Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan.
Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi…
Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki.
“M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.”
“Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…”
“T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…”
Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, dan melihat senyumnya lewat video call. Tapi, jika seperti itu mungkin sedikit berlebihan… Lebih baik aku sabar menunggu waktu yang tepat saja untuk itu…
“Hmm? Kamu kenapa Alan? wajahmu merah loh. Bakso kamu kan gak pedes,” tanya Anton.
“Bukan apa-apa…”
“Gimana? udah video call nya?” Anton benar-benar terlihat penasaran, dan haus akan info.
“Gak jadi. Katanya cuma kepencet aja.”
“Kamu sih, ngangkatnya lama. Nyesel kan?”
Mungkin ini terdengar egois, jika aku tak ingin orang lain melihat kecantikan Mitsuki.
Saat malamnya aku kembali bertukar pesan dengan Mitsuki seperti biasanya, dan mulai melupakan topik soal video call.
Mitsuki mengirimkan sebuah foto padaku, di foto itu ada seorang perempuan yang terlihat familiar bagiku. Dia mengatakan jika itu teman bimbelnya. Di foto itu ada seorang perempuan berambut pendek, dan juga berkacamata. Rasanya aku seperti pernah bertemu dengannya, tapi dimana ya…?
“Bikin iri aja kamu Lan…,” ucap Anton yang sedang terbaring di kasur. Aku pikir dia sudah tidur.
“Kirain udah tidur.”
“Ya, sebenarnya aku juga udah ngantuk sih… Aku hanya penasaran, apa kamu itu beneran cuma temenan sama dia?” aku meletakkan ponselku, dan mulai mulai fokus mengobrol dengan Anton.
“Ya… aku berteman dengannya, aku dekat dengannya, dan sejujurnya aku menyukainya…”
“Kalau dia sudah mempunyai pacar, dan memilih orang lain bagaimana?”
“Mungkin… aku akan merebutnya kembali…”
“Haha, ya… itu terserah padamu. Sekarang aku mengerti kenapa kamu menolak Risa.”
Malam ini terasa sunyi, dan dingin. Aku juga sudah membalas pesan terakhir dari Mitsuki, pastinya dia juga sudah tidur. Melihat Anton yang tertidur nyenyak, aku pun akhirnya jadi ikut mengantuk.
Besok minggu aku berencana untuk pergi pulang saat sore. Jika berlama-lama disini juga pastinya tidak enak, aku takut akan merepotkan Anton.
Saat nyenyak tertidur, aku secara tak sengaja terbangun. Aku terbangun karena wajahku terpukul oleh sesuatu, dan saat aku lihat itu ternyata lengan Anton. Aku melihat posisi tidur Anton yang tidak karuan, kedua tangan, dan kakinya melebar kemana-mana.
Ternyata ini masih jam tiga pagi, dan aku tidak bisa kembali tidur. Karena udaranya sangat dingin, aku pun segera memakai jaket sweater milikku.
Kini aku paham kenapa kasur di kamarnya ini cukup luas. Ternyata ini bukan untuk orang lain, kasur besarnya ini hanya khusus untuk dirinya sendiri, dasar serakah. Aku berjalan keluar dari kamar Anton, dan berbaring di sofa ruang tengah.
Entah kenapa aku tiba-tiba kepikiran Mitsuki, dan jadi iseng mengirimi pesan padanya.
“Mitsuki, apa kamu masih tidur?”
Dan… ya pesanku tidak dibalas, itu wajar saja. Mitsuki juga pasti lelah, dan sedang beristirahat.
Beberapa menit berlalu, aku mulai mencoba untuk tidur kembali di atas sofa empuk yang hangat ini. Aku juga memutar musik untuk mengurangi suasana sunyi yang aku rasakan ini. Saat hampir saja terlelap tidur, aku malah kembali terbangun karena ingin pergi ke kamar mandi.
Aku melepas headsetku, dan kemudian berlari kecil menuju kamar mandi di rumah Anton. Karena rumahnya yang cukup luas, aku hampir lupa dimana letak kamar mandinya. Ternyata kamar mandinya berada di dekat kamar Anton. Pantas saja aku kesulitan untuk mencari kamar mandinya, pintu kamar mandinya sama dengan pintu kayu ruangan yang lain. Ini aneh.
Aku merasa lebih lega setelah keluar dari kamar mandi, dan juga jadi merasa lebih kedinginan.
Begitu kembali ke ruang tengah rumah ini, aku melihat ada sebuah pesan baru di ponselku. Saat aku periksa itu ternyata pesan dari Mitsuki, aku pikir dia masih tertidur.
“Ada apa Alan? maaf aku baru saja bangun.”
Setelah melihat balasan pesan dari Mitsuki, kesepian yang aku rasakan mulai perlahan menghilang.
“Tidak, hanya saja disini sedikit sepi, jadi aku ingin menghubungimu saja…”
“Begitu ya… apa Alan tidak tidur?”
“Aku baru saja terbangun tadi. Rasanya kita lebih sering berkomunikasi saat sunyi seperti ini ya…”
“Kalau diingat-ingat, benar juga ya…”
“Mitsuki, apa aku boleh menelponmu?” Gawat, aku benar-benar mengirim pesan yang satu ini. Sudah pasti dia akan menolaknya…
“Boleh.” Begitu membaca pesan singkat darinya ini perasaanku langsung terasa menjadi lebih baik.
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu ingin membicarakan apa dengannya pagi ini. Topik semalam yang seharusnya aku lupakan malah aku gali kembali, dan menyebabkan keheningan yang cukup lama.”
“Oh iya, Mitsuki. Soal video call tadi… apa kamu benar ingin melakukannya?”
Mitsuki tidak menjawab. Masih belum menjawab…
“… Mmm, sebenarnya a-aku ingin melihatmu Alan. Kamu belum pernah mengirim fotomu sama sekali bukan? Aku sudah pernah loh…”
“Ah iya, yang waktu itu… waktu itu aku benar-benar terkejut saat melihat foto mu Mitsuki. Kamu terlihat dewasa, dan juga i-imut…”
Aku mengatakan pujian itu dengan nada yang rendah, seolah sedang berbisik langsung pada telinga Mitsuki. Telingaku terasa panas, aku berusaha meredam rasa malu ini dengan mengenggam ponselku sekeras mungkin, seolah aku bisa menghancurkannya begitu saja. Selama beberapa saat Mitsuki tidak mengatakan apapun dari balik telepon.
“… Terima kasih.” Mitsuki mengatakan itu dengan nada yang rendah, sangat rendah, dan juga lembut. Bahkan mungkin lebih rendah dibandingkan dengan suara apapun. Baru kali ini aku mendengar suara Mitsuki yang seperti itu, dan sepertinya aku mulai menyukai hal baru yang aneh… Gawat telingaku semakin panas, dan terbakar.
“Setiap kali Alan mengirimkan sebuah foto tentang Bandung… aku jadi terkagum dengan pesona kotanya.”
“Ya… disini benar-benar menyenangkan. Tapi mungkin akan lebih menyenangkan kalau ada Mitsuki…” Ehhhh, apa yang baru saja aku ucapkan, memalukan, itu terdengar menjijikan….
“…… Maaf Alan kamu bilang apa tadi? aku tidak mendengarnya. Tadi temanku Aoi memanggilku.”
Syukurlah dia tidak mendengarnya… Aku secara tak sengaja malah mengatakan hal memalukan itu.
“M-maksudku… jika Mitsuki suka itu, aku bisa mengirimu lebih banyak foto lagi, dan kuliner disini juga enak-enak…! Maaf, bukan apa-apa…”
“Ji-jika Alan tidak keberatan… a-aku ingin melihatnya lebih banyak lagi…”
“Ya! baiklah! akan aku kirim lebih banyak foto lagi, mungkin fotoku juga. Bercanda deh, kalo fotoku kayaknya nggak usah haha….”
Tiba-tiba saja… aku teringat perkataan Anton semalam, bagaimana jika Mitsuki memang sudah mempunyai pacar, atau mungkin dia sedang menyukai seseorang. Hubungan kami berdua ini apa? Apa hanya aku yang merasa dekat dengannya?
Aku ingin menanyakannya, tapi…
“Alan. Waktu itu… aku tidak mendengarnya dengan jelas. Alasan kenapa Alan menolak perasaan temanmu itu…”
“…”
“M-maaf, aku ini bicara apa ya… hehe. Tiba-tiba membahas hal yang sudah berlalu.”
“Waktu itu… aku menolaknya karena aku menyukai orang lain, dan orang itu adalah kamu, Mitsuki…”
“…”
Telingaku sudah benar-benar terbakar kali ini, tanganku sudah tak sanggup untuk memegang ponsel sekeras mungkin, aku sedikit merasa lemas, dan juga benar-benar lega. Suara jantungku berdebar keras, rasanya seolah terdengar ke seluruh sudut ruangan ini. Aku berulang kali menarik napasku dalam-dalam, dan berusaha untuk menenangkan diriku sendiri.
Mitsuki masih terdiam setelah aku mengungkapkan perasaanku, dan saat tengah tegang menunggu balasan darinya. Aku tiba-tiba mendengar sebuah suara yang familiar bagiku, dan mungkin familiar juga bagi semua orang. Yaitu sebuah suara ketika seseorang menutup sambungan teleponnya… “tiittt…” aku mendengar itu dengan jelas sekali. Aku langsung mellihat ke arah ponselku, dan ternyata benar saja. Mitsuki menutup panggilannya…
Aku hanya kebingungan saja saat ini, dan bertanya-tanya kepada diri sendiri.
“Kenapa…? Kenapa Mitsuki menutup panggilannya.”
Tak lama kemudian aku berjalan kembali ke kamar Anton. Aku sedikit menggeser Anton yang terlentang seperti bintang di atas kasur, dan kemudian kembali tidur di sampingnya. Aku menarik selimut yang sama sekali tidak terpakai olehnya, dia malah meniduri selimut itu di bawahnya.
Aku sudah berbaring nyaman dibalut selimut. Tapi aku tidak bisa tidur, aku hanya bisa menikmati kehangatan dari selimut lembut bermotif bunga-bunga ini.
Aku terjaga sampai pagi dengan berbalutkan selimut, pikiranku tidak bisa lepas tentang kejadian jam tiga pagi itu. Begitu Anton bangun dari tidurnya, aku langsung ikut bangun, dan mulai merapihkan barang-barangku. Mungkin lain kali jika aku akan menginap dengan Anton, aku harus menyiapkan dua kasur dengan ukuran ekstra.
“Huuu, dingin euy, kamu mau pulang kapan Lan?” tanya Anton sambil memeluk dirinya sendiri.
“Nanti aja agak sorean.”
“Nginep sehari lagi aja lah… sepi nih.”
“Besok kan sekolah, gimana sih…”
“Oh iya…”
Hari sudah mulai sore, cuaca di luar terlihat mendung, dan benar-benar menutupi sinar matahari.
“Mau pulang sekarang Lan? Mendung gini… besok aja lah pulangnya…,” tanya Anton
“Iya juga sih, tapi gak apa-apa lah. Pulang sekarang aja.”
“Ya udah kalo gitu hati-hati ya, jangan kapok nginep disini…”
“Kalo gitu, aku balik dulu ya…”
“Yoo…”
Cuaca hari ini memang sedikit mendung, tapi itu tidak berarti akan hujan, aku berharap saja tidak akan hujan. Tidurku sedikit tidak nyenyak, dan menjadi sedikit mengantuk saat berkendara.
Tiba-tiba saja sesuatu menimpa helmku, dan menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Itu adalah tetesan air hujan. Hujan mulai turun perlahan-lahan, hingga akhirnya menjadi lebat, dan juga deras. Aku menjadi segar kembali saat diterpa oleh air hujan.
Rumahku sudah tak jauh lagi, jadi aku merasa tanggung jika ingin berhenti. Aku pun memutuskan untuk menerjang hujan ini sampai rumah. Aku hanya berlindung di balik helm, dan juga sweaterku.
Sesampainya di rumah aku di marahi oleh ibuku karena menerjang hujan yang cukup lebat, aku juga membuat lantai rumah menjadi becek karena tetesan air dari pakaianku yang basah. Dengan pakaian yang basah kuyup, aku langsung berlari menuju kamar mandi, dan mengganti pakaianku.
Padahal aku sudah buru-buru mengganti pakaianku, tapi tetap saja aku terkena flu. Aku berkali-kali bersin, dan itu benar-benar membuatku tak nyaman. Setelah minum obat aku pun mulai merasa baikan, tapi efek samping obat itu membuatku menjadi mengantuk, dan akhirnya tertidur.
Aku benar-benar nyenyak saat tertidur. Tapi saat terbangun di pagi hari, aku merasa pusing. Flu yang aku rasakan semalam sudah terasa mendingan, tapi badanku sedikit terasa panas, dan saat aku periksa suhu tubuhku, ternyata lebih dari 28 derajat.
Tok!
Tok!
“Alan! Ibu sama ayah pergi dulu ya, nanti kalo mau berangkat sekolah, pintu sama pagarnya jangan lupa dikunci.”
“Iya…”
Dengan kondisi yang seperti ini… mungkin aku tidak akan masuk sekolah dulu… Aku telepon Anton saja deh… mengambil ponsel yang ada di atas meja saja rasanya melelahkan.
“Ha… Hallo Anton? kok lama banget ngangkatnya? Hari ini aku gak enak badan, tolong sampein ke guru ya.”
“…”
“Dan bisa tolong sekalian beliin obat demam gak? Uangnya nanti aku ganti. Makasih.”
Aku tidak mendengar balasan dari Anton, yang aku dengar hanyalah suara ramai di sekolah.
“Eh? Alan sakit?” Beberapa saat sebelum aku menutup panggilan, aku mendengar suara dari balik telepon. Tapi, tunggu… kenapa suaranya perempuan, perasaan aku nelpon Anton deh…
Aku melirik ponselku, dan melihat siapa yang baru saja aku telepon.
“R-Risaaa…!? Maaf-maaf, aku tadinya mau nelpon Anton.”
Rasanya benar-benar memalukan. Aku langsung menutup panggilan setelah itu, lagi pula kenapa bisa salah sambung sih…
“Baiklah, nanti akan aku sampaikan ke Anton. Lekas sembuh Alan…”
“T-terima kasih…”
Terima kasih Risa… Tapi, entah kenapa perasaanku malah jadi sedikit gugup, dan gak tenang begini ya…
Nantikan kelanjutannya ya^^
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku.“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.“E-eh… baiklah…,” timpalku.Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku.“Namamu siapa?” tanya gadis itu.Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertany
“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang,
Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku
Malam ini aku dan keluargaku sudah sampai di kota Bandung, kota kelahiran ibuku. Saat di bandara kami dijemput oleh tante Nanda teman lama ibu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak pedagang yang berbaris di pinggir jalan, dan ibuku juga terlihat senang melihat pemandangan kota Bandung yang sepertinya sudah lama dia rindukan.“Alan baru pertama kali kesini ya? Eh, Alan bisa bahasa Indonesia gak ya?” Tanya tante Nanda.“I-iya tante saya baru pertama kali kesini, dan t-tenang aja saya bisa bahasa Indonesia kok…”“Hahaha, Alan ngomongnya masih kaku ya… tapi gak apa-apa, mungkin nanti juga akan terbiasa.”Saat kecil ibu mengajariku bahasa Indonesia, dan karena aku jarang menggunakannya saat di Jepang itu membuat pengucapanku dalam bahasa Indonesia masih kaku.Aku yang tadin
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq