Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.
Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.
Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku sedikit terkejut saat Mitsuki melihatku, dia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.
“Apa kamu sudah sembuh Mitsuki?” Mitsuki hanya mengangguk, “tapi lebih baik kamu pulang saja, dan beristirahat hingga sembuh sepenuhnya. Setelah itu…”
“Setelah itu…? Apa?” tanya Mitsuki.
“Setelah itu kita pergi bermain lagi seperti biasanya. Maaf sebenarnya hari ini aku tidak bisa pergi bermain dulu.”
“B-begitu ya… kalau begitu aku pulang saja ya… sampai jumpa lagi…”
Mitsuki mengatakan itu tanpa menatapku sama sekali, dia hanya menunduk dan tersenyum. Setelah itu Mitsuki berjalan pergi dari depan rumahku. Yang aku lakukan hanyalah melarikan diri, padahal saat Mitsuki sakit aku selalu menantikan kesembuhannya untuk bisa bertemu lagi dengannya, menyedihkan sekali aku ini… Aku benar-benar merasa bersalah padanya.
Tunggu Mitsuki… Payah, aku tidak bisa memanggilnya. Entah kenapa suaraku seolah tersangkut di tenggorokan…
“Mitsuki…! kalau besok sepertinya aku bisa!” Gawat, aku malah berteriak terlalu keras. Memalukan sekali…
Mitsuki hanya mengangguk sambil tersenyum padaku. Melihat itu benar-benar membuat hatiku tenang…
Besoknya, begitu selesai sarapan aku mendengar suara rintikan hujan dari balik jendela, dan saat aku periksa ternyata hujan turun cukup deras di pagi ini, hawa dinginnya membuatku ingin kembali ke tempat tidur. Kenapa masih pagi-pagi begini harus turun hujan…? Aku hanya bisa menunggu hujan ini reda dari balik jendela, sambil terus menatapi jam dinding berkali-kali, dan ternyata waktu biasanya aku pergi bersama Mitsuki sudah terlewat.
Menunggu dan terus menunggu. Saat siang hari tiba akhirnya hujan reda, begitu reda aku langsung pergi berlari menuju taman. Setelah hujan hawa dingin di luar rumah begitu terasa, jalanan yang masih basah, dan juga licin hampir membuatku terjatuh beberapa kali. Semakin aku berlari rasanya jantungku semakin berdebar…
Jarak taman semakin dekat. Aku mulai berlari semakin lambat, dan terus melambat… hingga akhirnya aku sampai di taman. Tempat biasanya aku bertemu dengan Mitsuki, tempat biasanya aku melihat dia terduduk sambil menatapi langit. Dengan nafas yang masih terengah-engah mataku berusaha mencari Mitsuki di setiap sudut taman, tapi aku tidak menemukannya. Taman ini sepi, tak ada siapapun disini.
Aku memutuskan untuk pulang setelah langit terlihat mendung kembali. Biasanya saat memikirkan Mitsuki itu membuatku sedikit tenang. Tapi, sekarang aku khawatir padanya. Aku bingung akan melakukan apa lagi, hingga akhirnya terlelap tidur.
“Alaaan! Bangun! Ini kamar kamu masih berantakan sama baju, ayo cepet beresin. Besok siang kita berangkat.”
Suara ibuku yang nyaring membuatku terbangun. Aku masih merasa lemas saat terbangun, dan merasa sedikit pusing.
“Ayo cepat turun, makan malamnya sudah siap. Oh iya tadi sore ada Mitsuki-chan kesini nyariin kamu, tapi kamunya tidur.”
Setelah itu ibu keluar dari kamarku. Aku terkejut saat mendengar itu, pikiranku mulai merasa tak karuan, aku menjadi semakin merasa bersalah pada Mitsuki. Setelah mengambil secarik kertas di meja aku berlari keluar kamar, dan menuruni tangga menuju ruang keluarga.
Ayo Alan! Sekarang atau tidak sama sekali. Aku memutuskan untuk menghubungi Mitsuki lewat telpon rumahnya. Satu per satu tombol nomor aku tekan dengan perlahan mengikuti nomor telpon rumah Mitsuki yang tertulis di secarik kertas ini. Jangtungku sedikit berdebar saat menunggu telponnya tersambung.
“Ya hallo… kediaman Akio disini.”
Sepertinya ibu Mitsuki yang menjawab telpon dariku.
“Selamat malam tante. Ini Alan, maaf apa Mitsuki nya ada?”
Ibu Mitsuki mengatakan jika dia akan memanggilkan Mitsuki sebentar, tapi dia meninggalkan telponnya cukup lama.
“H- hallo, Alan?”
Dari balik telpon aku mendengar suara Mitsuki menyapa. Itu benar-benar mendadak, dan membuatku terkejut.
“Mitsuki, maaf soal kemarin, dan juga sore tadi…”
“Aku tidak terlalu memikirkannya kok, tenang saja… Jadi ada apa Alan?”
“Mitsuki… Sebenarnya besok… aku akan pindah, dan itu cukup jauh dari sini. Maaf karena baru memberitahumu malam ini. Sebenarnya aku ingin membicarakan ini lebih awal, tapi… maaf Mitsuki, aku benar-benar minta maaf.”
Mitsuki tak menjawab selama beberapa saat, lalu dia bertanya padaku akan pindah kemana. Saat aku mengatakan tempat aku akan pindah Mitsuki tak mempercayainya, dan sepertinya Mitsuki menjadi sangat marah padaku.
“Indonesia? Bukannya itu jauh banget Alan… itu di luar negeri bukan…?”
“Maaf Mitsuki.”
“Alan bilang… Alan bilang jika kita akan selalu bermain… Alan aku ingin bersamamu lebih lama lagi, aku ingin…”
Dari balik telpon aku bisa mendengar suara Mitsuki menjatuhkan telponnya, kemudian menangis. Suara tangisannya semakin mengecil, dan menjadi tidak terdengar dari telpon.
Tadinya aku berniat untuk langsung menutup telponnya, tapi ibu Mitsuki bertanya padaku penyebab Mitsuki menangis. Aku memberitahu ibu Mitsuki jika aku akan pindahan besok siang.
“Begitu ya… sayang sekali, padahal kalian cukup dekat kan? Pantas saja Mitsuki menangis, dan langsung mengurung diri di kamarnya. Kalau begitu tante permisi dulu ya, soal besok nanti tante coba beritahu Mitsuki…”
Aku pikir setelah memberitahu Mitsuki soal pindahan akan membuat perasaanku menjadi lega, tapi ternyata ini malah membuatku semakin memikirkan Mitsuki. Aku semakin merasa tidak karuan, aku benar-benar membenci diriku sendiri. Sebuah senyuman yang harusnya aku lindungi, tapi malah aku rusak dengan air mata. Aku ini benar-benar sangat menyedihkan…
“Kamu habis nelpon Mitsuki-chan? Ayo cepat makan dulu.”
Ibu memanggilku, tapi aku masih diam berdiri sambil memegangi gagang telpon, setelah cukup lama melamun pada akhirnya aku merasa lapar, dan berjalan menuju meja makan. Ibu menegurku karena makan dengan terburu-buru. Selesai makan aku langsung menuju kamar, dan menutup pintu.
Melihat beberapa pakaianku yang masih berantakan di kamar, aku memutuskan untuk merapihkannya, dan memasukannya kedalam tas. Di meja aku secara tak sengaja melihat kalung yang kubeli beberapa waktu lalu, aku berniat memberikan kalung ini untuk ulang tahun Mitsuki. Tapi, jika aku tidak akan bertemu lagi dengan Mitsuki bagaimana aku memberikannya ini ya…
Aku berhenti berpikir, dan langsung memakaikan kalung itu di leherku. Aku langsung tidur setelah merapihkan pakaianku ke dalam tas.
Hari ini 5 Maret. Sekarang adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga hari keberangkatanku. Mengingat dua hal itu membuatku tak ingin terbangun dari tempat tidur. Tapi, ibuku membangunkanku berulang kali hingga akhirnya aku keluar dari kamar, dan pergi bersiap.
Rumah ini mulai terlihat kosong, hampir semua perabotan sudah tidak ada, foto-foto pernikahan ayah dan ibu yang tertempel di dinding juga sudah tidak ada, sepertinya sebagian furniture di rumah ini sudah dijual. Keluargaku di antar oleh rekan kerja ayah menuju bandara dengan sebuah mobil berwarna biru tua.
Perjalanan ini memang cukup memakan waktu karena jarak rumahku menuju bandara cukup jauh, tapi terkadang waktu tidak begitu terasa hingga akhirnya aku sampai di bandara. Di bandara aku melihat banyak orang terlihat kesal, begitu juga dengan ayahku. Apa yang aku lewatkan…? Saat aku bertanya pada ayah ternyata pesawat mengalami penundaan penerbangan karena cuaca buruk di jalur penerbangan. Sejujurnya aku sedikit lega mendengar itu, aku jadi bisa lebih lama berada disini.
Ternyata penundaannya lebih lama dari dugaanku, sekitar 20 menit sudah berlalu, tapi masih belum ada perkembangan informasi. Karena merasa mengantuk aku pergi menuju toilet untuk membasuh wajah.
Airnya cukup dingin saat menyentuh wajahku, dan itu langsung membuatku segar kembali. Setelah berkaca sebentar, dan merapihkan rambut aku langsung keluar dari toilet. Saat baru saja berjalan keluar dari toilet seseorang menabrakku dengan cukup keras dari belakang, dan membuatku terjatuh.
“Aduh! Apa kamu baik-baik saja?”
Aku langsung bangun, dan memastikan keadaan orang yang menabrakku tadi. Tadi itu cukup sakit, sepertinya dia sedang berlari terburu-buru.
“Ah maaf… maaf. Aku sedang terburu-buru,” ucapnya sambil berusaha untuk berdiri bangun dari lantai.
Karena dia terlihat kesulitan untuk berdiri aku pun membantunya. Begitu aku melihat wajahnya… ternyata itu adalah Mitsuki.
“M-Mitsuki…!? kenapa kamu ada disini?” mata Mitsuki terlihat berkaca-kaca, “t- tunggu, jangan menangis Mitsuki… Maaf, aku benar-benar minta maaf tentang ini…”
“Jangan pergi… Alan. Jangan pergi…”
“Meskipun kamu bilang begitu juga… itu tetap gak bisa Mitsuki. Oh iya Mitsuki, ini…,” aku melepas kalung di leherku, dan memakaikannya di leher Mitsuki, “selamat ulang tahun. Jangan menangis lagi ya Mitsuki…” Aku mengusap air matanya itu sambil tersenyum.
“Terima kasih… Apa menurutmu kita akan bertemu lagi Alan…?” tanya Mitsuki.
“Aku tidak tahu kapan, tapi kita pasti akan bertemu lagi. Maaf, aku harus pergi Mitsuki…”
“Ya, sampai jumpa lagi Alan.” Mitsuki tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca, dan itu sebuah senyuman yang belum pernah aku lihat sebelumnya, senyumannya terlihat berbeda dari biasanya, dan entah kenapa rasanya sedikit menyakitkan jika melihatnya menangis seperti ini. Aku tidak ingin melihatnya menangis lagi…
Aku pikir Mitsuki datang sendirian kemari, tapi rasanya itu memang tidak mungkin. Aku melihat ibu Mitsuki dari kejauhan, dia melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Ya ampun… bikin khawatir saja.
Saat berjalan pergi meninggalkan Mitsuki tanpa aku sadari mataku juga mulai berkaca-kaca, dan mulai meneteskan air mata. Aku langsung mengusap mataku secepat mungkin agar bersih dari air mata sebelum memasuki pesawat.
“Kamu lama sekali, ngomong-ngomong kalungmu kemana Alan?” tanya ayahku.
“Sepertinya terjatuh, tapi biarlah…,” timpalku.
Dari dalam pesawat aku masih berusaha mengusap mataku yang masih sedikit berkaca-kaca.
“Mata kamu kenapa Alan?” tanya ibu
Aku langsung memalingkan pandanganku ketika ibu menatap mataku.
“H-hanya kemasukan debu saja… bukan apa-apa.”
Ini akan menjadi sesuatu yang berat bagiku. Aku sudah cukup lama mengenal Mitsuki, rasanya aku benar-benar ingin kabur saja saat bertemu dengannya di bandara tadi. Sebagai anak penurut aku hanya bisa ikut dengan kedua orang tuaku saja ya...
Aku lemah terhadap air mata seorang gadis, itu membuatku lemah. Aku tidak tahan melihatnya. Mungkin lain kali, tidak. Lain kali aku tidak akan membuatnya menangis lagi, terutama penyebabnya adalah diriku sendiri.
Perjalanan Tokyo menuju Bandung pun dimulai. Ini akan menjadi perjalanan yang benar-benar membosankan, setahuku perjalanan ini akan menghabiskan waktu 8 jam lebih, tidak ada hal menarik lain selain tidur yang bisa aku pikirkan. Aku terus berusaha tidur sambil mengingat-ingat senyuman Mitsuki, hanya itu yang selalu membuatku senang, dan bersemangat.
Baiklah, kira-kira apa yang akan aku temui di Indonesia nanti ya...?
Aku tidak sabar untuk mengabari Mitsuki saat sampai disana nanti. Sepertinya satu atau dua jam saja tidak akan cukup untuk menceritakan apa yang aku temui disana nanti pada Mitsuki...
Malam ini aku dan keluargaku sudah sampai di kota Bandung, kota kelahiran ibuku. Saat di bandara kami dijemput oleh tante Nanda teman lama ibu dengan mobil tuanya yang berwarna hitam. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak pedagang yang berbaris di pinggir jalan, dan ibuku juga terlihat senang melihat pemandangan kota Bandung yang sepertinya sudah lama dia rindukan.“Alan baru pertama kali kesini ya? Eh, Alan bisa bahasa Indonesia gak ya?” Tanya tante Nanda.“I-iya tante saya baru pertama kali kesini, dan t-tenang aja saya bisa bahasa Indonesia kok…”“Hahaha, Alan ngomongnya masih kaku ya… tapi gak apa-apa, mungkin nanti juga akan terbiasa.”Saat kecil ibu mengajariku bahasa Indonesia, dan karena aku jarang menggunakannya saat di Jepang itu membuat pengucapanku dalam bahasa Indonesia masih kaku.Aku yang tadin
Karena terlalu sering menelpon keluar negeri, tagihan telepon rumahku jadi membengkak. Rasanya aku juga sedikit merasa bersalah soal itu. Aku mulai mengurangi waktuku untuk berbicara dengan Mitsuki. Tapi, aku bersyukur itu tidak bertahan lama. Ayahku memberiku solusi lain agar aku bisa terus berkomunikasi dengannya, yaitu dengan membelikanku sebuah ponsel.Tentunya aku langsung mengabari Mitsuki soal ini. Beberapa waktu yang lalu Mitsuki pernah bercerita jika dia dibelikan sebuah ponsel oleh ibunya, jadi aku pikir ini akan menjadi berita bagus. Aku dan Mitsuki mulai saling berbagi nomor telepon dan alamat email masing-masing. Hampir semalaman aku memainkan ponsel, padahal yang aku lakukan hanya membuka tutup isi pesan yang pernah Mitsuki kirimkan.Esok harinya, saat di kelas aku dimintai nomor telepon oleh Anton, dan juga teman-temanku yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih dekat dengan yang lainnya, satu persatu dari mereka mulai mengirimi
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq