Malam semakin larut. Sean tampak mengantuk dilihat dari kerjapan mata yang lemah, tetapi Salwa justru masih betah terjaga meskipun ia kelelahan setelah adegan panas yang sebelumnya mereka lakukan. Seolah malam ini banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan langsung kepada suami. Momen langka untuk berbicara dari hati ke hati tak ingin Salwa lewatkan meski kantuk sudah mulai menyerang."Sir! Sir Arthur."Salwa memanggil, tetapi tak ada jawaban yang keluar dari bibir sang suami. Ia menggerakkan jari telunjuk, menusuk-nusuk dada lelaki itu, menciptakan sensasi geli nan menggelitik. "Hai, jangan nakal!" ucapnya sembari menangkap tangan Salwa, lantas menggenggamnya. "Mengapa belum tidur?" Suara Sean terdengar sedikit serak, tetapi ia masih sabar meladeni Salwa."Emm, belum mau." Salwa berkata dengan langgam yang khas. Wanita itu terkadang tampak kuat dan mandiri, tetapi dalam situasi tertentu, Sean bisa melihat sisi manja yang dipertunjukkan Salwa kepadanya."Tidurlah! Besok kita ng
Sejenak Salwa terpaku di tempat, tak tahu harus berbuat apa. Namun, dia menyadari tatapan Abust seolah tengah menelanjanginya. Kedua tangan ia silangkan ke depan, lantas mendorong pintu dengan ujung kaki. Sayangnya, gerakan Abust lebih cepat. Sebelum pintu berhasil ditutup oleh Salwa, ia berhasil menahan pintu dengan sepatunya.Gerakan kedua tangan mendorong bagian depan pintu, cukup membuat Salwa kesulitan untuk menutup benda keras tersebut. Sekuat tenaga ia kerahkan, tetapi tenaga Abust jauh lebih kuat dari tenaganya. Hingga pintu itu terbuka lebar, sementara Salwa terdorong ke belakang.Abust masuk ke dalam, menarik handle pintu yang terbuka untuk kemudian menguncinya. Mata tak beralih dari wanita di depannya, menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Jejak-jejak percintaan Salwa dengan Sean semalam terlihat jelas di bagian leher dan dada atas yang terekspose sebab jenis pakaian yang wanita kenakan berpotongan leher rendah. Lelaki itu jelas membayangkan sepanas apa yang terjadi sema
Sean melihat layar smartphone berkedip. Berada di ruangan serba gelap karena sedang mengadakan rapat penting perusahaan, hanya ada sorot lampu dari proyektor yang mengarah ke layar putih menempel di dinding.Karena sedang menjadi pembicara, disaksikan para dewan direksi, Sean mengabaikan panggilan itu sejenak. Namun, melihat nama "My Wife" tertulis di sana, ia segera menyelesaikan pembicaraannya. Memilih Leon untuk melanjutkan, Sean mengambil smartphone yang masih menyala, lantas keluar dari ruang rapat."Hai, ada apa?" Tiada suara yang menyahut di sana. Hanya ada tangis sesenggukan yang terdengar di indra pendengaran. Sean tampak cemas, firasatnya sejak awal tidak enak ketika meninggalkan Salwa. Dan saat ini di seberang sana ia hanya mendengar tangisan sang istri tanpa ada suara yang lain. "Salwa, katakan! Apa yang terjadi?"Suara Salwa terdengar tidak jelas karena bicara bersamaan dengan tangis. Namun, setelah dirasa bisa mengatakan sesuatu, mata Sean membeliak terkejut setelah me
Tubuh mungil meringkuk dalam dekapan. Sean menatap wajah damai Salwa yang terlelap karena kelelahan. Setidaknya Salwa telah tenang, tak lagi ketakutan seperti tadi.Perlahan ia menurunkan tangan yang memeluk tubuhnya, begitu ringan dan hati-hati karena takut membangunkan wanita itu. Selimut yang hampir melorot ia benarkan, menutupi tubuh polos sebatas leher.Kaki jenjang menuruni ranjang, mengambil jubah tidur yang tersampir di gantungan, menutupi tubuh telanjang yang tampak kokoh dan kuat, mengikat talinya secara asal.Tubuh membungkuk, meraih senjata yang tergeletak di lantai, lalu meletakkan kembali di laci nakas. Ia sempat terkejut ketika Salwa ternyata bisa menggunakan senjata yang ia simpan di sana. Tatapan menyapu segala penjuru ruangan kamar, melihat seberapa berantakannya ruangan itu. Ia yakin jika Salwa telah berusaha keras untuk menyelamatkan diri dari Abust, sehingga semua barang yang harusnya terletak di tempatnya, kini porak-poranda berceceran di mana-mana.Sprei yang di
"Aku akan sangat merindukanmu." Sean mengusap kepala Salwa setelah melabuhkan kecupan hangat di dahi wanita itu. Mereka sudah berada di bandara Internasional Hong Kong dengan satu tiket menuju Indonesia. Sean tidak bisa mengantar Salwa sampai ke tempat tujuan karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Namun, di luar sepengetahuan Salwa, Sean sudah menyiapkan anak buah untuk melindungi dan memberikan informasi yang Salwa lakukan di negaranya."Apa Tuan akan datang? Akan menjemput saya?"Senyum tersungging di bibir, menatap lembut mata bulat yang kini tengah memandangnya dengan penuh harap. Kedua telapak tangan menangkup wajah berbalut kerudung. "Bersenang-senanglah di sana. Aku akan segera menjemputmu setelah semua masalah di sini selesai." "Promise me!"Sean mengangguk, melabuhkan satu kecupan di bibir. "I promise."Sebelum suara petugas terdengar memanggil keberangkatan ke Indonesia, sepasang suami istri saling berpelukan, seolah akan berpisah dalam waktu yang cukup lama. "Jangan me
Senyum terbit di bibir, menanggapi panggilan Salwa, masih tak percaya dengan siapa yang sedang berada di depannya. Lelaki mengenakan pakaian olahraga berwarna biru putih dengan jam tangan bermerk yang melingkar di pergelanagan tangan mengangguk kemudian."Hai, lama tak bertemu."Enam bulan lamanya setelah acara kelulusan diselenggarakan, mereka tak pernah berjumpa. Meskipun sebelumnya memang tak terlalu dekat, tetapi ia pernah menaruh hati kepada lelaki itu. Salwa menggelengkan kepala, segera mengusir pikiran yang sepatutnya tak boleh berada dalam benaknya. "I-iya. Terima kasih atas bantuanmu.""Tidak masalah. Kamu sendiri?" Alvaro tampak menatap ke sekeliling, tak mendapati seseorang yang mungkin sedang bersama Salwa. "Apa aku bisa bergabung?""Eh, apa?""Aku lihat kamu sedang sendiri. Jadi, apa salahnya jika kita jogging bareng.""Emm, tapi aku bersama ketiga adikku. Mereka sedang membeli makanan. Kami mau piknik kecil-kecilan di sini." Dia mengedikkan dagu ke arah tikar yang telah
Sebuah pesan masuk mengalihkan perhatian Salwa dari masakan yang sedang ia masak. Pagi ini, Sean tak juga memberi kabar. Lelaki itu seolah menghilang, membiarkan Salwa dalam kebingungan. Apakah Sean sengaja membiarkan ia pulang ke Indonesia karena sudah mulai bosan?Bahkan, Salwa susah berkali-kali menghubungi lelaki itu, tetapi tak kunjung mendapat jawaban. Sean sengaja mematikan panggilan dan tak kunjung membalas pesan. Namun, sepagi ini ada pesan masuk di ponsel yang tidak banyak mengetahui nomor teleponnya, membuat Salwa segera mencuci tangan untuk kemudian menyambar benda tipis yang ia letakkan di atas meja.Senyum yang semula mengembang, tampak muram seketika setelah melihat siapa yang sedang memberi pesan.Nomor tak dikenal. Ia ingin mengabaikan, tetapi sedikit tertarik akan gambar yang telah dikirimkan. Segera ibu jari menekan ringan pada pesan tak terbaca, lantas membuka dengan memperbesar tampilan gambar yang sudah terunduh.Sebuah undangan reuni dengan pesan singkat si peng
Salwa menatap layar smartphone yang sejak tadi tak ada panggilan ataupun pesan. Sekali lagi ia mencoba menghubungi Sean Arthur, tetapi tetap saja panggilannya terabaikan.Dia menghela napas kasar, mengempaskan benda tipis itu ke atas ranjang. Tangannya menjulur ke atas, memperhatikan jemari polos yang tak tersemat apa pun di sana. Benarkah setiap pernikahan membutuhkan cincin kawin? Alvaro mengatakan bahwa pria miskin pun akan memberikan cincin kepada wanita yang dicintai sebagai tanda pengikat pernikahan mereka. Lantas, apakah benar Sean mencintainya atau hanya sekadar mempermainkan perasaannya saja.Salwa ingin percaya, tetapi bagaimana lelaki itu memaksa dirinya untuk segera pergi meninggalkan penthouse dan kembali pulang ke Indonesia, tak menjawab panggilan ataupun membalas pesannya, cukup membuktikan di mana posisinya berada. Jika hanya sebuah cincin tak diberikan, itu tak jadi soalan. Salwa akan selalu memaklumi hal itu. Akan tetapi, setelah ia menjejakkan kaki di negara kelah