Suara keributan di kamar Salwa membuat hampir seluruh anggota keluarga terusik tidurnya, hingga sebuah ketukan terdengar menggebu di pintu, membuat Sean maupun Salwa terperanjat. Posisi mereka sedang tidak aman, mencari-cari di mana pakaian yang tadi dilemparkan. Kamar yang semula gelap, hanya cahaya rembulan yang menyinari, mengintip di balik jendela, mendadak terang setelah Salwa menghidupkan sakelar lampu.Mengawasi situasi, setelah keduanya berpakaian kembali, ia membukakan pintu kamarnya. Di sana ada Pak Samsul dan Bu Darmini berdiri menatap dengan cemas anak dan menantunya."Apa yang terjadi?" Pak Samsul melongok ke dalam, melihat apa yang membuat mereka berteriak.Salwa menggaruk tengkuk yang mendadak gatal tanpa sebab, meringis dengan memamerkan deretan gigi putihnya. "Ranjangnya ambruk, Pak!""Hah? Bagaimana bisa?" Pak Samsul merangsek masuk, melihat ranjang yang sudah miring dengan kasur busa menjorok ke lantai. Matanya beralih menatap Sean dan Salwa secara bergantian, lalu
Apa yang Sean ucapkan ternyata benar-benar dikerjakan oleh lelaki itu. Seharian ini, Sean keluar rumah tanpa mengajak Salwa. Dia tidak kunjung pulang meski hari sudah mulai petang. Sekali saja mengabari Salwa, yaitu siang tadi jika urusannya belum juga selesai.Matahari sudah tenggelam di kaki langit, menampilkan semburat warna jingga yang mulai menurun di batas cakrawala. Salwa masih betah menunggu di teras rumah, menanti dengan perasaan cemas juga waswas. Bagaimanapun, Sean adalah orang baru di negera ini. Dirinya saja yang warga lama sering kali tersesat dan tidak bisa pulang. Lantas, bagaimana dengan Sean yang penggunaan bahasa Indonesianya masih belum banyak memahami berbagai kosakata? Namun, Salwa terlupa jika suaminya bukanlah lelaki sembarangan. Sean memiliki pengawal yang mumpuni serta uang yang membuatnya bisa melakukan banyak hal meski terkendala bahasa. Sehingga, di mana pun dia berada, semuanya tampak mudah.Hingga waktu makan malam telah tiba, Salwa masih menunggu. Bu
Sebuah amplop coklat tebal tergeletak begitu saja di atas meja. Hingga sepasang mata berbingkai bulu mata lentik mengalihkan perhatian ke arahnya. Senyum mengembang di bibir berlipstik merah, menyadari jika uang yang didapat akan lebih banyak dari perkiraannya."Aku ingin kau memanfaatkan kecerdasanmu. Masuk ke perusahaan yang baru dirintis, dekati pemiliknya. Aku ingin dia lebih tertarik kepadamu dan berakhir meninggalkan istrinya."Bibir semerah darah tertawa kecil, mengangguk dengan yakin. "Itu perkara mudah." Dia meniup-niup ujung kuku berpoles kutek warna merah. "Pria asing menyukai wanita cerdas dan cantik. Dan semua itu ada padaku. Kau bilang apa tadi? Istrinya hanya tamatan SMA. Oh, ya ampun, itu membuat tugasku semakin mudah.""Maksudmu?" Lelaki yang kepalanya masih mengenakan perban tampak mengerutkan kening, menunjukkan ketidaksukaan dengan apa yang baru saja wanita itu katakan. "Levelnya jauh di bawahku. Ayolah! Aku tidak perlu banyak berdebat untuk menjelaskan kelebihank
Beberapa orang dari perusahaan utama telah diboyong oleh Sean untuk sementara waktu mengisi jabatan-jabatan krusial selama belum menemukan kandidat yang cocok.Dia sudah memikirkan ini sejak lama, yaitu ketika mengabaikan Salwa selama perempuan itu pergi ke Indonesia. Ada keinginan untuk memperluas jaringan untuk menguasai pasar sistem keamanan di negara itu, sehingga ia lebih banyak alasan untuk mengunjungi negara sang istri suatu saat nanti.Salwa mengantar Sean keluar, bersamaan satu kotak bekal di tangan. Mencium punggung tangan lelaki itu sebagaimana kebiasaannya ketika berada di penthouse dulu. "Dimakan, ya?" Sean menerima kotak bekal tersebut, meraup kepala Salwa untuk kemudian dikecup keningnya. Berpindah ke bawah, tangannya mengusap perut sang istri yang masih datar, lantas menciumnya juga. "Jaga diri baik-baik. Kalau mual lagi, hubungi aku! Aku akan makan siang di rumah jika kau ingin ditemani."Salwa tertawa kecil. Semenjak kejadian itu, obat mual Salwa hanya satu, yaitu b
Hampir dua bulan berlalu, di mana Alin telah berada dalam ruang lingkup kerja Sean. Perempuan itu merasa sepak terjangnya berjalan lambat. Kemampuannya yang luar biasa tak serta merta membuat Sean terkagum-kagum untuk sekadar melihatnya. Dia masih mencari cara agar lelaki itu tak hanya menganggapnya sebagai karyawan berkompeten biasa. Ia ingin menjadi lebih dari itu. Wanita yang patut diperhitungkan kematangannya.Dia lebih berani menggunakan pakaian kerja. Yang mana sebelumnya selalu mengenakan setelan formal, celana kain panjang dipadukan blazer berpotongan dada rendah, kini tampak lebih minimalis.Alin mengenakan rok span lima belas sentimeter di atas lutut dengan belahan samping yang makin mengekspose bentuk paha serta kaki jenjangnya. Tinggi semampai, tubuh padat berisi dengan pakaian bermerk yang menunjang penampilan dan tidak lupa wajah menawan yang selalu bisa memabukkan pria mana pun yang memandang. Dengan segala kelebihan yang ia miliki, Alin semakin percaya diri jika dirin
Lengan berbalut kemeja lengan panjang tampak melingkar di bahu Salwa, mengantar perempuan itu keluar dari area restoran.Salwa meminta diantar ke kamar kecil. Sejak sebulan belakangan ini rasa ingin buang air kecilnya lebih intens. Ia mendadak mencintai toilet karena terlalu seringnya mengunjungi tempat yang identik dengan kotoran manusia."Masuklah! Aku tunggu di sini."Sean membiarkan Salwa masuk ke dalam toilet wanita. Tidak mungkin dirinya yang seorang pria ikut masuk ke dalam dan menunggu Salwa di depan bilik toilet, bukan? Sehingga ia memilih berjaga di depan sembari bersandar di dinding dengan tangan membuka smartphone, sementara tangan yang lain dimasukkan ke dalam saku celana.Sean menenggelamkan dirinya dalam sebuah artikel yang ia baca di salah satu platform berita digital, sehingga tak menyadari ada seorang wanita yang datang menghampirinya dengan senyum nakal dan mimik wajah penuh gairahEntah disengaja atau tidak, wanita yang mengenakan hak tinggi itu tiba-tiba terjatuh
Sean membuka pintu kamar perawatan Salwa dan mendapati perempuan itu berbaring sembari menatap langit-langit kamar yang didominasi warna putih. Kelopak matanya sesekali berkedip dengan raut pucat yang terlihat jelas di bagian mata serta bibir.Sean melangkah mendekat, mencoba bertanya langsung kepada Salwa. Mengapa dia tiba-tiba menolak disentuh? Apakah benar jika bau tubuhnya tidak menarik lagi? Atau jangan-jangan dia sudah tidak tampan lagi?Sean menggeleng kuat-kuat. Dia masih percaya diri jika dirinya masihlah sangat tampan. Semua wanita sudah mengakui dan terpesona akan ketampanannya tanpa terkecuali."Salwa?" panggilnya perlahan, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Takut jika memang Salwa mual karena bau tubuhnya.Mata bulat itu meliriknya sebentar, lalu kembali menatap langit-langit ruangan. Sejenak Sean merasa kesal, karena Salwa lebih menyukai plafon rumah sakit daripada dirinya."Hei, ada apa?" Dia bergerak maju, masih penasaran dengan sikap Salwa yang tiba-tiba berubah.
Sean membantu Salwa berdiri, memeriksa kondisi perempuan itu, apakah ada yang terluka atau tidak. Tangannya mengusap-usap perut Salwa, takut jika terjadi apa-apa dengan anaknya. "Kau baik-baik saja?"Tatapan itu penuh dengan perhatian, mencemaskan wanita yang merupakan alasannya berjuang di negara itu, memastikan bahwa tidak ada hal yang terlalu mengganggu kesehatan Salwa dan janinnya.Salwa menggeleng. Ia merasa tidak ada yang perlu dicemaskan pada dirinya. Hanya saja .... Dia menatap bekalnya telah tercecer di lantai, masakan yang ia masak dengan penuh cinta telah terbuang sia-sia. Entah mengapa, Salwa menjadi gampang sedih, sehingga air matanya menetes ketika melihat makanan yang akan ia nikmati bersama Sean telah hancur tak bisa dimakan lagi.Tatapan Sean ikut mengarah di mana makanan tumpah mengotori lantai, dan beralih pada wadah bekal yang Salwa pegang sudah kosong dengan sedikit sisa-sisa di dalamnya. Dia mendengkus, menatap Alin dengan murka.Sebelum Sean memberi perhitungan