluar meninggalkan ruangan kelas, ada seseorang yang menepuk punggungku. Ya aku bisa menebak siapa orangnya…

“Alan! ketemu… hehehe. Jangan tinggalin aku dong.”

Pada akhirnya aku dan kak Risa kembali pulang bersama. Noda pulpen bertuliskan nomor ponselku masih terlihat jelas di lengannya, dan begitu juga noda pulpen di lenganku… 

“Nanti aku akan menelpon ya, boleh?” tanya kak Risa.

“Boleh, tapi ingin memangnya akan membicarakan apa?”

“Bicara apa saja juga bisa,” kak Risa mendekat, dan kemudian berbisik padaku, “membicarakan masa depan kita misalnya… haha bercanda deh.”

Seketika hembusan hangat nafas kak Risa terasa jelas di daun telingaku.

“Ehh Alan kamu tersipu…? Pipi kamu merah loh.” ucap kak Risa, dia kembali menggodaku.

“T-tidak, hentikan itu kak.”

“Panggil aku Risa saja…”

“Baiklah… Risa.”

Saat aku coba panggil namanya dia malah memalingkan wajahnya dariku. 

“Karena pulang lebih cepat, mau pergi bermain ke suatu tempat?” tanya Risa, sambil masih memalingkan wajahnya dariku.

Tadinya aku berniat untuk menolak ajakannya itu, tapi… aku ingin melihat-lihat kota ini lebih jauh lagi. Jadinya aku tak bisa menolak tawarannya itu, dan sepertinya Risa juga tahu tempat-tempat bagus di kota ini. Aku bisa memotret beberapa tempat bagus untuk Mitsuki… 

“Baiklah, ayo. Kita mau kemana?”

Risa terlihat senang, dan bersemangat mendengar jawaban dariku.

Risa mengajakku untuk berjalan kaki saja. Ternyata tak jauh dari sekolah ada sebuah pasar, dan disini juga ada banyak pedagang kaki lima yang lainnya. Risa menarik tanganku dan membawaku berlari untuk pergi menyebrangi jalan.

“Perhatikan… langkahmu ya…!” 

Dia mengatakkan itu sambil terus menarik tanganku.

“Baiklah, kita sampai…”

Risa melepaskan tanganku, dan kemudian menatapku seolah penasaran dengan reaksiku. Dia membawaku ke sebuah tempat yang cukup ramai oleh orang. 

“Ini alun-alun kota Bandung," ucapnya.

Aku langsung mengeluarkan ponselku, dan mulai memotret sekitaran tempat ini. Sambil menikmati sebuah makanan yang bernama cuanki ini, kami berdua duduk lesehan di bawah pohon besar ini. Rasanya ketika duduk di bawah pohon seperti ini jadi membuatku teringat dengan Mitsuki.

“Terima kasih sudah mengajakku, ini menyenangkan.”

“Aku pikir Alan akan menolak ajakanku, hehe tidak terduga…” 

“Makanan yang bernama cuanki ini juga enak, aku baru pertama kali makan ini.” Timpalku.

“Benar kan…? Hehe aku tahu itu.”

Entah kenapa aku mulai berpikir jika semua yang terjadi hari ini terasa menyenangkan, aku mendapatkan banyak hal baru hari ini.

“Alan coba lihat kemari.”

Saat aku menatap ke arah Risa, aku melihat sebuah cahaya flash dari ponselnya. Sepertinya dia berusaha untuk memotretku lagi.

“Aduh flash nya kok nyala terus ya…?” ucap Risa keheranan.

“Berhenti memotretku…”

“Hehe kamu lucu, jadi rasanya aku ingin terus memotretmu.”

Kami berdua pulang dengan menaiki bis, menuju rumah masing-masing. Risa terlihat sangat senang saat turun dari bis.

“Makasih Alan, hari ini menyenangkan. Sampai jumpa besok!” 

Sesampainya di rumah aku langsung mengirimi foto-foto yang ku potret tadi pada Mitsuki. 

“Wah… Aku jadi ingin pergi kesana…”

Aku benar-benar suka ketika saling bertukar pesan dengannya, dan hanya membicarakan tentang kami berdua saja. Itu terasa menyenangkan, dan membuatku nyaman. Meskipun ini tidak pernah membuatku puas, setidaknya ini membuatku sedikit bahagia…

Related chapters

  • You Are My Moon   6|Rindu

    Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq

  • You Are My Moon   7|Sebuah Perasaan

    Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b

  • You Are My Moon   8|Merah

    Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena

  • You Are My Moon   9|Akhir Pekan

    Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak

  • You Are My Moon   10|Gemuruh Hujan

    Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d

  • You Are My Moon   11|Sebuah Hubungan

    PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be

  • You Are My Moon   12|Panggilan Terakhir

    “Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang

  • You Are My Moon   13| Membangun Kesempatan

    Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung

Latest chapter

  • You Are My Moon   14|Tak Terengkuh

    Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg

  • You Are My Moon   13| Membangun Kesempatan

    Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung

  • You Are My Moon   12|Panggilan Terakhir

    “Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang

  • You Are My Moon   11|Sebuah Hubungan

    PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be

  • You Are My Moon   10|Gemuruh Hujan

    Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d

  • You Are My Moon   9|Akhir Pekan

    Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak

  • You Are My Moon   8|Merah

    Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena

  • You Are My Moon   7|Sebuah Perasaan

    Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b

  • You Are My Moon   6|Rindu

    Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq

DMCA.com Protection Status