Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.
Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.
Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.
Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.
“Alan, besok jangan lupa ya…” ucap Risa lewat pesan, dan beberapa pesan lainnya hanyalah sticker-sticker lucu.
Ya Tuhan. Aku lupa tentang Risa siang nanti…
Setelah aku membalas pesan Risa dengan mengiyakannya, aku meletakkan ponselku, dan mengambil sebuah kabel charger di dalam laci. Aku salah ingat, dan hampir membuka sebuah laci yang berada di kiri. Di laci kiri itu ada beberapa foto albumku waktu kecil, dan juga barang-barang rahasiaku. Aku menarik kembali tanganku dan langsung membuka laci yang bagian kanan.
Tadinya aku berniat untuk tidur setelah membiarkan ponselku mengisi daya, tapi aku mulai merasa lapar, saking laparnya aku menjadi malas untuk tidur. Aku berjalan ke arah pintu, membukanya secara pelan-pelan, dan berjalan jinjit menuruni tangga menuju dapur. Setiap langkahku rasanya seperti akan membangunkan keluargaku yang sedang tidur, padahal ini rumah orang tuaku sendiri, tapi rasanya aku seperti menjadi seorang pencuri saja.
Saat di dapur aku melamun, dan berpikir akan makan apa… dan saat merenung aku melihat secarik kertas di atas meja.
“Alan, kamu belum makan ya? di kulkas ada sisa kari semalam, kamu angetin aja ya…” Jelas sekali ini dari ibu, aku merasa terharu dan hampir menangis… Saat aku membuka kulkas, disana aku melihat sebuah piring yang dibalut dengan plastik, dan di balik plastik itu aku melihat kari yang ibu katakan.
Aku mengambil piring itu, dan mulai menghangatkannya kedalam microwave. Sambil menunggu waktu menghangatkannya selesai, aku terduduk di meja makan sendirian, menatapa ke segala sudut ruangan dalam rumah yang sedikit gelap. Beberapa lampu biasanya akan ayah matikan jika sudah waktu tidur, dan aku pertama kalinya melihat keadaan yang seperti ini. Suasananya cukup horror, dan juga dingin. Aku baru sadar jika aku masih memakai seragam, dan saat aku coba cium ternyata bau keringatnya masih sedikit kuat.
Setelah selesai dihangatkan, aku pun menyantap kari itu dengan ditemani nasi yang baru saja aku hangatkan juga. Sesuai dugaanku, karinya tidak pedas, ibu memang yang terbaik. Ibu tau jika aku benci pedas, dan aku lebih suka makan-makanan asin. Memakan makanan pedas itu rasanya seperti menyiksa lidah dan perut sendiri. Aku pikir penikmat pedas itu hanya orang-orang masokis… maaf aku hanya bercanda, semua orang punya selera sendiri bukan?
Setelah selesai makan rasanya aku menjadi sedikit kegerahan, padahal aku tidak memakan kari pedas. Aku langsung mencuci piring dan gelas yang baru saja aku pakai, kemudian meletakannya di dekat wastafel. Begitu memasuki kamar aku langsung membuka bajuku, dan buru-buru mengambil baju tanpa lenganku di dalam lemari, kemudian memakainya. Aku langsung berbaring di atas kasur setelah itu, hingga akhirnya tertidur.
Aku merasa tidurku cukup nyenyak, bahkan saat hendak tidur pun aku malah mengingat apa yang Mitsuki katakan semalam. “Apa kamu keberatan jika kita berbicara lebih lama lagi?” katanya… Aku ingin melihat ekspresinya saat dia mengatakan hal itu!!!
Bibirku tak pernah bisa berhenti tersenyum saat memikirkannya…
-
-
-
Saat tengah nyenyak tertidur, aku menjadi sedikit terbangun karena mendengar suara langkah kaki yang sedang berlari masuk ke dalam kamar. Aku tidak mempedulikan suara langkah kaki itu, dan mencoba fokus untuk kembali tidur. Tak lama suara langkah kaki itu mulai berhenti dan menghilang. Perasaanku mulai terasa tenang, dan mulai merasa nyaman kembali untuk tidur.Tapi, ternyata perasaan tenang yang aku rasakan saat ini hanyalah sementara…
Plak!!!Suara tamparan terdengar begitu keras. Sebuah telapak tangan yang kecil menamparku tepat di bagian wajah. Aku langsung bangun dari tempat tidur, dan membanting tatapanku ke arah samping.Dari arah pintu aku melihat Naomi yang baru saja berlari keluar dari kamar, aku tahu dia yang menamparku tadi, dan aku pun berusaha bangun untuk mengejar yang adik yang iseng itu.
“Waaaaargghhh…! Kesini kamu Naomiii…!”
Aku membanting gulingku dengan sedikit kesal, lalu mengaum seperti hewan buas untuk menakuti adikku, dan ya tentunya ini hanya bercanda saja…
“Pfftt… haha, kamu kenapa Alan?”
Saat aku bersiap untuk berlari mengejar Naomi, aku mendengar suara orang tertawa dari dekat. Aku terkejut, pandanganku langsung berusaha mencari tahu siapa yang baru saja tertawa. Seketika aku menjadi sedikit panik, dan malu saat sadar ada Risa yang sedang duduk di dekat tempat tidurku. Aku malu dengan apa yang baru saja aku lakukan tadi, ya Tuhan…
“Risa?! sejak kapan kamu disini?!” ucapku.
“Sejak tadi, muka Alan waktu tidur lucu juga ya… haha,” senyum ramah Risa mulai pudar dari wajahnya, sekarang menjadi terlihat menyeramkan, dia juga memelototiku, “ngomong-ngomong ini itu… udah jam berapa ya…?” ucap Risa.
Aku mulai mengingat sesuatu, dan perlahan melirik ke arah jam dinding. Disana menunjukkan hampir pukul sebelas siang, ini sudah hampir tengah hari. Aku tidak sadar jika aku sudah tertidur selama itu.
“Maaf Risa, semalam aku ada urusan penting.”
“Lebih penting dari aku?” saat Risa mencoba menggodaku lagi, aku langsung berjalan keluar kamar, dan mencari ibuku, “eh, t-tunggu Alan, main kabur aja kamu mah.”
Aku sedikit kesal karena ada Risa di kamarku, padahal kan ibu bisa menyuruhnya menunggu di luar kamar, kemudian membangunkanku. Setelah menemukan ibu yang sedang menonton tv di ruang keluarga, aku langsung berbisik padanya dan mengutarakan pendapat yang aku pikirkan tadi. Tapi, ibu malah menertawakanku.
“Ibu udah coba bangunin kamu tadi, tapi gak bangun-bangun. Akhirnya ibu kasih Risa masuk aja, dan minta bangunin kamu sekalian… Kamu takut ketahuan selingkuh sama Mitsuki ya?” bisik ibu padaku.
“N-ngomong apa sih bu… aku sama Mitsuki belum pacaran.”
“Belum? Berarti bakal pacaran dong?
Aku dan ibu malah saling berbisik di depan Risa, Risa hanya tersenyum-senyum padaku dan juga ibu.
“Makasih ya udah bangunin Alan,” ibu menatapku, “kamu mau nganter Risa kan? ayo cepetan, kasihan dia udah lama nunggu.”
Setelah itu aku pun pergi mandi, dan bersiap untuk pergi mengantar Risa ke rumah temannya. Kemarin dia mengatakan jika rumah temannya itu cukup jauh, dia juga ragu untuk pergi sendirian, dan pada akhirnya dia memintaku untuk menemaninya. Ya aku juga tidak keberatan juga sih…
Risa terlihat rapih, dan baru kali ini aku melihatnya memakai pakaian kasual secara langsung. Meskipun begitu aku hanya menggunakan sweater hitam polos, dan juga celana pendek untuk bepergian mengantarnya. Setelah berpamitan pada ibuku kami berdua pun berangkat.
Waktu seolah berjalan lambat, aku fokus menyetir, dan Risa fokus pada renungannya sendiri. Hingga akhirnya niat untuk memecah suasana ini muncul dalam diriku.
“Kamu mau nganterin barang apa?” tanyaku membuka pembicaraan.
Setelah bertanya aku melirik ke arah spion sekilas, dan dari spion aku melihat Risa mulai tersenyum, seolah baru saja bangun dari lamunannya.
“Kamu penasaran?” tanya Risa.
“Nggak juga, tapi kalau kamu gak bisa ngasih tau ya gak apa-apa/
“Kalau begitu aku gak mau ngasih tau. Ngomong-ngomong pakaian kamu santai banget ya…”
“Ya, aku merasa lebih nyaman dengan ini.”
“Hmmm. Padahal ini bisa jadi kencan pertama kita…”
“Eh…?”
Dia ngomong apa sih… Aku mengintip ekspresi Risa dari balik spion, dan dia sepertinya merasa sangat puas saat aku terkejut. Itu terlihat jelas dari ekspresinya yang senyum-senyum. Ini bukan kencan kan…? Aku hanya akan mengantarnya, dan kemudian langsung pulang… baiklah. Jangan memikirkan hal yang aneh Alan…
Sepanjang perjalanan Risa menuntun arah jalanku, dan mengatakan setiap patokan yang menuju rumah temannya. Sekitar lima belas menitan lebih aku sudah berkendara, dia terus mengatakan sebentar lagi, tapi nyatanya masih belum. Aku sampai bosan mendengar Risa mengatakan kalimat itu.
Saat sedang fokus berkendara Risa menepuk-nepuk pundakku dengan keras.
“Eh kelewatan Alan! balik lagi, balik lagi, itu rumahnya yang di samping toko buku.”
“Aduh! Iya iya, sebentar.”
Aku pun berbalik arah, dan menuju tempat yang Risa tunjuk. Aku baru tahu ada sebuah toko buku disini, ya… lagipula aku juga baru pertama kali ke sekitar sini…
Teman Risa tak kunjung keluar meskipun bel rumahnya sudah Risa bunyikan beberapa kali, Risa juga sesekali mengucap permisi dari luar. Karena merasa akan lama aku pun memutuskan untuk menunggunya di depan toko buku itu.
“Risa, aku tunggu di depan sana ya,” ucapku.
“Oh iya, maaf ya kayaknya bakal lama.”
Setelah itu aku pun pergi ke arah toko buku itu. Aku duduk di atas jok motor sambil mendengarkan playlist musik favoritku dari balik headset. Saat aku melirik ke arah kaca toko buku itu, aku mulai tertarik untuk masuk dan melihat-lihat. Rasanya sedikit tidak asing ketika aku memasuki toko buku ini, dan toko buku ini ternyata lebih terlihat luas saat aku masuk kedalam.
Tadinya aku berniat untuk melihat-lihat lebih dalam lagi, tapi Risa menysulku kedalam toko.
“Alan, Alan! Dilepas dong headsetnya,” Risa mendekat ke arahku, dan melepas headset yang menempel di telingaku dengan perlahan, “yuk, aku udah selesai.”
“Ah maaf-maaf. Langsung pulang?” tanyaku.
“Eh, kamu mau ngajakin aku kemana? Kok aku takut ya…”
“Maksudku, kamu ada urusan lain selain ini gak? Kalau ada sekalian saja aku anter lagi.”
“Oohh… Alan baik banget ya… kalau begitu ayo, aku ada urusan lain nih.” Risa menarik tanganku keluar, terlihat jelas dari belakang telinganya merah. Dia terus menarik tanganku hingga keluar, tanpa menatapku sama sekali.
“Eh, t-tunggu…”
Risa menarikku tanganku keluar toko, dan dia benar-benar terlihat bersemangat.
“Memangnya urusan apa lagi?” tanyaku.
“Pulangnya kita lewat rute lain aja ya? sekalian kita cari makan siang.”
“Hmm… Ya udah yuk.”
Risa semakin bersemangat setelah mendengar jawabanku. Sudah lama rasanya aku tidak pergi berdua dengan Risa seperti ini, kalau tidak salah saat pertama kali aku pergi dengannya itu ketika aku pertama kali masuk SMP. Dia memperlihatkan banyak hal baru bagiku, dan itu benar-benar menyenangkan. Sampai tak sadar aku mulai menyukai kota ini.
Setelah itu kami berdua pun pulang melewati rute yang berbeda untuk pulang, dan sepertinya ini jalan memutar yang lebih jauh. Atau Cuma perasaanku saja ya…?
-
--Tadinya setelah makan aku berniat untuk langsung pulang saja.“Eh, mau langsung pulang?” tanya Risa.
“Iya.”
“Kita kesana dulu yuk! Motornya tinggal disini aja.”
Tak jauh dari seberang jalan aku melihat sebuah taman bermain yang cukup besar. Disana juga ada beberapa orang yang mengantri masuk. Karena terlalu lama menatap ke arah taman bermain itu, seorang perempuan dengan seragam hitam disana menghampiri ke arah kami berdua.
“Wah pasangan yang serasi sekali… si aa nya ganteng banget kayak orang Korea, teteh nya juga cantik banget ih… Yuk coba masuk ke taman bermain kami! Kami ada diskon tiga puluh persen untuk pembukaan di hari pertama loh…” ucap perempuan itu sambil memberikan sebuah brosur pada Risa.
“T-tunggu, kami gak pac…,“ perempuan itu langsung pergi sebelum aku selesai menjelaskan, “kami gak pacaran, dan saya bukan orang Korea.”
“Hehe, pacaran. Lucu banget ya Alan.”
Risa tersenyum jahil padaku, dia terlihat puas sekali dengan apa yang terjadi.
“Kenapa kita gak coba masuk aja? Yuk!”
“Eh… nggak ah, ngantri tuh. Pasti lama.”
Saat aku melirik ke arah taman bermain itu, antriannya sudah mulai berkurang drastis.
“Mana? Yuk! Yuk! Yuk!”
Risa semakin bersemangat saat melihat antriannya benar-benar cepat berkurang. Aku tidak pernah bisa menolaknya, aku selalu kalah, dan mengalah padanya. Hingga akhirnya aku pun pergi ke taman bermain itu bersamanya.
Awalnya aku merasa bosan dengan yang ada disini, tapi Risa membuat segala yang ada disini menjadi semakin menarik dan menyenangkan. Tawa nya yang ceria terngiang-ngiang di dalam pikiranku. Aku mulai menikmati ini, hampir semua wahana kami coba, hingga tanpa sadar hari mulai sore. Lampu-lampu di sekitar taman bermain ini mulai menyala satu persatu, membuat kagum kami berdua, dan juga para pengunjung yang lainnya.
Sebagian dari mereka mengambil ponsel masing-masing dan kemudian memotret pemandangan sore di taman bermain ini. Begitu juga dengan Risa, dia memotret kesana kemari, dia juga memotretku yang sedang fokus melihat-lihat sekitar.
“Permisi bu, boleh minta tolong fotoin gak?” ucap Risa. Dia menghampiri seorang ibu-ibu yang sedang melihat-lihat.
“Boleh neng, sini.”
“Alan foto yuk! ”
Risa mendekat ke arahku, aku terkejut dan bingung saat mendengar aba-aba dari ibu itu. Karena bingung akan bergaya seperti apa, aku pun hanya tersenyum ke arah kamera. Aku merasa senyumku ini sangat canggung dan kurang. Tapi, Risa terlihat puas dengan hasil fotonya, dan dia juga memperlihatkannya padaku.
Saat melihat hasil fotonya aku pun berpikir jika hari ini… tidak terlalu buruk.
“Terima kasih banyak ya bu!” ucap Risa.
“Yuk pulang.”
“Eh bentar, sebelum pulang kita naik itu yuk!”
Risa menunjuk ke arah sebuah bianglala yang begitu tinggi, dan juga besar. Bianglala itu terlihat indah dengan banyak hiasan lampu yang berkelip-kelip. Aku menerima ajakannya itu karena merasa penasaran, seperti apa rasanya ketika di atas sana.
Setelah membeli tiket, dan mengantri beberapa menit kami berdua pun masuk ke dalam kabin bianglala. Kami berdua duduk saling berhadapan, saling tatap satu sama lain. Aku merasa sedikit canggung dengan suasana ini, tapi entah dengan Risa. Dia terlihat senang, dan santai-santai saja menikmati pemandangan yang perlahan-lahan semakin naik.
Risa berhenti menatap ke arah jendela, dan mulai menatap padaku.
“Kamu kenapa Risa?” tanyaku.
“Alan…”
Beberapa saat sebelum Risa selesai bicara, bianglala ini mendadak berhenti, dan sepertinya kami berhenti tepat di bagian paling atas. Hal itu membuatku sedikit kaget, tapi Risa tak bergeming sedikit pun, dia masih fokus menatapku, dan dia seperti berusaha untuk mengatakan sesuatu padaku.
“Waktu itu… aku benar-benar berterima kasih padamu. Ketika dompetku yang berisi uang kas kelas terjatuh, dan kamu yang melihat itu langsung memanggilku untuk mengembalikannya.”
“Oh… ya waktu itu.”
“Saat itu aku berpikir, jika dirimu itu orang yang baik. Kamu selalu baik pada semua orang, ketika bis penuh pun kamu suka berbagi kursi pada lansia, dan mungkin lebih banyak lagi kebaikan lain yang tidak aku ketahui.”
“Kamu melebih-lebihkan Risa.”
“Maaf…”
Aku sedikit bingung kenapa dia meminta maaf.
“Alan… sebenarnya aku suka sama kamu. Sejak dulu aku menyukaimu…”
“Risa… Terima kasih. Aku senang bisa mengenalmu, tapi aku tak bisa membalas perasaanmu. Sebenarnya aku punya seseorang yang disuka. Dia adalah temanku saat masih di Jepang, dan sampai sekarang aku masih menyukainya… Aku harap kita masih tetap berteman.”
Risa tersenyum padaku. Bianglala mulai berputar kembali. Aku harap ini tidak akan merusak pertemanan kami berdua. Risa menarik napas panjang, dan kemudian bertanya.
“Begitu ya… Alan punya seseorang yang disuka…”
“Maaf.”
“Tidak perlu minta maaf, ini bukan salah Alan jika tidak punya perasaan yang sama denganku. Aku baik-baik saja, terima kasih sudah jujur soal itu.”
Memang itu yang dikatakannya, dia mengatakan baik-baik saja. Tapi, tak lama setelah itu matanya berkaca-kaca. Dengan buru-buru Risa mengusap air matanya yang perlahan-lahan mengalir membasahi pipinya. Melihatnya seperti itu aku langsung berbagi tisu milikku padanya. Setelah keluar dari Bianglala kami berdua pun berjalan keluar dari taman bermain, dan langsung pergi pulang. Langit sudah mulai gelap, cahaya senja perlahan menghilang, jalanan mulai bercahaya oleh lampu jalan, dan kendaraan.
Dua kali melihat seseorang menangis seperti ini itu rasanya sangat tidak menyenangkan…
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku.“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.“E-eh… baiklah…,” timpalku.Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku.“Namamu siapa?” tanya gadis itu.Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertany
Selama ini aku bukannya tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, aku hanya tak pernah membuat kesempatan itu terjadi. Tersadar akan hal itu benar-benar membuatku menyesal. Aku tidak akan melepaskannya lagi, aku tidak ingin membuatnya menangis lagi, aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Sebuah senyuman hangat di musim panas itu… aku ingin melihatnya lagi. “Aku harap di musim panas ini aku bisa bertemu dengannya lagi. Setelah sekian lama…” Aku berencana pergi ke Jepang 2 hari setelah pulang ke rumah. Aku juga sudah menyiapkan banyak hal. Semua barang yang aku perlukan sudah dikemas ke dalam tas yang berwarna hitam ini, sebuah tas yang tidak terlalu besar, dan juga tidak terlalu kecil. Lagipula aku tidak pergi untuk liburan, jadi tidak terlalu banyak barang yang aku bawa, aku juga tidak ingin terlalu membebani diriku sendiri ketika di perjalanan nanti. Saat baru saja selesai berganti pakaian, aku mendengar ibu mengetuk pintu, dan kemudian memangg
Suara rintikan hujan mulai terdengar dari luar, dan hujan lebat pun mulai turun. Aku baru teringat ingin mengemasi barang-barangku malam ini. Tapi, sepertinya aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku merasa tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Aku kembali membuka sebuah pesan penyemangat yang pernah Mitsuki kirimkan, dan ketika membacanya itu membuatku seperti orang bodoh saja. Aku masih berpikir jika semua ini hanyalah sebuah kebohongan belaka. Dirinya yang masih aku cintai pun menghilang, ingin rasanya aku memohon padanya untuk lebih memilih diriku saja dibandingkan dirinya. Meskipun aku terpisah jauh, dan tak dapat bertemu dengannya. Perasaanku tidak akan pernah berubah dari tempat ini. Karena merasa kelelahan aku memutuskan untuk pergi tidur. Lagi-lagi… setiap kali aku memejamkan mata dirinya selalu saja muncul di dalam benakku ini, ini mulai terasa berat. Rasanya aku ingin menangis meraung
“Alan! sini! kita foto bareng sama temen satu jurusan,” teman-teman yang lain menarik lenganku, dan membawaku ke arah kerumunan. Semua orang terlihat penuh senyum, dan juga kebahagiaan. Bahkan ada beberapa dari mereka yang menangis haru. Tapi, aku tidak terlalu bisa menikmati suasana ini. Suasana wisuda di universitas ini. Hanya separuh kebahagiaan yang aku rasakan ketika lulus di jurusan manajemen kuliner ini. Aku hanya bisa sesekali tersenyum, dan kemudian terdiam kembali, setiap kali mengingat Mitsuki. Mungkin sudah enam Tahun lebih aku berpacaran dengan Mitsuki. Dalam waktu enam Tahun itu kami berdua menjalani hubungan jarak jauh, sambil terus berusaha untuk saling mempercayai satu sama lain. Tapi, Hari ini untuk pertama kalinya Mitsuki hilang tanpa kabar. Terakhir kali dia mengirimiku pesan itu satu bulan yang lalu, yang bertuliskan sebuah kalimat penyemangat, “mari kita berjuang bersama! Semang
PoV Risa (Sudut pandang Risa). Beberapa hari yang lalu aku mengungkapkan perasaanku pada seseorang yang sudah lama aku sukai… dan aku di tolak olehnya. Semenjak di tolak olehnya aku berusaha untuk bersikap seperti biasanya, meskipun sulit. Tapi, Alan terlihat biasa-biasa saja, seolah tidak ada yang terjadi. Dia benar-benar hebat, dan mungkin karena itu juga aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar tidak bisa untuk jadi seperti dulu lagi. Ketika mengetahui jika dia menyukai seseorang yang lain… Aku mencoba untuk menghargai perasaannya pada gadis yang disukainya itu. Melihat siapa gadis yang disukai olehnya… aku benar-benar lega. Dia terlihat cantik, manis, dia juga terlihat polos, dan baik. Mendengar Alan bercerita tentangnya pun aku semakin yakin jika gadis itu lebih baik untuknya. Hari ini tiba-tiba saja Alan menelponku, padahal setiap kali aku coba telpon dia selalu sedang be
Setelah cukup lama berpikir sambil terus menatapi layar ponsel. Pada akhirnya aku pun memutuskan untuk menjawab panggilan video dari Mitsuki itu. Aku menutup mataku, dan menekan ikon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Saat aku lihat, di dalam ponsel itu… tidak ada apa-apa. Panggilannya hilang, apa Mitsuki membatalkannya? Secara bersamaan aku merasa lega, dan sekaligus menyesal tidak segera menjawab panggilan tadi… Tak lama setelah itu ada sebuah pesan masuk dari Mitsuki. “M-maaf Alan… itu aku gak sengaja kepencet… m-maaf.” “Oh haha, begitu ya. Bikin kaget saja Mitsuki, tiba-tiba video call seperti itu…” “T-tapi, mungkin lain kali aku ingin melakukannya…” Tunggu… apa ini serius…? Sejujurnya aku ingin mengatakan padanya jika aku ingin melakukan itu sekarang juga. Sekarang juga aku ingin menelponnya balik, menyapanya melalui video call, d
Sebentar lagi shift kerjaku akan berakhir. Café masih terlihat cukup ramai, meskipun kebanyakan dari mereka jarang menghabiskan makanan ataupun minuman yang dipesannya. Aku baru beberapa hari bekerja disini, aku sedikit-sedikit sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya, dan aku juga sudah mulai terbiasa dengan para karyawan yang lain. Mereka ramah, dan juga baik padaku.“Alan, shift kamu udah abis kan? Udah sini biar aku aja yang lap mejanya,” ucap kak Asri yang baru saja datang untuk menggantikan shiftku.“E-eh. Terima kasih kak, kalau begitu saya permisi.”Aku langsung menyerahkan lap meja itu pada kak Asri, dan berjalan menuju ruangan ganti. Aku bersyukur jika karyawan disini itu ramah-ramah, dan kebanyakan dari mereka lebih tua dariku. Sebelum mengganti pakaian, aku memeriksa ponselku terlebih dulu. Aku melihat riwayat panggilan tak terjawab dari Anton.Aku langsung menelponnya balik karena takut jika ini hal penting. Tak
Dua hari berlalu berlalu sejak Risa mengungkapkan perasaannya padaku. Seolah tak terjadi apa pun Risa kembali bersikap seperti biasa padaku saat di sekolah, dia menyapaku seperti biasanya. Semua ini memang terlihat seperti biasanya, tapi aku merasa berbeda. Sepertinya memang tidak akan benar-benar kembali seperti biasanya… Sore ini jam pelajaran berakhir, aku dan Risa seperti biasa jalan menuju tempat parkir untuk pergi pulang bersama. Tanpa ada angin ataupun hujan, beberapa teman Risa terlihat menghampiriku dari kejauhan, dan aku mempunyai perasaan buruk tentang itu. Clara terlihat terburu-buru menghampiriku dengan wajah yang kesal, beberapa temannya yang lain berusaha menahannya, tapi tak berhasil. “Buka helmnya!” teriak Clara. Suaranya yang cempreng itu terdengar di segala sudut tempat parkir, dan menarik perhatian murid-murid lain. Aku bingung, dan membuka kaca helmku. “Kenapa?” tanyaku. Risa terlihat menahan Clara, dan berusaha untuk menena
Akibat mengobrol semalaman dengan Mitsuki, aku menjadi terjaga sampai pagi. Saat ini aku tidak merasa mengantuk ataupun kelelahan, ya itu sedikit aneh… mungkin karena aku sudah tertidur saat pulang sekolah tadi.Beberapa saat yang lalu Mitsuki memutuskan teleponnya, dan pamit untuk beristirahat. Padahal pembicaraan kami sudah selesai, tapi jantungku masih sedikit berdebar, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya sekuat tenaga.Aku menyenderkan tubuhku ke bagian belakang kursi, menatap ke arah jam dinding yang menempel di sudut ruangan, disana menunjukkan pukul dua pagi. Aku kembali membuka ponselku, dan melihat sebuah notifikasi pesan menggantung. Disana tertulis 6 jam yang lalu, rasanya aku sedikit bersalah karena tidak menyadari ada pesan masuk, sepertinya ini masuk saat aku masih tertidur sore kemarin.Saat aku coba periksa ternyata itu pesan dari Risa, ada beberapa pesan darinya.“Alan, b
Suara tangisan bayi terdengar dari balik ruang bersalin, tak lama setelah itu seorang suster keluar dari ruangan.“Selamat pak, bayinya lahir dengan selamat, dan jenis kelaminnya perempuan,” ucap suster tersebut.Ya selama ibu dan adikku sehat-sehat saja, aku tidak masalah meskipun dia perempuan.Setelah itu ayah dan aku dipersilahkan untuk masuk. Begitu masuk, aku melihat ibu yang masih terbaring lemas di atas tempat tidur sambil tersenyum, disamping ibu ada seorang bayi dengan kulit yang sedikit kemerahan, permukaan kulitnya terlihat begitu halus dan juga bersih. Ayahku langsung menggendong bayi yang terbungkus selimut itu, dia terlihat senang, dan bersemangat sambil sesekali menunjukkan wajah lucu pada bayi itu. Sepertinya ayah sudah bersiap untuk memberikan nama.“Namanya siapa yah?” Aku menatap pada ayah yang sedari tadi tersenyum-senyum sendiri.&ldq