Salwa hanya diam, tak sanggup menjawab pertanyaan Sean Arthur. Terlalu lelah menjalani kehidupannya, perempuan yang selalu menahan diri dari segala hinaan seorang Sean Arthur kini tenggelam dalam kesedihannya. Mungkin luka-luka yang ditorehkan Abust di tubuhnya sudah tak kentara dan tak sakit lagi, tetapi trauma yang ia alami masih terus-menerus berlanjut hingga sekarang. Dia tak sanggup untuk melupakan kejadian itu barang sedetik pun. Layaknya sebuah mimpi buruk dan berubah menjadi momok menakutkan yang selalu menghantui kehidupan Salwa."Sial!" Sean mengumpat. Dia ikut terpedaya dengan semua perkataan kedua adiknya. Keyakinan bahwa mereka tidak mungkin menyakiti Salwa membutakan dirinya akan hal yang terjadi sebenarnya.Pandangannya masih tak beralih sedikit pun pada sosok rapuh di depannya. Tangannya mengepal erat, merasa gagal menjadi pelindung, apalagi terkait kehormatan Salwa sebagai istrinya. Patutlah perempuan itu begitu ketakutan, memilih kabur dari penyekapan karena tak taha
"Salwa sudah sadar. Aku yakin dia akan menceritakan semuanya kepada Sean. Kau dalam masalah."Leon meletakkan wine yang baru saja ditenggaknya, menyisakan sedikit cairan kehitaman di dasar gelas. Pandangannya mengarah kepada Abust yang tampak bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Ia yakin tidak akan selamat, jika Sean mendengar perbuatannya dari mulut Salwa."Aku akan mendatanginya. Aku akan bernegosiasi dengan Sean agar Salwa menjadi palayanku saja.""Bodoh! Kau mau menyetorkan nyawamu sia-sia?" Leon mendengkus, setidaknya otaknya masih mengandalkan akal sehat serta logika jika dihadapkan pada situasi yang rumit. Tidak seperti Abust yang hanya mengandalkan emosi serta perasaan sesaat."Kau tidak merasakannya. Aku belum bisa melupakan wanita itu." Kedua tangannya mencengkeram rambutnya kasar. Tatapan mata perempuan itu masih jelas dalam pikirannya. Rintihan Salwa, harum tubuh perempuan itu, ia tak sanggup melupakannya. "Aku yakin dia menggunakan magic agar Sean dan aku tergila-gil
mendapat kabar bahwa Abust menghilang. Dia tak menyangka jika seorang Abust bisa bersikap pengecut seperti itu, memilih kabur dan tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepercayaan yang selama ini ia berikan kepada adiknya itu musnah sudah. Dengan wajah kesal lelaki yang selalu menampilkan wajah dingin mulai memarahi anak buahnya, menyuruh mereka melakukan apa saja agar bisa menangkap Abust. Pria yang sebelumnya menduduki strata tinggi di depan seorang Sean Arthur, kini hanyalah seorang buronan."Kepung bandara! Cari dia sampai dapat! Aku yakin Abust berniat kabur ke luar negeri," perintahnya tegas dan tak terbantahkan.Sean mengakhiri panggilannya ketika mendengar suara sesuatu terjatuh, dan ia mendapati Salwa tengah berusaha beranjak dari pembaringan dengan menahan tangannya di atas nakas. Sebuah botol air mineral yang baru saja jatuh dari sana tampak menggelinding ke arahnya. Mengabaikan botol tersebut, Sean memilih membantu Salwa berdiri. Ia tahu bahwa wanita itu kesulita
"Alan!" Suara itu terdengar menggema, ketika Sean masuk ke ruang kerjanya. Pria yang biasanya lengkap mengenakan sneli putihnya itu kini tampak berpakaian bebas, kaus berlengan pendek, celana panjang dengan jam tangan melingkar di lengan kanannya.Alan datang hanya untuk memeriksa kondisi Salwa sekaligus memberikan obat untuk mengurangi rasa nyeri pada luka yang hampir mengering itu."Kau masih menjaga jarak dengan Salwa, bukan?" Alan tampak mengangkat kedua alisnya sembari menunggu jawaban dari Sean. "Tidak berhubungan dengannya?"Sean mengempaskan tubuhnya di kursi putar, lalu bersandar dengan nyaman. "Aku masih waras dengan tidak menyentuhnya. Setidaknya sampai lukanya mengering." Terlihat wajah merah lelaki itu ketika mengucapkannya seolah sedang menahan sesuatu yang menggebu di sana."Ah, syukurlah." Alan bernapas lega. "Harusnya semalam aku memberinya suntikan kontrasepsi sesuai jadwal. Dan kau harus menahannya hingga esok hari. Aku akan datang pagi-pagi untuk memberikan suntika
Ruangan itu masih hening, hanya suara Sean yang terdengar sayup-sayup bercakap-cakap di telepon dengan Alan. Kening Salwa mengernyit, tubuhnya tampak mengeliat, menggesek tubuh Sean yang juga tak berpenghalang, lantas tangannya memeluk lelaki itu layaknya guling.Dersik angin malam yang masuk melewati ventilasi udara, melambai-lambaikan tirai yang tak tertutup sempurna. Sean menggertakkan giginya, merasakan kulit perempuan itu menempel di tubuhnya. Gelora yang sebelumnya sudah terpadamkan dengan percintaan yang memanaskan, kini mulai terasah kembali.Salwa benar-benar menguji kesabarannya."Alan!" Suara Sean terdengar berat dan parau, menahan hal yang sudah mulai memuncak tak terkendali. "Apakah Salwa akan hamil?""Aku belum bisa memastikan. Aku akan memeriksanya satu atau dua minggu lagi." Alan terdengar menghela napas. "Aku harap kau tidak berhubungan dulu selama masa penantian. Kecuali, kau menginginkan seorang anak.""Apa? Dua minggu?" Sean mengesah, dua minggu adalah waktu yang s
"Sebaiknya kau memutuskan perasaanmu segera." Alan langsung mengatakan hal itu setelah mendaratkan pantatnya di sofa kecil di sudut ruang kerja Sean Arthur. Mereka mulai membuka obrolan terkait hubungan Sean dan Salwa yang tampaknya semakin serius.Sean duduk di kursi putarnya, menyandarkan punggung dengan nyaman di sana. Ia belum juga mengenakan pakaian, masih setia dengan handuknya yang dililit di batas pinggang. "Kenapa harus buru-buru? Aku masih menikmatinya.""Ini bukan masalah kau menikmati atau tidak." Alan berkata kesal. "Jika Salwa tidak hamil, itu tidak jadi soal. Akan tetapi, jika Salwa hamil, kau harus melakukan peranmu yang sesungguhnya sebagai seorang suami." Lelaki bermata sipit menatap lurus ke arah Sean, menunjukkan betapa seriusnya dia. Masalah nyawa bagi Alan adalah hal yang utama dan tidak boleh dianggap main-main."Aku sudah melakukan tugasku sebagai suami. Apa kau tidak lihat, aku sudah merawatnya belakangan ini.""Tapi kau masih menggantungkan perasaannya, bukan
Salwa berdiri di balkon ruang tamu. Penthouse yang terletak di lantai tertinggi apartemen elite itu menampilkan panorama indah yang memanjakan mata. Lampu hias taman dan jalanan kota tampak berkelip juga benderang, memperindah suasana malam yang acapkali membuat Salwa terpukau. Namun, keindahan yang tertangkap di indra penglihatannya tak serta merta membuat hatinya bahagia.Tangannya mencengkeram pagar pembatas itu, meletakkan kedua lengannya bertumpu di sana. Matanya memejam, merasakan embusan angin malam dari ketinggian beberapa puluh meter dari permukaan tanah, melambai-lambaikan helai demi helai rambutnya yang tergerai memanjang. Sejak kejadian tadi pagi, Salwa tak bertemu dengan Sean lagi. Bahkan, malam ini lelaki itu tak kunjung pulang.Jika ia adalah istri yang sesungguhnya, tentu Sean akan menghubunginya untuk sekadar memberi kabar. Namun, dia hanya pelayan yang merangkap sebagai teman ranjang, tidak lebih. Salwa harus puas dengan statusnya saat ini sampai Sean melepaskannya.
Perkataan Sean cukup membuat Salwa terkejut. Apalagi kejadian itu terjadi ketika ia menghilang, sementara Sean masih terbaring di rumah sakit. Lantas, bagaimana Sean tahu kejadian yang sangat rahasia itu?"Siapa yang mengatakan itu?""Yang Pohan. Dia yang mengatakannya setelah mengetahui bahwa kau adalah istriku.""Apa?" Salwa tidak menyangka jika Yang Pohan bisa memberi tahu Sean masalah tersebut. Seharusnya lelaki itu merahasiakan apa yang sebenarnya tidak perlu dipertunjukkan kepada orang lain. Apalagi pelukan itu bukanlah pelukan seseorang kepada kekasih, melainkan hanya untuk menenangkan dirinya yang masih trauma akan penyiksaan Abust. Sementara ciuman itu, Yang Pohan mencuri darinya. "Itu tidak benar. Mengapa dia harus berbohong?""Kalian tidak berciuman? Berpelukan?" tanya Sean dengan memperhatikan jelas wajah Salwa.Perempuan itu menunduk, bingung harus menjelaskan apa. Namun, perlahan ia mulai membuka suara. "Saya sempat gila saat itu." Sean terkesiap mendengar perkataan Salw