Ruangan itu masih hening, hanya suara Sean yang terdengar sayup-sayup bercakap-cakap di telepon dengan Alan. Kening Salwa mengernyit, tubuhnya tampak mengeliat, menggesek tubuh Sean yang juga tak berpenghalang, lantas tangannya memeluk lelaki itu layaknya guling.Dersik angin malam yang masuk melewati ventilasi udara, melambai-lambaikan tirai yang tak tertutup sempurna. Sean menggertakkan giginya, merasakan kulit perempuan itu menempel di tubuhnya. Gelora yang sebelumnya sudah terpadamkan dengan percintaan yang memanaskan, kini mulai terasah kembali.Salwa benar-benar menguji kesabarannya."Alan!" Suara Sean terdengar berat dan parau, menahan hal yang sudah mulai memuncak tak terkendali. "Apakah Salwa akan hamil?""Aku belum bisa memastikan. Aku akan memeriksanya satu atau dua minggu lagi." Alan terdengar menghela napas. "Aku harap kau tidak berhubungan dulu selama masa penantian. Kecuali, kau menginginkan seorang anak.""Apa? Dua minggu?" Sean mengesah, dua minggu adalah waktu yang s
"Sebaiknya kau memutuskan perasaanmu segera." Alan langsung mengatakan hal itu setelah mendaratkan pantatnya di sofa kecil di sudut ruang kerja Sean Arthur. Mereka mulai membuka obrolan terkait hubungan Sean dan Salwa yang tampaknya semakin serius.Sean duduk di kursi putarnya, menyandarkan punggung dengan nyaman di sana. Ia belum juga mengenakan pakaian, masih setia dengan handuknya yang dililit di batas pinggang. "Kenapa harus buru-buru? Aku masih menikmatinya.""Ini bukan masalah kau menikmati atau tidak." Alan berkata kesal. "Jika Salwa tidak hamil, itu tidak jadi soal. Akan tetapi, jika Salwa hamil, kau harus melakukan peranmu yang sesungguhnya sebagai seorang suami." Lelaki bermata sipit menatap lurus ke arah Sean, menunjukkan betapa seriusnya dia. Masalah nyawa bagi Alan adalah hal yang utama dan tidak boleh dianggap main-main."Aku sudah melakukan tugasku sebagai suami. Apa kau tidak lihat, aku sudah merawatnya belakangan ini.""Tapi kau masih menggantungkan perasaannya, bukan
Salwa berdiri di balkon ruang tamu. Penthouse yang terletak di lantai tertinggi apartemen elite itu menampilkan panorama indah yang memanjakan mata. Lampu hias taman dan jalanan kota tampak berkelip juga benderang, memperindah suasana malam yang acapkali membuat Salwa terpukau. Namun, keindahan yang tertangkap di indra penglihatannya tak serta merta membuat hatinya bahagia.Tangannya mencengkeram pagar pembatas itu, meletakkan kedua lengannya bertumpu di sana. Matanya memejam, merasakan embusan angin malam dari ketinggian beberapa puluh meter dari permukaan tanah, melambai-lambaikan helai demi helai rambutnya yang tergerai memanjang. Sejak kejadian tadi pagi, Salwa tak bertemu dengan Sean lagi. Bahkan, malam ini lelaki itu tak kunjung pulang.Jika ia adalah istri yang sesungguhnya, tentu Sean akan menghubunginya untuk sekadar memberi kabar. Namun, dia hanya pelayan yang merangkap sebagai teman ranjang, tidak lebih. Salwa harus puas dengan statusnya saat ini sampai Sean melepaskannya.
Perkataan Sean cukup membuat Salwa terkejut. Apalagi kejadian itu terjadi ketika ia menghilang, sementara Sean masih terbaring di rumah sakit. Lantas, bagaimana Sean tahu kejadian yang sangat rahasia itu?"Siapa yang mengatakan itu?""Yang Pohan. Dia yang mengatakannya setelah mengetahui bahwa kau adalah istriku.""Apa?" Salwa tidak menyangka jika Yang Pohan bisa memberi tahu Sean masalah tersebut. Seharusnya lelaki itu merahasiakan apa yang sebenarnya tidak perlu dipertunjukkan kepada orang lain. Apalagi pelukan itu bukanlah pelukan seseorang kepada kekasih, melainkan hanya untuk menenangkan dirinya yang masih trauma akan penyiksaan Abust. Sementara ciuman itu, Yang Pohan mencuri darinya. "Itu tidak benar. Mengapa dia harus berbohong?""Kalian tidak berciuman? Berpelukan?" tanya Sean dengan memperhatikan jelas wajah Salwa.Perempuan itu menunduk, bingung harus menjelaskan apa. Namun, perlahan ia mulai membuka suara. "Saya sempat gila saat itu." Sean terkesiap mendengar perkataan Salw
Malam semakin larut. Sean tampak mengantuk dilihat dari kerjapan mata yang lemah, tetapi Salwa justru masih betah terjaga meskipun ia kelelahan setelah adegan panas yang sebelumnya mereka lakukan. Seolah malam ini banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan langsung kepada suami. Momen langka untuk berbicara dari hati ke hati tak ingin Salwa lewatkan meski kantuk sudah mulai menyerang."Sir! Sir Arthur."Salwa memanggil, tetapi tak ada jawaban yang keluar dari bibir sang suami. Ia menggerakkan jari telunjuk, menusuk-nusuk dada lelaki itu, menciptakan sensasi geli nan menggelitik. "Hai, jangan nakal!" ucapnya sembari menangkap tangan Salwa, lantas menggenggamnya. "Mengapa belum tidur?" Suara Sean terdengar sedikit serak, tetapi ia masih sabar meladeni Salwa."Emm, belum mau." Salwa berkata dengan langgam yang khas. Wanita itu terkadang tampak kuat dan mandiri, tetapi dalam situasi tertentu, Sean bisa melihat sisi manja yang dipertunjukkan Salwa kepadanya."Tidurlah! Besok kita ng
Sejenak Salwa terpaku di tempat, tak tahu harus berbuat apa. Namun, dia menyadari tatapan Abust seolah tengah menelanjanginya. Kedua tangan ia silangkan ke depan, lantas mendorong pintu dengan ujung kaki. Sayangnya, gerakan Abust lebih cepat. Sebelum pintu berhasil ditutup oleh Salwa, ia berhasil menahan pintu dengan sepatunya.Gerakan kedua tangan mendorong bagian depan pintu, cukup membuat Salwa kesulitan untuk menutup benda keras tersebut. Sekuat tenaga ia kerahkan, tetapi tenaga Abust jauh lebih kuat dari tenaganya. Hingga pintu itu terbuka lebar, sementara Salwa terdorong ke belakang.Abust masuk ke dalam, menarik handle pintu yang terbuka untuk kemudian menguncinya. Mata tak beralih dari wanita di depannya, menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Jejak-jejak percintaan Salwa dengan Sean semalam terlihat jelas di bagian leher dan dada atas yang terekspose sebab jenis pakaian yang wanita kenakan berpotongan leher rendah. Lelaki itu jelas membayangkan sepanas apa yang terjadi sema
Sean melihat layar smartphone berkedip. Berada di ruangan serba gelap karena sedang mengadakan rapat penting perusahaan, hanya ada sorot lampu dari proyektor yang mengarah ke layar putih menempel di dinding.Karena sedang menjadi pembicara, disaksikan para dewan direksi, Sean mengabaikan panggilan itu sejenak. Namun, melihat nama "My Wife" tertulis di sana, ia segera menyelesaikan pembicaraannya. Memilih Leon untuk melanjutkan, Sean mengambil smartphone yang masih menyala, lantas keluar dari ruang rapat."Hai, ada apa?" Tiada suara yang menyahut di sana. Hanya ada tangis sesenggukan yang terdengar di indra pendengaran. Sean tampak cemas, firasatnya sejak awal tidak enak ketika meninggalkan Salwa. Dan saat ini di seberang sana ia hanya mendengar tangisan sang istri tanpa ada suara yang lain. "Salwa, katakan! Apa yang terjadi?"Suara Salwa terdengar tidak jelas karena bicara bersamaan dengan tangis. Namun, setelah dirasa bisa mengatakan sesuatu, mata Sean membeliak terkejut setelah me
Tubuh mungil meringkuk dalam dekapan. Sean menatap wajah damai Salwa yang terlelap karena kelelahan. Setidaknya Salwa telah tenang, tak lagi ketakutan seperti tadi.Perlahan ia menurunkan tangan yang memeluk tubuhnya, begitu ringan dan hati-hati karena takut membangunkan wanita itu. Selimut yang hampir melorot ia benarkan, menutupi tubuh polos sebatas leher.Kaki jenjang menuruni ranjang, mengambil jubah tidur yang tersampir di gantungan, menutupi tubuh telanjang yang tampak kokoh dan kuat, mengikat talinya secara asal.Tubuh membungkuk, meraih senjata yang tergeletak di lantai, lalu meletakkan kembali di laci nakas. Ia sempat terkejut ketika Salwa ternyata bisa menggunakan senjata yang ia simpan di sana. Tatapan menyapu segala penjuru ruangan kamar, melihat seberapa berantakannya ruangan itu. Ia yakin jika Salwa telah berusaha keras untuk menyelamatkan diri dari Abust, sehingga semua barang yang harusnya terletak di tempatnya, kini porak-poranda berceceran di mana-mana.Sprei yang di
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan