Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.
“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.
“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”
Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.
Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak lama Anton langsung mengangkat telponnya.
“Hallo, Anton? sorry tadi aku masih ada shift. Ada apa?” tanyaku.
“Besok masih ada kerja gak?”
“Besok sabtu ya… nggak ada.”
“Bisa nemenin aku besok gak? Sampe orang tuaku pulang nanti. Besok orang tuaku mau ke luar kota, katanya sih hari minggu juga pulang.”
“Baiklah-baiklah…”
“Pokoknya dateng aja ya, kamu belum tahu rumahku kan? Nanti aku share alamatnya. Kalau begitu sampai besok…” Anton pun menutup telponnya setelah itu, dan tak lama setelah itu dia langsung mengirim alamat rumahnya padaku.
Setelah berpamitan kepada karyawan yang lainnya aku pun pergi pulang.
Sesampainya di depan rumah, aku melihat ibu yang berdiri di depan teras. Dia menyilangkan kedua tangannya, dan mulai menatapku saat sadar aku sudah pulang. Aku jadi ragu-ragu untuk masuk ke rumah. Ibu tersenyum ramah padaku, meskipun begitu aku ragu ini semua akan baik-baik saja.
“Aku pulang… n-ngapain ibu disini, di luar dingin tau…” ibu semakin mempertajam senyumannya.
“Kamu pasti capek, ayo masuk. Kalo mau mandi cepet ya, selagi kosong…”
Aku langsung jalan cepat memasuki pintu rumah untuk kabur. Setelah mandi, dan makan, aku mulai merapihkan pakaianku untuk pergi menginap besok di rumah Anton. Aku mengambil sebuah tas selempang yang ada di dalam lemari pakaianku.
Aku tadinya hanya ingin mengambil dua buah pakaian santai untuk besok, tapi secara tak sengaja aku malah membuat semua isi lemariku keluar, dan berserakan di lantai.
Saat sedang sibuk merapihkan pakaian yang berserakan, aku mendengar suara ketukan pintu dari luar pintu kamar.
Tok…
Tok…
“Alan? udah tidur?”
“Belum. Ada apa bu?”
Pintu perlahan terbuka, dan aku melihat ibu perlahan masuk ke kamarku.
“Kamu bekerja paruh waktu ya…?”
Pada akhirnya akan ketahuan juga ya… ya disembunyikan pun tidak akan bertahan lama.
“Y-ya… hanya, tunggu darimana ibu tahu?”
“Tentu saja tahu. Kamu selalu pulang telat akhir-akhir ini bukan? Kenapa kamu bekerja? Apa uang jajanmu kurang?”
“Tidak, aku hanya ingin punya tabungan sendiri saja…”
“Kamu… mau pergi ke Jepang ya?”
Aku langsung terdiam saat ibu mengatakan itu.
“Entah berapa besar upah kamu disana, tapi tiket pesawat itu mahal… kamu beneran ingin pergi kesana?”
Pergi ke Jepang ya… mungkin itu ide yang bagus. Itu bisa jadi kesempatanku untuk pergi menemui Mitsuki…
“Mungkin lain kali, sudah bu. Aku mau tidur…”
“Jangan lupa belajar ya… ibu gak ngelarang kamu kok. Lain kali jangan disembunyiin lagi ya…”
Setelah itu ibu pun pergi keluar dari kamarku. Aku menutup pintu, dan menyalakan komputer di kamar. Komputer ini bekas ayahku, dia bilang sudah tidak memerlukannya lagi karena lebih sering menggunakan lapto. Aku beruntung sekali jika dia memberikannya padaku.
Aku mencari tau di internet tentang harga tiket pesawat, dan hasilnya benar-benar membuatku terkejut. Ini benar-benar mahal, terlalu berlebihan untuk seorang pelajar jika mengeluarkan uang sebanyak ini. Tapi, meskipun begitu… niatku untuk pergi menemui Mitsuki di Tokyo masih belum gugur. Mungkin perlahan, tapi pasti.
Jika saat ini aku tidak bisa menemuinya di Tokyo, mungkin nanti. Aku tidak tahu kapan, tapi aku yakin hari itu akan benar-benar datang. Hari dimana aku… aku akan melihatnya tersenyum lagi secara langsung.
Setelah semua pakaian selesai aku merapihkan pakian-pakaian yang berantakan, aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas kasur. Aku melihat ada pesan dari Mitsuki, dan karena shift bekerja tadi aku belum sempat membalasnya.
Dan sekarang Mitsuki tahu jika aku bekerja paruh waktu. Karena sekarang aku bekerja paruh waktu, akhir-akhir ini aku hanya saling bertukar pesan saja dengan Mitsuki. Aku juga tidak ingin menelponnya jika sudah terlalu malam, karena perbedaan waktu yang cukup jauh itu membuatku berhati-hati saat berkomunikasi dengannya.
-
-
-
Esok harinya aku bersiap pergi menuju rumah Anton, untungnya aku tidak bangun kesiangan, dan terhindar dari tamparan Naomi yang menyebalkan.
Setelah bersiap-siap, dan meminta izin pada ibuku untuk menginap di rumah teman, aku pun berangkat menuju rumah Anton pagi ini. Sebelum berangkat aku memeriksa ulang alamat rumah Anton lewat peta. Rumahnya ternyata cukup jauh juga, sekitar delapan kilometer dari sini. Di tengah perjalanan aku sengaja mengunjungi minimarket terlebih dahulu untuk membeli beberapa cemilan untuknya.
Setelah cukup lama berkendara, akhirnya aku menemukan ciri-ciri rumah yang Anton katakan. Aku sampai di depan rumah yang… ya ini rumah yang cukup besar. Aku bisa melihat Anton menungguku di depan teras rumahnya. Aku menyapanya dengan membunyikan klakson, Anton yang menyadari itu langsung menghampiriku, dan membuka gerbang rumahnya.
Rumah besar yang di dominasi oleh warna kuning, dan juga oren. Di dekat pagar rumahnya juga banyak tumbuhan yang tertanam, meskipun sebagian besarnya sudah mati, dan mengering… Aku merasa prihatin pada tanaman tersebut.
“Maaf ya, ngerepotin. Ayo masuk.”
Tanpa basa-basi Anton langsung mengambil kresek cemilan yang aku bawa, dan meninggalkanku masuk.
“Oi, tunggu lah…”
Anton membuka pintu rumahnya, dan begitu aku masuk banyak foto-foto keluarga yang di tempel di dinding. Bahkan aku bisa menebak foto mana saat Anton masih kecil. Yang berjanggut putih itu… sepertinya kakek Anton, dia terlihat berwibawa sekali.
“Kamu mau minum apa Alan?” teriak Anton yang entah sedang berada dimana.
“Apa aja…”
Begitu masuk aku malah asik mengamati foto-foto keluarga Anton. Tak lama kemudian Anton muncul sambil membawa dua buah gelas besar yang berisi air minum, dari luar sepertinya itu jus jeruk.
“Ayo sini, kamarku di depan sana.” Mata Anton menunjuk ke sudut Lorong rumah itu, Anton berjalan perlahan sembari berhati-hati membawa dua gelas minuman.
Aku pun mengikutinya berjalan dari belakang, sambil masih terus melihat-lihat seisi rumahnya.
“Lan bukain dong pintunya. Aku susah nih…”
“Ribet banget sih…,” aku membuka sebuah pintu berwarna coklat gelap yang penuh dengan sticker.
“Ini airnya, abisin ya,” setelah pintu terbuka Anton pun masuk, dan meletakkan kedua gelas yang dibawanya.
Kamarnya bersih, aku pikir akan berantakan… Kasurnya terlihat rapih, buku-bukunya juga. Disini tidak sesak, dan jendelanya terbuka. Kasurnya ternyata cukup besar juga, ini mungkin akan muat untuk tidur dua orang, atau mungkin tiga orang.
Karena merasa haus aku pun mengambil gelas itu, dan meminumnya. Saat baru saja menyentuh bibir, dan lidah, aku langsung meletakan gelas itu kembali di atas meja. Rasanya asam sekali, Anton bikin apaan sih…”
“Asem banget, apaan nih?” tanyaku.
“Jus jeruk, campur lemon. Bagus ini, banyak vitamin C nya…”
Anton meneguk itu sampai habis, dan mendesah panjang. Aku yang merasa tak enak pun ikut menghabiskan minuman itu, wajahku tak tahan menahan rasa asam yang begitu tajam.
“Main game yuk, aku punya game konsol. Biasanya aku main sama kakak perempuanku sih, tapi dia sekarang dia sibuk.” Anton mengambil dua buah controller game, dan menunjukkan sebuah playstasion tiga padaku.
“Aku baru tahu kalau kamu punya kakak perempuan.”
“Kalau Alan? anak tunggal?”
“Aku punya adik perempuan, dia masih kecil, dan menyebalkan.”
“Haha, kakakku juga terkadang menyebalkan. Ini teh mau main gak sih?”
“Iya-iya, ayo.”
Setelah itu kami berdua pun bermain game cukup lama, Anton selalu kalah olehku, dan terus beralasan jika controllernya rusak. Meskipun sudah ditukar tetap saja kalah, dasar…
Hingga akhirnya Anton berhenti bermain setelah mendengar suara pukulan mangkok di luar rumah. Seolah dikejar anjing, dia bergegas berlari keluar rumah. Aku yang penasaran pun menyusulnya keluar.
Dan di luar ada seorang pedagang bakso yang kebetulan lewat.
“Mang! Tunggu mang!” teriak Anton sambil terus berlari menuju gerbang.
Pedagang bakso yang sadar ada yang memanggilnya pun langsung berhenti, dan tersenyum ramah. Pria tua pedagang bakso itu terlihat sudah ber uban, tapi saat aku lihat lebih dekat, meskipun sedikit pendek, badannya itu cukup kekar.
“Alan kamu mau gak?” tanya Anton.
“Ah, iya mau. Pak saya gak pake pedes ya, di bening aja.”
“Kalau saya saus kecap, dan kasih sambel ya pak.”
Pria tua itu pun mengangguk, dan mulai membuat pesanannya. Tak lama kemudian pesanan kami berdua pun selesai, setelah membayar kami berdua pun kembali masuk ke dalam.
“Aku ambil mangkuk dulu ya.”
Setelah Anton mengambil mangkuk, aku pun menuangkan plastik berisi bakso itu. Saat baru saja ingin melahap bakso, ponselku berbunyi karena ada sebuah pesan, dan ternyata itu ada pesan dari Mitsuki. Karena ada sebuah notifikasi layar ponselku juga menjadi menyala, dan menarik perhatian Anton.
“Wah, siapa tuh? Cantik banget. Artis Korea ya? gak nyangka, aku baru tau kalo kamu suka begituan Lan…”
“Apaan sih, dia ini… dia ini, cuma temenku yang dari Jepang.”
“Apakah betul hanya sebatas teman? Aku tidak yakin soal itu…” wajah Anton menjadi terlihat serius.
Aku berusaha untuk tak mempedulikan Anton, dan mulai mengetik untuk membalas pesan Mitsuki. Saat sedang fokus mengetik pesan, tiba-tiba saja ponselku menjadi sedikit lag, dan kemudian bergetar. Aku terkejut, dan sepertinya itu tergambar jelas di wajahku.
“Kamu kenapa Lan?” tanya Anton, dia mendekat ke arahku, dan kemudian melirik ke arah ponselku, “waduh, ayo angkat Lan, gak bakal aku ganggu kok…”
Ponselku menjadi bergetar karena Mitsuki menelponku, tapi… baru kali ini dia melakukan panggilan video padaku, dan bahkan ini baru pertama kalinya kami berdua akan melakukan panggilan video…
Bertatapan dengan Mitsuki?! Aku ragu-ragu untuk mengangkat panggilan video ini. Sedangkan Anton terlihat greget padaku.
Ini benar-benar terlalu mendadak… Apa aku angkat saja kali ya…?
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku.“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.“E-eh… baiklah…,” timpalku.Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku.“Namamu siapa?” tanya gadis itu.Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertany
“Sejak dulu aku penasaran, namamu itu siapa?”Sore hari ini, aku mencoba untuk menanyakan namanya kembali. Sudah beberapa bulan berlalu sejak aku mulai bermain bersamanya, tapi aku masih belum mengetahui namanya sama sekali. Ini salahku juga tidak pernah mencoba untuk menanyakannya kembali, aku hanya tidak ingin memaksanya saja waktu itu, tapi tanpa aku sadari ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat.“Eee… memangnya selama ini Alan gak tahu namaku ya…?” tanyanya dengan wajah kebingungan“Tidak, waktu pertama kali kita bertemu aku pernah menanyaimu sekali, tapi kamu hanya tersenyum saja,” timpalku.“Eh benarkah? M-maaf sepertinya aku tidak mendengarnya…,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, dan kemudian mengeluarkannya secara perlahan, “namaku Mitsuki Akio. Kamu boleh memanggilku Mitsuki… hehe.”Mendengar itu tentunya aku merasa sangat senang,
Kini aku tahu alasan keluargaku akan pindah menuju Indonesia. Ayahku menjelaskan jika dia diminta atasannya untuk mengisi kursi kosong perusahaan di cabang yang lain, dan ayahku juga tidak bisa menolaknya. Sebenarnya aku tidak ingin pergi, tapi mau bagaimana lagi. Sebagai anak yang penurut tentunya aku tidak bisa menolaknya, aku hanya bisa menuruti itu… Apa alasanku menolak pindahan ini? Hanya karena seorang gadis? Itu jelas tidak mungkin.Lusa nanti adalah hari ulang tahun Mitsuki, dan juga keberangkatanku ke Indonesia. Tapi, aku masih belum memberitahu Mitsuki tentang ini. Mitsuki juga masih sakit, aku jadi sulit untuk bertemu lagi dengannya. Meskipun ibu Mitsuki memberiku nomor telpon rumahnya kemarin, aku masih belum berani untuk memberitahu Mitsuki.Tapi sepertinya takdir memaksaku untuk berbicara dengan Mitsuki. Siang ini saat membuka pintu keluar, aku melihat Mitsuki yang sedang berdiri di depan pagar rumahku. Aku
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq