"Aku tahu jika kau tidak bahagia." Yang Pohan mendekat lagi ke arah Salwa, masih mencoba menaklukkan wanita yang menurutnya terlalu jual mahal itu. "Aku bisa membahagiakanmu, memberimu uang sampai kau bingung untuk menghabiskannya. Jadi, tinggalkan dia!"Apa yang dikatakan Yang Pohan benar adanya. Salwa memang tidak bahagia. Setelah menikah, setiap hari adalah penderitaan baginya. Perkataan Sean yang selalu menyebut dirinya hanya sebuah properti yang tak memiliki hak, wanita dari kasta rendah yang tak boleh berharap lebih membuatnya selalu menahan rasa sakit di hati. Apalagi setelah kejadian kecelakaan itu terjadi, mendengar kenyataan bahwa Sean tidak pernah keneratan berbagi wanita kepada laki-laki lain cukup membuat Salwa tak bisa menolerir sikap suaminya itu. Sean benar-benar menganggapnya sebagai sebuah barang. Barang tak berharga yang bisa dipinjamkan kepada orang lain yang menginginkan. Akan tetapi, kenangan saat itu di mana ketika mereka bersama, Sean sempat menyatakan perasaa
Sebuah lapangan tembak menjadi tujuan utama Yang Pohan kali ini. Tempat yang biasa digunakan untuk latihan para pengawalnya telah berada di depan mata. Salwa menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat betapa luas dan indahnya tempat itu. Rumput hijau terbentang luas bak permadani sejauh mata memandang, tumbuh subur dan rapi meski bukan bunga bermekaran yang ditampilkan.Yang Pohan menepuk bahu Salwa, sedikit meremasnya, membuat perempuan itu menoleh kepadanya. "Kita bisa memulainya sekarang."Pria yang mengenakan hoodie abu-abu itu tampak menawan. Kulit putihnya diterpa sinar matahari, membuatnya sedikit kemerahan, tetapi tak bisa melunturkan wajah tampannya itu. Lengannya menuntun Salwa menuju ke lokasi, di mana pelatihan sebagai sniper pemula akan dimulai.Salwa hanya menurut ketika lelaki itu memasangkan perlengkapan latihan. Sebuah earphone, kacamata, dan jaket khusus telah dipasangkan oleh Yang Pohan. Sebuah senapan laras panjang yang lumayan berat diambil dari gudang senjata. Pengaw
Ruangan itu mendadak terang benderang setelah benda bulat kecil itu menggelinding dan berhenti tepat di kaki Sean Arthur. Sean menggertakkan giginya, merasa terperdaya oleh Yang Pohan. Laki-laki itu benar-benar licik."Selamat datang di istanaku, Tuan Sean Arthur. Senang sekali aku bisa menyambutmu. Kau terlalu tiba-tiba datang, sehingga aku belum sempat membuat jamuan untuk menyambut kedatangamu."Sean mengembuskan napas kasar. Pria di depannya itu adalah pria yang pandai bersilat lidah. Dia mampu menjungkirbalikkan fakta yang ada hanya dengan mulutnya. Mulutnya penuh bisa yang mampu menghancurkan orang hanya dengan ucapannya. Parasnya yang rupawan dan seperti pria lemah lembut, justru digunakan untuk menamengi kebusukannya.Seperti sebuah filosofi alam. Semakin indah suatu makhluk maka semakin berbahayalah dia. Apa yang dipandang baik dengan kasat mata ternyata tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka bisa menjadi sesuatu yang paling menakutkan dan paling jahat di luar ekspektas
"Tu-an ...." Tangan Salwa terulur perlahan, menyentuh rahang yang ditumbuhi rambut-rambut kecil, mengusapnya hati-hati.Sean menangkap tangan itu, tak membiarkan tangan itu terjatuh, membawanya pada bibirnya untuk dikecup beberapa kali. Rasa menyesal semakin mendera dirinya setelah menatap memar di pipi Salwa akibat tamparannya. "Kenapa harus seperti ini?"Berniat membawa Salwa pergi dari tempat itu, Sean membenarkan pakaian Salwa terlebih dulu, mengancingkannya piyama yang sempat ia lepaskan secara paksa. Perempuan yang sudah menguasai hatinya tanpa ia sadari sekarang sedang menahan sakit dengan darah yang tak kunjung berhenti. Mencoba tetap tenang meski rasa panik itu kian menjadi-jadi, takut jika Salwa tak bisa bertahan membuat Sean mempercepat langkahnya ketika menggendong tubuh Salwa. Para anak buah sudah bersiap diri, membantu atasannya untuk keluar dari rumah besar Yang Pohan.***"Cepat! Tabrak saja mereka semua!"Sean membentak anak buahnya yang sedang menyetir mobil, mengen
Ruangan itu terlihat porak-poranda, berserakan barang-barang yang sudah tercecer dan terpecah belah. Semua orang hanya bisa menunduk, tak berani sedikit pun melihat apa yang terjadi di depan mata."Bagaimana Sean Arthur bisa lolos? Ke mana kalian saat itu?"Hening. Hanya suara Yang Pohan saja yang terdengar karena semua orang tampak menunduk tak berani menjawab. Salah satu di antara mereka ditemukan tewas terbunuh dengan dada tertusuk pisau. Dari rekaman kamera pengawas, Sean membawa Salwa dalam gendongannya. Perempuan itu tampak sedang terluka jika dilihat dari banyaknya darah yang tercecer di lantai.Apa yang sebenarnya terjadi?Apakah Sean telah tega melukai Salwa?Yang Pohan semakin kesal memikirkan itu semua. Dia tidak terima jika Salwa harus kembali ke tangan Sean. Apalagi perempuan itu sedang dalam kondisi terluka.Ia merasa dipermalukan jika sampai kehilangan Salwa. Salwa berada dalam wilayah kekuasannya, rumahnya sendiri. Akan tetapi, Sean Arthur tetap bisa membawanya paksa.
Waktu terasa berhenti di satu angka. Pukul delapan malam dan langit pias di antara bumbungan hasil apa saja yang telah berkobar terbakar. Asap kendaraan bermotor bergelung bersamaan dengan debu-debu jalanan yang membuat napas sesak bagi siapa saja yang tengah berada di sana. Sean memandang keluar dari jendela kaca di mana menampilkan pemandangan malam kota Kowloon. Salwa masih tertidur, dengan napas turun naik teratur. Perasanan bersalah Sean semakin menjadi-jadi melihat bagaimana kondisi psikis Salwa yang menyedihkan.Perempuan pertama yang mampu membuat hatinya gelisah, cemas, dan tidak bisa tidur, malah takut kepadanya. Tatapan Salwa yang begitu mengenaskan ketika memandangnya membuat hati Sean meringis pilu. Salwa takut kepadanya. Salwa membencinya.Banyak hal yang menjadi misteri, dan sampai saat ini masih belum bisa ia mengerti, yaitu bagaimana arti keberadaan perempuan itu di hatinya.Apakah yang Alan katakan benar adanya, jika dirinya bergantung pada Salwa?Mana mungkin dirin
Salwa hanya diam, tak sanggup menjawab pertanyaan Sean Arthur. Terlalu lelah menjalani kehidupannya, perempuan yang selalu menahan diri dari segala hinaan seorang Sean Arthur kini tenggelam dalam kesedihannya. Mungkin luka-luka yang ditorehkan Abust di tubuhnya sudah tak kentara dan tak sakit lagi, tetapi trauma yang ia alami masih terus-menerus berlanjut hingga sekarang. Dia tak sanggup untuk melupakan kejadian itu barang sedetik pun. Layaknya sebuah mimpi buruk dan berubah menjadi momok menakutkan yang selalu menghantui kehidupan Salwa."Sial!" Sean mengumpat. Dia ikut terpedaya dengan semua perkataan kedua adiknya. Keyakinan bahwa mereka tidak mungkin menyakiti Salwa membutakan dirinya akan hal yang terjadi sebenarnya.Pandangannya masih tak beralih sedikit pun pada sosok rapuh di depannya. Tangannya mengepal erat, merasa gagal menjadi pelindung, apalagi terkait kehormatan Salwa sebagai istrinya. Patutlah perempuan itu begitu ketakutan, memilih kabur dari penyekapan karena tak taha
"Salwa sudah sadar. Aku yakin dia akan menceritakan semuanya kepada Sean. Kau dalam masalah."Leon meletakkan wine yang baru saja ditenggaknya, menyisakan sedikit cairan kehitaman di dasar gelas. Pandangannya mengarah kepada Abust yang tampak bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Ia yakin tidak akan selamat, jika Sean mendengar perbuatannya dari mulut Salwa."Aku akan mendatanginya. Aku akan bernegosiasi dengan Sean agar Salwa menjadi palayanku saja.""Bodoh! Kau mau menyetorkan nyawamu sia-sia?" Leon mendengkus, setidaknya otaknya masih mengandalkan akal sehat serta logika jika dihadapkan pada situasi yang rumit. Tidak seperti Abust yang hanya mengandalkan emosi serta perasaan sesaat."Kau tidak merasakannya. Aku belum bisa melupakan wanita itu." Kedua tangannya mencengkeram rambutnya kasar. Tatapan mata perempuan itu masih jelas dalam pikirannya. Rintihan Salwa, harum tubuh perempuan itu, ia tak sanggup melupakannya. "Aku yakin dia menggunakan magic agar Sean dan aku tergila-gil