Tubuh mungil meringkuk dalam dekapan. Sean menatap wajah damai Salwa yang terlelap karena kelelahan. Setidaknya Salwa telah tenang, tak lagi ketakutan seperti tadi.Perlahan ia menurunkan tangan yang memeluk tubuhnya, begitu ringan dan hati-hati karena takut membangunkan wanita itu. Selimut yang hampir melorot ia benarkan, menutupi tubuh polos sebatas leher.Kaki jenjang menuruni ranjang, mengambil jubah tidur yang tersampir di gantungan, menutupi tubuh telanjang yang tampak kokoh dan kuat, mengikat talinya secara asal.Tubuh membungkuk, meraih senjata yang tergeletak di lantai, lalu meletakkan kembali di laci nakas. Ia sempat terkejut ketika Salwa ternyata bisa menggunakan senjata yang ia simpan di sana. Tatapan menyapu segala penjuru ruangan kamar, melihat seberapa berantakannya ruangan itu. Ia yakin jika Salwa telah berusaha keras untuk menyelamatkan diri dari Abust, sehingga semua barang yang harusnya terletak di tempatnya, kini porak-poranda berceceran di mana-mana.Sprei yang di
"Aku akan sangat merindukanmu." Sean mengusap kepala Salwa setelah melabuhkan kecupan hangat di dahi wanita itu. Mereka sudah berada di bandara Internasional Hong Kong dengan satu tiket menuju Indonesia. Sean tidak bisa mengantar Salwa sampai ke tempat tujuan karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Namun, di luar sepengetahuan Salwa, Sean sudah menyiapkan anak buah untuk melindungi dan memberikan informasi yang Salwa lakukan di negaranya."Apa Tuan akan datang? Akan menjemput saya?"Senyum tersungging di bibir, menatap lembut mata bulat yang kini tengah memandangnya dengan penuh harap. Kedua telapak tangan menangkup wajah berbalut kerudung. "Bersenang-senanglah di sana. Aku akan segera menjemputmu setelah semua masalah di sini selesai." "Promise me!"Sean mengangguk, melabuhkan satu kecupan di bibir. "I promise."Sebelum suara petugas terdengar memanggil keberangkatan ke Indonesia, sepasang suami istri saling berpelukan, seolah akan berpisah dalam waktu yang cukup lama. "Jangan me
Senyum terbit di bibir, menanggapi panggilan Salwa, masih tak percaya dengan siapa yang sedang berada di depannya. Lelaki mengenakan pakaian olahraga berwarna biru putih dengan jam tangan bermerk yang melingkar di pergelanagan tangan mengangguk kemudian."Hai, lama tak bertemu."Enam bulan lamanya setelah acara kelulusan diselenggarakan, mereka tak pernah berjumpa. Meskipun sebelumnya memang tak terlalu dekat, tetapi ia pernah menaruh hati kepada lelaki itu. Salwa menggelengkan kepala, segera mengusir pikiran yang sepatutnya tak boleh berada dalam benaknya. "I-iya. Terima kasih atas bantuanmu.""Tidak masalah. Kamu sendiri?" Alvaro tampak menatap ke sekeliling, tak mendapati seseorang yang mungkin sedang bersama Salwa. "Apa aku bisa bergabung?""Eh, apa?""Aku lihat kamu sedang sendiri. Jadi, apa salahnya jika kita jogging bareng.""Emm, tapi aku bersama ketiga adikku. Mereka sedang membeli makanan. Kami mau piknik kecil-kecilan di sini." Dia mengedikkan dagu ke arah tikar yang telah
Sebuah pesan masuk mengalihkan perhatian Salwa dari masakan yang sedang ia masak. Pagi ini, Sean tak juga memberi kabar. Lelaki itu seolah menghilang, membiarkan Salwa dalam kebingungan. Apakah Sean sengaja membiarkan ia pulang ke Indonesia karena sudah mulai bosan?Bahkan, Salwa susah berkali-kali menghubungi lelaki itu, tetapi tak kunjung mendapat jawaban. Sean sengaja mematikan panggilan dan tak kunjung membalas pesan. Namun, sepagi ini ada pesan masuk di ponsel yang tidak banyak mengetahui nomor teleponnya, membuat Salwa segera mencuci tangan untuk kemudian menyambar benda tipis yang ia letakkan di atas meja.Senyum yang semula mengembang, tampak muram seketika setelah melihat siapa yang sedang memberi pesan.Nomor tak dikenal. Ia ingin mengabaikan, tetapi sedikit tertarik akan gambar yang telah dikirimkan. Segera ibu jari menekan ringan pada pesan tak terbaca, lantas membuka dengan memperbesar tampilan gambar yang sudah terunduh.Sebuah undangan reuni dengan pesan singkat si peng
Salwa menatap layar smartphone yang sejak tadi tak ada panggilan ataupun pesan. Sekali lagi ia mencoba menghubungi Sean Arthur, tetapi tetap saja panggilannya terabaikan.Dia menghela napas kasar, mengempaskan benda tipis itu ke atas ranjang. Tangannya menjulur ke atas, memperhatikan jemari polos yang tak tersemat apa pun di sana. Benarkah setiap pernikahan membutuhkan cincin kawin? Alvaro mengatakan bahwa pria miskin pun akan memberikan cincin kepada wanita yang dicintai sebagai tanda pengikat pernikahan mereka. Lantas, apakah benar Sean mencintainya atau hanya sekadar mempermainkan perasaannya saja.Salwa ingin percaya, tetapi bagaimana lelaki itu memaksa dirinya untuk segera pergi meninggalkan penthouse dan kembali pulang ke Indonesia, tak menjawab panggilan ataupun membalas pesannya, cukup membuktikan di mana posisinya berada. Jika hanya sebuah cincin tak diberikan, itu tak jadi soalan. Salwa akan selalu memaklumi hal itu. Akan tetapi, setelah ia menjejakkan kaki di negara kelah
Hanya butuh beberapa menit saja, Salwa sudah bersiap dengan gamis yang ia bawa dari penthouse. Wajah sudah terawat dari sananya, sehingga tak membutuhkan terlalu banyak aplikasi makeup. Meskipun demikian, tak bisa menampik pesona perempuan yang sudah menyandang status istri tersebut."Ayo!"Salwa mengajak Anisa berangkat dan diikuti anggukan oleh gadis berkerudung cokelat. Mereka berjalan beriringan, keluar dari rumah sederhana itu menuju motor Anisa yang telah diparkir di halaman.***Reuni diadakan di sebuah hotel berbintang dengan pesta kolam renang. Seorang DJ asik mengatur ritme lagu dengan beberapa orang tampak berjoget di sana. Alvaro mengatakan semuanya free Alcohol, sehingga memastikan tidak akan terjadi keributan malam ini.Seorang gadis tampak anggun mengenakan gaun malam berdada rendah, menampilkan lekuk tubuh indah semampai baru saja masuk ke area pesta. Menjadi pusat perhatian banyak orang membuat sang gadis populer yang bernama Angela membusungkan dada, menaikkan dagu,
Mata Salwa melebar, terkejut dengan ungkapan cinta Alvaro yang tiba-tiba. Angela yang menyaksikan itu tampak geram, mengepalkan tangan dan berjanji akan mempermalukan Salwa malam ini kepada semua orang. Bagaimanapun caranya.Salwa ingin menjawab, tetapi Alvaro segera mencegahnya. "Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku akan menunggu sampai kamu memikirkannya dengan benar."Salwa menggeleng. "Aku akan menjawabnya sekarang.""Sssttt!" Telunjuk Alvaro menempel di mulut Salwa, menahan kalimat yang mungkin akan keluar dari bibir ranum itu. "Kita akan membahasnya berdua."Salwa mengangguk. Tak baik rasanya menolak mentah-mentah Alvaro di depan banyak orang, terutama teman-temannya sendiri. Dia menyunggingkan senyum menyetujui setelah jari telunjuk itu terlepas dari bibirnya.Permainan makin terasa seru dan mendebarkan. Semua orang ikut merasakan tantangan atau pengakuan hal yang paling gila semasa hidupnya. Tawa dan canda mereka lakukan, seperti sebuah pertemanan yang terasa kental sete
Salwa gemetar melihat sosok tegap yang memandang dirinya dengan tajam. Seolah sedang menguliti, murka, juga kecewa. Kecewa?Mengapa harus dia yang kecewa? Seharusnya Salwa yang merasakan kecewa kepada lelaki itu, bukan?Di saat Alvaro masih belum sempat bediri dari jatuhnya, lelaki yang tampak murka menghampiri Salwa.Salwa beringsut menjauh. Ada kilat kemarahan yang jelas terlihat dari sorot mata lelaki itu yang membuat dirinya ketakutan. Dia bingung, takut, juga merasa sakit hati. Seolah semua yang terjadi adalah kesalahannya."Tu-an." Salwa berkata lirih, menyadari Sean dalam kondisi emosi yang tidak stabil.Tangan lelaki itu terulur, menyentuh rahang Salwa, lantas menekannya, menimbulkan rasa sakit pada diri perempuan itu. Tatapannya sangat mengerikan, begitu menikam tajam ke kedalaman mata Salwa. "Kau berciuman dengannya?"Salwa menggeleng, dia tidak bermaksud melakukan itu. Dia hanya dipaksa, bahkan sejak tadi ia masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Alvaro. "Tidak, i