Salwa gemetar melihat sosok tegap yang memandang dirinya dengan tajam. Seolah sedang menguliti, murka, juga kecewa. Kecewa?Mengapa harus dia yang kecewa? Seharusnya Salwa yang merasakan kecewa kepada lelaki itu, bukan?Di saat Alvaro masih belum sempat bediri dari jatuhnya, lelaki yang tampak murka menghampiri Salwa.Salwa beringsut menjauh. Ada kilat kemarahan yang jelas terlihat dari sorot mata lelaki itu yang membuat dirinya ketakutan. Dia bingung, takut, juga merasa sakit hati. Seolah semua yang terjadi adalah kesalahannya."Tu-an." Salwa berkata lirih, menyadari Sean dalam kondisi emosi yang tidak stabil.Tangan lelaki itu terulur, menyentuh rahang Salwa, lantas menekannya, menimbulkan rasa sakit pada diri perempuan itu. Tatapannya sangat mengerikan, begitu menikam tajam ke kedalaman mata Salwa. "Kau berciuman dengannya?"Salwa menggeleng, dia tidak bermaksud melakukan itu. Dia hanya dipaksa, bahkan sejak tadi ia masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Alvaro. "Tidak, i
"Apa? Hamil?"Perkataan Sean tentu menimbulkan banyak tanda tanya. Pasalnya dia telah mendapatkan suntikan kontrasepsi dari Dokter Alan, dan Sean tak menyentuhnya beberapa minggu ini. Lantas, bagaimana dia bisa hamil?Diraihnya kertas itu dari tangan Sean, membaca isi yang tertera di dalamnya. Di sana dengan jelas dinyatakan bahwa dirinya tengah hamil tujuh minggu.Mata Salwa berkaca-kaca, tidak sanggup menyembunyikan rasa perih di hatinya. Pernikahan yang ia jalani dengan penuh luka harus bertahan karena anak yang berada di rahimnya. Dia kembali menenggelamkan wajah di atas lutut dengan kedua telapak tangan dijadikan alas menutupi mukanya."Bagaimana bisa?" Salwa memang mencintai Sean. Akan tetapi, sikap kasar lelaki itu membuatnya muak. Sean tidak pernah mau mendengarkannya, menerima penjelasannya. Dia takut jika pada akhirnya lelaki itu selalu memukulinya jika ada suatu hal yang disalahpahami. Ia sudah lelah, letih untuk bertahan dalam hubungan seperti itu. Ingin segera terbebas a
"Buka mulutmu!"Sean menyendokkan bubur untuk makan pagi Salwa, menyuapkan bubur itu ke mulut sang istri. Langkah awal dalam misi meluluhkan hati Salwa kembali.Salwa menurut, membuka mulutnya dengan patuh, menerima suapan demi suapan Sean untuknya. Sesungguhnya, ia merindukan hal ini. Merindukan sikap lembut Sean kepadanya. Lelaki itu bisa berubah mengerikan, bisa juga menjadi pribadi yang sangat lembut, membuatnya bingung menentukan sikap.Bibir itu diseka lembut, ketika bubur tanpa sengaja mengotori permukaannya. Mata mereka saling bersipandang, menatap dengan pandangan yang entah. Sekelumit rasa yang masih tertanam di hati, tak bisa menampik keinginan untuk tetap bersama.Salwa masih diam, tak berkutik ketika bibir lelaki itu menyentuh bibirnya, membasahi permukaannya lembut. Ciuman itu adalah ciuman pertama setelah lelaki itu bertemu kembali dengannya. Bibir itu masih bertahan di sana, menjelajah dengan begitu halus, tak sedikit pun membuat Salwa kesakitan atau mengeluh lantaran
"Tuan!"Salwa menahan tubuh Sean ketika lelaki itu hendak melayangkan bogem ke wajah Alvaro. Dia segera berdiri dari kursi roda, mengabaikan tubuhnya yang masih lemah, lalu memeluk Sean dengan erat. "Jangan memukulnya lagi. Dia hanya bercanda."Pelukan itu mengerat, dengan Salwa menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. Entah mengapa, pelukan hangat perempuan tersebut, ternyata mampu mendinginkan hatinya yang memanas. Seolah api yang sempat membara dalam hati dipadamkan dengan cepat begitu Salwa memeluknya.Tangannya mengusap lembut kepala Salwa, membuat perempuan itu menengadah menatapnya. Bola mata bulat nan hitam menatapnya dengan sendu, menunjukkan sebuah permohonan agar tidak memperpanjang masalah. Lagi pun, tujuannya datang hanya untuk memastikan Alvaro baik-baik saja. Jika Sean kembali menyerang lelaki itu, sudah pasti urusannya semakin panjang, bukan?Tatapan yang tajam meredup, melabuhkan semua perhatian kepada perempuan di depannya. Dia menguraikan pelukan Salwa di tubuhny
Suara keributan di kamar Salwa membuat hampir seluruh anggota keluarga terusik tidurnya, hingga sebuah ketukan terdengar menggebu di pintu, membuat Sean maupun Salwa terperanjat. Posisi mereka sedang tidak aman, mencari-cari di mana pakaian yang tadi dilemparkan. Kamar yang semula gelap, hanya cahaya rembulan yang menyinari, mengintip di balik jendela, mendadak terang setelah Salwa menghidupkan sakelar lampu.Mengawasi situasi, setelah keduanya berpakaian kembali, ia membukakan pintu kamarnya. Di sana ada Pak Samsul dan Bu Darmini berdiri menatap dengan cemas anak dan menantunya."Apa yang terjadi?" Pak Samsul melongok ke dalam, melihat apa yang membuat mereka berteriak.Salwa menggaruk tengkuk yang mendadak gatal tanpa sebab, meringis dengan memamerkan deretan gigi putihnya. "Ranjangnya ambruk, Pak!""Hah? Bagaimana bisa?" Pak Samsul merangsek masuk, melihat ranjang yang sudah miring dengan kasur busa menjorok ke lantai. Matanya beralih menatap Sean dan Salwa secara bergantian, lalu
Apa yang Sean ucapkan ternyata benar-benar dikerjakan oleh lelaki itu. Seharian ini, Sean keluar rumah tanpa mengajak Salwa. Dia tidak kunjung pulang meski hari sudah mulai petang. Sekali saja mengabari Salwa, yaitu siang tadi jika urusannya belum juga selesai.Matahari sudah tenggelam di kaki langit, menampilkan semburat warna jingga yang mulai menurun di batas cakrawala. Salwa masih betah menunggu di teras rumah, menanti dengan perasaan cemas juga waswas. Bagaimanapun, Sean adalah orang baru di negera ini. Dirinya saja yang warga lama sering kali tersesat dan tidak bisa pulang. Lantas, bagaimana dengan Sean yang penggunaan bahasa Indonesianya masih belum banyak memahami berbagai kosakata? Namun, Salwa terlupa jika suaminya bukanlah lelaki sembarangan. Sean memiliki pengawal yang mumpuni serta uang yang membuatnya bisa melakukan banyak hal meski terkendala bahasa. Sehingga, di mana pun dia berada, semuanya tampak mudah.Hingga waktu makan malam telah tiba, Salwa masih menunggu. Bu
Sebuah amplop coklat tebal tergeletak begitu saja di atas meja. Hingga sepasang mata berbingkai bulu mata lentik mengalihkan perhatian ke arahnya. Senyum mengembang di bibir berlipstik merah, menyadari jika uang yang didapat akan lebih banyak dari perkiraannya."Aku ingin kau memanfaatkan kecerdasanmu. Masuk ke perusahaan yang baru dirintis, dekati pemiliknya. Aku ingin dia lebih tertarik kepadamu dan berakhir meninggalkan istrinya."Bibir semerah darah tertawa kecil, mengangguk dengan yakin. "Itu perkara mudah." Dia meniup-niup ujung kuku berpoles kutek warna merah. "Pria asing menyukai wanita cerdas dan cantik. Dan semua itu ada padaku. Kau bilang apa tadi? Istrinya hanya tamatan SMA. Oh, ya ampun, itu membuat tugasku semakin mudah.""Maksudmu?" Lelaki yang kepalanya masih mengenakan perban tampak mengerutkan kening, menunjukkan ketidaksukaan dengan apa yang baru saja wanita itu katakan. "Levelnya jauh di bawahku. Ayolah! Aku tidak perlu banyak berdebat untuk menjelaskan kelebihank
Beberapa orang dari perusahaan utama telah diboyong oleh Sean untuk sementara waktu mengisi jabatan-jabatan krusial selama belum menemukan kandidat yang cocok.Dia sudah memikirkan ini sejak lama, yaitu ketika mengabaikan Salwa selama perempuan itu pergi ke Indonesia. Ada keinginan untuk memperluas jaringan untuk menguasai pasar sistem keamanan di negara itu, sehingga ia lebih banyak alasan untuk mengunjungi negara sang istri suatu saat nanti.Salwa mengantar Sean keluar, bersamaan satu kotak bekal di tangan. Mencium punggung tangan lelaki itu sebagaimana kebiasaannya ketika berada di penthouse dulu. "Dimakan, ya?" Sean menerima kotak bekal tersebut, meraup kepala Salwa untuk kemudian dikecup keningnya. Berpindah ke bawah, tangannya mengusap perut sang istri yang masih datar, lantas menciumnya juga. "Jaga diri baik-baik. Kalau mual lagi, hubungi aku! Aku akan makan siang di rumah jika kau ingin ditemani."Salwa tertawa kecil. Semenjak kejadian itu, obat mual Salwa hanya satu, yaitu b