Lengan berbalut kemeja lengan panjang tampak melingkar di bahu Salwa, mengantar perempuan itu keluar dari area restoran.Salwa meminta diantar ke kamar kecil. Sejak sebulan belakangan ini rasa ingin buang air kecilnya lebih intens. Ia mendadak mencintai toilet karena terlalu seringnya mengunjungi tempat yang identik dengan kotoran manusia."Masuklah! Aku tunggu di sini."Sean membiarkan Salwa masuk ke dalam toilet wanita. Tidak mungkin dirinya yang seorang pria ikut masuk ke dalam dan menunggu Salwa di depan bilik toilet, bukan? Sehingga ia memilih berjaga di depan sembari bersandar di dinding dengan tangan membuka smartphone, sementara tangan yang lain dimasukkan ke dalam saku celana.Sean menenggelamkan dirinya dalam sebuah artikel yang ia baca di salah satu platform berita digital, sehingga tak menyadari ada seorang wanita yang datang menghampirinya dengan senyum nakal dan mimik wajah penuh gairahEntah disengaja atau tidak, wanita yang mengenakan hak tinggi itu tiba-tiba terjatuh
Sean membuka pintu kamar perawatan Salwa dan mendapati perempuan itu berbaring sembari menatap langit-langit kamar yang didominasi warna putih. Kelopak matanya sesekali berkedip dengan raut pucat yang terlihat jelas di bagian mata serta bibir.Sean melangkah mendekat, mencoba bertanya langsung kepada Salwa. Mengapa dia tiba-tiba menolak disentuh? Apakah benar jika bau tubuhnya tidak menarik lagi? Atau jangan-jangan dia sudah tidak tampan lagi?Sean menggeleng kuat-kuat. Dia masih percaya diri jika dirinya masihlah sangat tampan. Semua wanita sudah mengakui dan terpesona akan ketampanannya tanpa terkecuali."Salwa?" panggilnya perlahan, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Takut jika memang Salwa mual karena bau tubuhnya.Mata bulat itu meliriknya sebentar, lalu kembali menatap langit-langit ruangan. Sejenak Sean merasa kesal, karena Salwa lebih menyukai plafon rumah sakit daripada dirinya."Hei, ada apa?" Dia bergerak maju, masih penasaran dengan sikap Salwa yang tiba-tiba berubah.
Sean membantu Salwa berdiri, memeriksa kondisi perempuan itu, apakah ada yang terluka atau tidak. Tangannya mengusap-usap perut Salwa, takut jika terjadi apa-apa dengan anaknya. "Kau baik-baik saja?"Tatapan itu penuh dengan perhatian, mencemaskan wanita yang merupakan alasannya berjuang di negara itu, memastikan bahwa tidak ada hal yang terlalu mengganggu kesehatan Salwa dan janinnya.Salwa menggeleng. Ia merasa tidak ada yang perlu dicemaskan pada dirinya. Hanya saja .... Dia menatap bekalnya telah tercecer di lantai, masakan yang ia masak dengan penuh cinta telah terbuang sia-sia. Entah mengapa, Salwa menjadi gampang sedih, sehingga air matanya menetes ketika melihat makanan yang akan ia nikmati bersama Sean telah hancur tak bisa dimakan lagi.Tatapan Sean ikut mengarah di mana makanan tumpah mengotori lantai, dan beralih pada wadah bekal yang Salwa pegang sudah kosong dengan sedikit sisa-sisa di dalamnya. Dia mendengkus, menatap Alin dengan murka.Sebelum Sean memberi perhitungan
Tangan Alin terkepal, merasa semua yang Sean lakukan sangat tidak adil untuknya. Apalagi, lelaki itu tidak memandang dirinya yang selama dua bulan ini sangat berdedikasi dalam melaksanakan semua tugas-tugasnya.Namun, tiada yang sanggup ia lakukan selain menuruti apa yang Sean katakan dengan keluar dari ruangan itu. Dalam hati ia berjanji akan membalas semua perlakuan lellaki itu, juga Salwa. Ya, wanita yang tidak seharusnya mendapatkan semua keistimewaan itu akan ia hancurkan sehancur-hancurnya. Harga diri dan perasaannya akan lebih menderita dari apa yang sudah ia terima hari ini.***Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam ketika Sean dan Salwa baru pulang dari memeriksa kandungan. Lelaki itu tak henti-henti mengusap gemas perut sang istri, menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan.Sebelumnya, ia sangat takut memiliki anak. Sebab, bahaya pasti akan mengintai anaknya ketika sudah dilahirkan atau masih dalam kandungan. Sepak terjangnya di dunia bawah tanah, membuat Sean memiliki
Ketika hampir memasuki waktu pulang, Sean mengirim pesan singkat kepada Salwa, bahwa ia tak bisa pulang cepat malam ini. Ada banyak pekerjaan dan beberapa pertemuan yang akan ia lakukan sekaligus, mengingat dia mempekerjakan sekretaris baru yang belum bisa menghandle banyak tugas seperti Alin. Dia meninggalkan perusahaan untuk menghadiri jamuan makan malam dengan beberapa kolega bisnis untuk membicarakan beberapa proyek kerjasama mereka ke depannya.Menggunakan pakaian formal, Sean sengaja tak menggunakan jas, hanya menggunakan rompi jas tak berlengan, tetapi cukup membuatnya lebih sopan dan berkarisma. Sepasang mata penuh damba tampak mengawasinya sejak lelaki itu keluar dari area lobby perusahaan. Dia tersenyum simpul, menyadari target sudah ada di depan mata."Jalan!" ucapnya ketika melihat Sean sudah keluar dengan sopir pribadinya dari area parkir perusahaan.Sebuah rumah makan mewah yang telah digunakan untuk meeting sekaligus jamuan makan malam sudah dipadati mobil-mobil mewah d
Salwa berjalan terburu-buru ketika taksi sudah mengantarkannya tepat di depan lobby gedung perkantoran milik Sean Arthur. Perasaannya sudah mulai gelisah, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.Resepsionis tentunya sudah tiada di tempat karena jam pulang sudah terlewat beberapa waktu yang lalu. Hanya security yang berjaga di depan menjadi orang pertama yang Salwa tanyai perihal keberadaan sang suami. Mendengar bahwa Sean baru saja masuk, membuat Salwa segera melebarkan langkah untuk menuju tempat lelaki itu bekerja. Hanya beberapa saat setelah dia memasuki area lobby, Zoe menegurnya."Nyonya Arthur, apa yang Anda lakukan di sini?"Salwa tampak menghela napas panjang, bersyukur bertemu dengan Zoe, bodyguard sekaligus asisten Sean Arthur. "Di mana Tuan Arthur. Apa dia baik-baik saja?"Zoe sempat terkesiap mendengar penuturan Salwa. Sean mengatakan bahwa ia tidak ingin bertemu Salwa dalam kondisi mabuk, tetapi secara kebetulan Salwa justru datang untuk mencari lelaki itu. Zoe mengangguk
Tubuh Salwa masih merasakan gemetar setelah menyaksikan perselingkuhan Sean dan Alin dengan mata kepalanya sendiri. Mata yang sejak tadi telah meloloskan cairan bening telah memanas dan basah karena terlalu banyak menangis.Begitu pintu lift terbuka, Salwa segera memasukkan tubuhnya ke dalam. Menyandarkan punggung di dinding lift yang dingin, tubuh Salwa luruh ke bawah bersamaan pintu lift bergeser menutup kembali. Wajah dibenamkan di antara lutut dan tubuh, menangis sepuasnya, meraung-raung di sana. Hatinya sakit, kecewa, dan masih tidak terima akan kenyataan yang sudah jelas terpampang di depan mata.Sebegitu mudahnya kah Sean berpaling? Apakah pengorbanannya selama ini masih tak pantas membuat seorang Sean Arthur setia hanya kepadanya saja? Dan anak dalam kandungannya, apakah masih tidak cukup sebagai pengikat dan penyempurna hubungan mereka? Lantas, apa yang selama ini Sean katakan kepadanya hanya bualan belaka yang sama sekali tak berbekas di hati lelaki itu?Angka digital yang m
Sean segera menutupi tubuh Salwa dengan selimut. Rasa ketakutan itu semakin menjadi-jadi di kala wajah pucat Salwa terlihat begitu menyedihkan. Tangan kekarnya mengangkat tubuh lemah berbalut selimut tersebut setelah mengenakan celana yang sempat ia tanggalkan semalam.Masih terlalu pagi, tiada seorang pun selain para bodyguard yang ikut menginap di sana juga security. Sean berteriak, menyuruh mereka menyiapkan mobil untuk segera mrmbawa Salwa ke rumah sakit.Dipeluknya tubuh lemah itu dengan erat. Air mata tak sanggup ditahan. Sean menangis, mengecup wajah pasi Salwa berkali-kali, menunjukkan betapa menyesalnya dia. "Percepat mobilnya!" bentak Sean kepada sopir pribadinya.Sean berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Keningnya merasa berat dan pusing ketika ingatannya menggali apa yang terjadi antara dirinya dan Salwa sehingga membuat perempuan itu bisa sampai seperti ini.Dia mendengar Salwa berteriak kesakitan, memkuli serta mencakarnya. Tubuh Sean dengan jelas banyak sekali bek