Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.
“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.
Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.
Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.
“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.
“Ayah sudah memikirkan namanya kok. Namanya… Naomi. Ayah harap anak ini kelak akan menjadi wanita yang cantik dan jujur, seperti ibu… Bagaimana? bagus bukan?”
“Duh, ayah bisa aja…” ucap ibu sedikit tersipu.
Aku sedikit mendekat ke arah bayi itu, dan memotretnya.
“Lihat Mitsuki! bayinya perempuan, dan namanya adalah Naomi.” Aku langsung mengabari Mitsuki soal ini, dan aku juga mengirimkan foto yang baru saja aku ambil tadi.
“Wah… dia terlihat cantik seperti ibumu Alan,” Balas Mitsuki lewat pesan.
Mempunyai seorang adik perempuan ya…? Kini penghuni di rumah menjadi bertambah satu orang, dan mulai menghiasi hari-hari keluargaku menjadi lebih berwarna.
Semakin Naomi tumbuh, dia semakin sering menggangguku. Di umur Naomi yang ketiga tahun ini dia selalu menerobos masuk menuju kamarku, padahal kamarku ada di lantai dua, dan itu cukup berbahaya. Terkadang dia selalu mencoba untuk membuka laci lemariku, aku saja tidak pernah membuka itu, aku hanya membukanya satu tahun sekali, dan terkadang rasanya itu sedikit menyedihkan.
Yaa… sejak saat itu tiga tahun telah berlalu. Sekarang aku baru mulai menduduki bangku SMA, dan aku satu sekolah lagi dengan Risa. Keseharianku mulai menjadi seperti biasa setelah bertemu lagi dengannya di sekolah ini. Aku jarang bertemu dengan Risa sejak kelulusannya di SMP. Sekarang aku sudah sedikit terbiasa dengan dirinya yang selalu menggodaku, meskipun aku kadang kesulitan saat dia bertindak terlalu jauh, dan diluar ekspetasiku. Kami berdua kadang saling tersipu satu sama lain saat dirinya bertindak terlalu jauh, seperti menatap terlalu dekat, atau… yang lainya. Ini sedikit aneh.
“Alan! aku nebeng lagi ya pulangnya,” ucap Risa yang sedang berjalan kegirangan di depanku. Rambut coklat sebahunya terlihat bergoyang ke kanan, dan ke kiri, kedua tangannya seolah tidak bisa berhenti bergerak ke depan, dan kebelakang. Sebuah helm yang di pegangnya pun seolah akan melayang dan mengenai wajah seseorang.
“Iya…”
“Kalau begitu ayo!” Risa berusaha untuk menarik tanganku.
“T- tunggu. Aku sedang membalas pesan dulu sebentar…”
Sambil menungguku selesai mengirim pesan, Risa terus menatap kesal padaku. Aku baru sadar jika sekarang Risa terlihat lebih kecil dan pendek dariku. Setelah selesai Risa menarik tanganku menuju ke tempat parkir. Aku melihat seorang teman dekat Risa, dari kejauhan dia terlihat mendekat ke arah kami.
“Tch, mesra-mesraan terus. Kenapa kalian gak nikah aja sekalian?” ucap teman Risa sambil mendengus, setelah mengatakan itu dia pergi meninggalkan lingkungan sekolah.
“Apasih Claraaa!” teriak Risa pada temannya itu.
Aku sudah memakai helm, dan bersiap untuk berangkat. Tapi, Risa malah berdiri diam sambil menatapiku.
“Sekarang kamu jadi tinggi ya…,” gumam Risa. Setelah itu dia memakai helm yang dibawanya, dan pergi pulang bersamaku dengan sepeda motor.
Pohon rindang berjejer di kedua sisi jalanan ini. Di sepanjang jalan murid-murid terlihat berhamburan menjauh dari lingkungan sekolah, sebagian dari mereka ada yang berjalan kaki, naik sepeda, dan juga mengendarai sepeda motor.
Begitu meninggalkan lingkungan sekolah aku disambut oleh pemandandangan beberapa gedung tinggi yang berkilau karena cahaya senja. Tangan Risa yang tadinya berpegangan pada seragamku menjadi perlahan-lahan merayap lebih jauh, dia berusaha memelukku? Padahal aku tidak mengebut. Karena merasa geli, dan sedikit malu aku meminta Risa untuk melepas tangannya. Tapi, dia malah menyenderkan kepalanya di punggungku, dan itu membuat sedikit terkejut.
“T- tunggu, kamu ngapain Risa!? hentikan itu,” keluhku.
“Aku hanya ingin memastikan apakah detak jantungmu masih ada atau tidak. Ternyata masih ada ya… hahaha…”
“Ya tentu saja masih ada, kan aku masih hidup.”
“Hehe kau benar. Tapi…… maaf, lupakan saja.”
Setelah itu Risa mundur, dan melepaskan tangannya yang melingkar di sekitar perutku. Dia menjadi terdiam, saat aku lihat dari spion dia sedang melamun, dan terlihat seperti memikirkan sesuatu.
Pada akhirnya aku dan Risa tidak saling membuka pembicaraan, sampai tak sadar aku sudah sampai di depan rumahnya.
Sambil perlahan turun, Risa melepaskan helmnya. Setelah merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan, dia tersenyum dan berterima kasih padaku.
“Terima kasih Alan, sampai besok.”
Tak lama setelah itu aku pun pergi dari depan rumahnya. Berusaha fokus berkendara tanpa memikirkan apapun sampai rumah. Tapi, aku tidak bisa. Setiap kali berkendara sendirian pikiranku selalu memikirkan sesuatu, hingga pada akhirnya terhubung pada Mitsuki. Rasanya aku menjadi terlalu sering memikirkan Mitsuki akhir-akhir ini, padahal hampir setiap harinya kami berdua bertukar pesan, dan kadang-kadang aku menelponnya. Semenjak pindahan aku tidak pernah melihat wajahnya lagi, mungkin Mitsuki juga seperti itu. Kami berdua tidak pernah saling mengirimkan foto pribadi, bahkan foto profil media sosial kami berdua hanyalah sebuah gambar kartun. Berbeda dengan Risa yang hampir setiap minggunya berganti foto.
Mitsuki belum membalas pesanku malam ini, dan terakhir kali dia mengirim pesan padaku itu saat tadi sore.
“Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan ya…” Itu adalah isi pesannya.
Perbedaan waktu di Indonesia dan Jepang itu cukup lama yaitu sekitar dua jam. Sekarang sudah pukul delapan malam, dan di Jepang mungkin sudah pukul sepuluh malam, itu sudah larut malam bagiku. Mitsuki pastinya sudah tidur di jam itu, tidak terbayangkan olehku jika Mitsuki akan bergadang.
Saat sedang berbaring di atas tempat tidur, aku mendengar sebuah notifikasi pesan masuk. Aku langsung memeriksa isi ponselku, dan ternyata itu pesan dari Mitsuki.
“Maaf Alan, aku sedang berada di rumah nenek, dan disini jaringannya sangat buruk. Lihat, disini sedang ada festival.”
Mitsuki mengirimkan sebuah foto padaku, aku penasaran foto apa yang dia kirimkan, dan saat aku coba untuk mengunduh sinyal di ponselku malah tiba-tiba menjadi buruk. Aku yang tadinya berbaring di tempat tidur langsung berdiri dan mengangkat ponselku ke atas setinggi mungkin. Akhirnya sinyal kembali normal, aku menarik kursi di meja komputerku, dan terduduk disana.
Begitu selesai mengunduh foto itu, aku tidak bisa berhenti melepaskan pandanganku dari ponsel selama beberapa menit. Saking terkejutnya mulutku juga menjadi sedikit ternganga, aku merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat ini.
Di foto itu aku melihat Mitsuki yang sedang menggunakan yukata hitam putih bercorak bunga. Rambutnya yang biasa terurai terlihat rapih diikat kebelakang, kedua tangannya mengenggam sebuah tas kecil berwarna merah. Dia tersenyum malu sambil menatap kamera, dan itu benar-benar… imut sekali…!!! Tanpa sadar aku menjadi tersenyum-senyum sendiri di kamar.
Aku benar-benar senang bisa melihatnya lagi, dia terlihat sehat, dan menawan. Meskipun aku hanya bisa melihatnya dari balik layar ponsel, tapi aku bisa merasakan sebuah kebahagiaan yang nyata. Saat sedang sibuk dengan kebahagiaanku sendiri, aku melihat Naomi yang sedang berdiri di dekat pintu, dia terkejut melihatku yang kegirangan, sepertinya dia sudah lama berdiri disana.
“Mamaaa! Kak Alan senyum-senyum sendiri…!” teriak Naomi sambil pergi berlari keluar kamar.
Setelah Naomi pergi aku langsung buru-buru mengunci pintu, dan membalas pesan Mitsuki dengan hati-hati. Jika secara tidak langsung sepertinya aku masih bisa memujinya.
Aku berulang kali mengetik dan menghapus kalimat pujianku, semuanya terkesan berlebihan, dan memalukan. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya aku mendapat sebuah kalimat yang pas.
“Kamu terlihat cocok Mitsuki, Yukata itu bagus untukmu.”
Hatiku sedikit berdebar setelah mengirimkan pesan itu. Saat bersiap untuk tidur suara notif dari ponselku berbunyi, dan ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki.
“Terima kasih Alan. Disini sudah larut, jadi… Selamat malam.”
“Ya, selamat malam,” balasku lewat pesan.
Malam itu aku kesulitan untuk tertidur, seperti seorang anak yang akan pergi liburan besok pagi, dan perasaan bahagia meluap-luap di dalam diriku. Aku benar-benar ingin melindunginya. Itu saja yang aku pikirkan, sambil terus menatapi langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Hingga akhirnya aku pun tertidur…
Esok harinya saat di sekolah aku tidak melihat Risa, biasanya aku mudah menjumpainya dimana pun, setiap kali berjalan di lorong kelas saja aku suka disapa olehnya, tapi hari ini aku masih belum melihatnya, saat mengintip ke kelasnya bersama Anton, aku masih tidak melihatnya. Aku dan Anton malah kena semprot oleh teman dekatnya yang bernama Clara, dia juga mengusir kami berdua.
“Apaan sih tuh cewek cebol! gak jelas,” ucap Anton kesal.
Sampai pada sore ini aku masih belum bertemu dengan Risa, apa dia tidak masuk ya? sudah aku coba untuk menelponnya, tapi tidak diangkat.
Sore ini aku masih tertahan sendirian di dalam kelas karena diminta guru untuk merangkum sebuah catatan, kenapa disaat seperti ini sekertaris kelas malah tidak masuk… Anton juga sudah pergi pulang lebih awal karena ada urusan. Karena merasa sepi dengan keheningan di dalam kelas, aku pun mengambil sebuah headset hitam dari dalam tasku, dan mulai memutar lantunan lagu-lagu Jepang tahun sembilan puluhan.
Begitu selesai menulis aku merasa nyaman dengan suasana kelas, dan lantunan lembut dari musik yang aku dengarkan. Aku memejamkan mataku, menghayati setiap lirik lagu yang aku dengarkan.
“Mitsuki…” Tanpa sadar aku mulai bergumam dan menyebut namanya.
Aku membuka mataku secara perlahan menatap ke arah jendela, dan merenung. Saat aku berbalik ke arah lain, aku melihat Risa yang sedang duduk menatapku sambil tersenyum. Aku sedikit terkejut, dia tiba-tiba saja ada di sampingku. Aku benar-benar tidak sadar ada orang yang masuk kedalam kelas.
“Risa…?! Sejak kapan kamu disini?” tanyaku.
“Hmmm… belum lama kok. Ngomong-ngomong Mitsuki itu nama orang? Dia siapa?” Risa terlihat penasaran.
“Bukan siapa-siapa. Oh iya seharian ini kamu kemana? Aku baru melihatmu.”
“Heee… Alan kangen ya sama aku? Uuuu sini peluk…” Risa melebarkan kedua tangannya padaku.
“Nyesel aku nanya.”
“Seharian ini aku ada di kantor, membantu bu Rani merapihkan barang-barang.”
Keheningan terjadi, aku mulai mengemasi alat tulisku yang ada di meja kedalam tas. Risa masih memperhatikanku, dan seolah ingin mengatakan sesuatu padaku.
“Besok libur ya… Aku boleh minta tolong gak? Anterin aku ke rumah temen buat anterin barang…” tanya Risa.
“Hmmm, besok ya… Ya boleh, jam berapa?.”
“Aku tunggu besok pagi jam sepuluh di rumahku ya…! Sampai besok!” Risa langsung pergi berlari keluar kelas setelah itu.
“E-eh tunggu!” Aku berusaha mengejarnya keluar, tapi dia sudah pergi sangat jauh…
Tunggu dulu… Tumben dia tidak meminta tumpangan padaku hari ini.
Dan aku pun pulang sendirian sore ini… Saat perjalanan pulang, aku mengendarai motor dengan keadaan sedikit mengantuk. Tapi, untungnya aku masih bisa bertahan sampai rumah tanpa terjadi apapun. Setelah melepas sepatu dan menaruhnya di rak, aku langsung berjalan lemas menuju kamar. Menelantarkan tasku di lantai, dan langsung berbaring di atas kasur, hingga akhirnya tertidur…
Saat nyenyak tertidur tertidur, aku terbangun karena ponselku terus berdering, sepertinya seseorang menelponku. Aku tidak melihat siapa yang menelponku, dan aku langsung menjawab telpon itu dalam keadaan masih mengantuk.
“Ya, hallo?” ucapku sedikit lemas.
“Alan?”
Dari balik telpon aku tahu jelas itu suara Mitsuki. Tumben sekali Mitsuki menelponku lebih dulu. Saat tahu Mitsuki yang menelpon, aku langsung mengganti bahasaku ke Jepang.
“Mitsuki? ada apa?” tanyaku.
“Aku hanya ingin menelponmu saja… a-apa aku mengganggumu?”
Aku langsung bangun dari tempat tidur, dan duduk di depan meja komputerku.
“Tidak-tidak. Tenang saja…”
“B-begitu ya… Syukurlah hehe.”
Selama beberapa saat suasana menjadi sedikit canggung, sampai-sampai kami saling bertabrakan saat hendak membuka topik. Setelah sedikit berdebat dan saling tunjuk siapa yang harus berbicara lebih dulu, akhirnya aku menang, dan meminta Mitsuki untuk berbicara lebih dulu.
“Sebentar lagi musim panas ya… rasanya aku…,” Mitsuki terdiam, seolah sedang menarik napas dalam-dalam, “aku ingin menikmati musim panas denganmu lagi… Alan.”
Musim panas ya… hari dimana kami berdua pertama kali bertemu, hari dimana kami berdua menghabiskan waktu berdua, berjalan-jalan tanpa tujuan, dan sesekali bergandengan tangan…
“Rindu… mungkin itu yang sedang aku rasakan. R-rasanya sedikit memalukan…” ucap Mitsuki.
“Mitsuki… aku juga merindukanmu. Aku juga ingin menghabiskan musim panas denganmu lagi, aku juga…”
“Alan, apa kamu keberatan jika kita berbicara sedikit lebih lama lagi…?”
“Aku tidak keberatan…”
“Terima kasih…”
Semalaman aku dan Mitsuki terjaga, dan membicarakan banyak hal menyenangkan. Seperti mengenang masa-masa saat aku masih di Jepang, atau saling memperkenalkan teman dekat kami masing-masing. Mitsuki mengatakan jika dia punya seorang teman dekat yang sedikit emosional, tapi dia sangat ramah…
Entah kenapa rasanya malam ini terasa lebih nyaman dibandingkan tidur nyenyak, berbincang semalaman bersamanya seperti mimpi saja… Atau mungkin ini memang mimpi?
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq