Tubuh Salwa masih merasakan gemetar setelah menyaksikan perselingkuhan Sean dan Alin dengan mata kepalanya sendiri. Mata yang sejak tadi telah meloloskan cairan bening telah memanas dan basah karena terlalu banyak menangis.Begitu pintu lift terbuka, Salwa segera memasukkan tubuhnya ke dalam. Menyandarkan punggung di dinding lift yang dingin, tubuh Salwa luruh ke bawah bersamaan pintu lift bergeser menutup kembali. Wajah dibenamkan di antara lutut dan tubuh, menangis sepuasnya, meraung-raung di sana. Hatinya sakit, kecewa, dan masih tidak terima akan kenyataan yang sudah jelas terpampang di depan mata.Sebegitu mudahnya kah Sean berpaling? Apakah pengorbanannya selama ini masih tak pantas membuat seorang Sean Arthur setia hanya kepadanya saja? Dan anak dalam kandungannya, apakah masih tidak cukup sebagai pengikat dan penyempurna hubungan mereka? Lantas, apa yang selama ini Sean katakan kepadanya hanya bualan belaka yang sama sekali tak berbekas di hati lelaki itu?Angka digital yang m
Sean segera menutupi tubuh Salwa dengan selimut. Rasa ketakutan itu semakin menjadi-jadi di kala wajah pucat Salwa terlihat begitu menyedihkan. Tangan kekarnya mengangkat tubuh lemah berbalut selimut tersebut setelah mengenakan celana yang sempat ia tanggalkan semalam.Masih terlalu pagi, tiada seorang pun selain para bodyguard yang ikut menginap di sana juga security. Sean berteriak, menyuruh mereka menyiapkan mobil untuk segera mrmbawa Salwa ke rumah sakit.Dipeluknya tubuh lemah itu dengan erat. Air mata tak sanggup ditahan. Sean menangis, mengecup wajah pasi Salwa berkali-kali, menunjukkan betapa menyesalnya dia. "Percepat mobilnya!" bentak Sean kepada sopir pribadinya.Sean berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Keningnya merasa berat dan pusing ketika ingatannya menggali apa yang terjadi antara dirinya dan Salwa sehingga membuat perempuan itu bisa sampai seperti ini.Dia mendengar Salwa berteriak kesakitan, memkuli serta mencakarnya. Tubuh Sean dengan jelas banyak sekali bek
"Jadi, kau menyerah dengan perasaanmu?"Alan meletakkan secangkir kopi di atas meja kecil berbahan kayu yang memisahkan dirinya dengan Sean Arthur. Dia repot-repot meninggaklan pekerjaan di negara asal hanya untuk menemui sahabatnya itu. Menginap di sebuah penthouse yang baru dibeli oleh Sean sebagai hadiah untuk Salwa ke depannya."Dia membenciku." Sean mengusap wajah dengan telapak tangan. Dirinya terlihat berantakan, sangat berbeda dengan kesehariannya yang selalu rapi dan menawan. "Dia ingin berpisah denganku. Tapi, aku tidak bisa hidup tanpanya," imbuh lelaki itu dengan menyugar rambutnya kasar."Aku tahu." Alan menyesap kopi, membiarkan uap air mengepul di depan wajahnya. "Aku sudah menyadarinya sejak lama. Kau akan kalah dan menyadari perasaanmu kepadanya.""Aku sudah mengutarakan kepadanya berulang kali, tapi dia tidak percaya." Sean tampak seperti orang linglung, bingung harus melakukan apa. Separuh nyawanya telah tertinggal bersamaan penolakan Salwa kepadanya. "Dia melihatku
Hanya beberapa detik bibir itu menempel, tetapi Salwa segera menundukkan wajah. Sean selalu mencari kesempatan, tidak peduli Salwa sedang marah ataupun kesal dengannya. Dia akan melakukan apa yang menjadi keinginannya meskipun dengan jelas Salwa akan menolak."Kau ingin berkeliling?"Mata bulat mengerjap, masih bingung dengan apa yang Sean utarakan. Namun, pergerakan lelaki itu selanjutnya membuat ia memahami akan maksud sesungguhnya. Sean membungkuk, menekuk kedua kaki dengan posisi memunggungi Salwa. "Naiklah! Aku akan mengajakmu berkeliling. Aku tahu jika dokter melarangmu banyak bergerak. Jadi, naik ke punggungku lagi."Salwa menggeleng. Sean selalu seperti ini, bersikap manis setelah melakukan kesalahan. Dia akan melakukan apa saja sampai Salwa merasa nyaman dengannya lagi, memaafkan dan melupakan apa yang menjadi kesalahannya. Lalu, dalam beberapa waktu ia akan mengulanginya lagi. Sungguh, Salwa sangat takut dengan sikap Sean yang berubah-ubah. Dia takut akan kemunculan Sean ya
"Sudah cukup! Kau tidak perlu memakannya. Kita ... makan di luar." Sean memindahkan meja kecil serta nasi goreng buatannya dari pangkuan Salwa, menahan perempuan itu agar tidak melanjutkan makan. Kalau dia sendiri tidak mampu menghabiskan hanya satu suapan, bagaimana mungkin ia menyuruh Salwa menghabiskan makanan itu sendirian."Tapi, ....""Sudahlah! Aku ingin kau dan anakku memakan sesuatu yang bergizi daripada hanya sepiring nasi goreng," ucap Sean dengan mengangkat tubuh Salwa, memindahkannya ke atas kursi roda.Salwa hanya bisa pasrah ketika lelaki itu mendorong kursi roda yang ia kenakan menuju lift yang akan membawanya ke lantai bawah. Ya, Salwa tidak menggunakan tangga lagi semenjak memakai kursi roda.Sebuah restoran yang berada tak jauh dari area apartemen menjadi tujuan Sean kali ini. Tidak terlalu banyak orang yang datang, mungkin mereka terlalu pagi yang sebenarnya orang lebih banyak melakukan sarapan pagi di rumah masing-masing.Sebuah menu yang terdaftar di buku hardco
Beberapa hari terlewati dengan baik. Sean tidak pernah lagi menunjukkan sikap tempramennya semenjak tinggal berdua dengan Salwa. Apa pun yang lelaki itu kerjakan, dia tidak lagi menggunakan emosi. Atau lebih tepatnya dia menahan semua jika Salwa berada di depannya. Namun, itu tidak terjadi jika dia sedang bekerja di ruangannya sendiri. Dengan membatasi sebuah peredam suara, teriakan dan amukan yang ia lakukan ketika berhubungan dengan pekerjaan, yaitu di saat melakukan panggilan telepon maupun meeting secara virtual tak akan terdengar dari luar ruangan.Salwa mulai memahami bagaimana karakter suaminya. Dengan beberapa kali melihat Sean marah, ia mencoba mengalihkan perhatian lelaki itu dengan bersikap lembut. Amarah Sean seketika mereda di kala Salwa memeluk untuk menenangkannya. Lelaki itu juga akan merasa tidak berdaya ketika Salwa mendiamkannya. Sean yang tampak kuat dan ditakuti ternyata adalah pria rapuh tanpa ada yang mengetahui. Kehilangan kasih sayang sejak kecil membuatnya t
"Hem, kau bisa membantuku melakukannya dengan ...." Sean berbisik lirih, membuat Salwa melebarkan mata mendengarnya. Wajah perempuan itu merona, tak menyangka akan melakukan hal yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, melihat lelaki itu tampak tersiksa, tiada pilihan lain selain ... menurutinya.***Sean mengenakan jubah tidurnya kembali setelah menutupi tubuh Salwa dengan selimut sebatas leher. Senyum menawan tampak terbit di bibirnya. Ada rasa kepuasan yang sudah beberapa minggu ini tidak ia rasakan. Salwa ternyata mau melakukan hal itu untuknya meski kondisi perempuan itu belum sepenuhnya sehat.Kini, Salwa tengah tertidur pulas setelah malam panjang yang keduanya lewati bersama. Sean mengambil benda pipih digital yang berada di atas nakas, mengetikkan sebuah pesan kepada seseorang yang segera dibalas dengan panggilan telepon."Tuan Arthur!" Terdengar suara dari seberang sana yang memanggil nama Sean dengan hormat."Kau bisa memulainya besok pagi. Aku tidak ingin bocah i
Duduk bersandar dengan menaikkan sebelah kakinya, Sean menatap sosok yang masih terbaring lemah dengan mata tertutup di atas ranjang perawatan. Sekembali dari Indonesia, Sean menuju rumah sakit di mana Abust dirawat."Dia masih berada dalam pengaruh obat tidur. Dia terlalu keras kepala untuk segera keluar dari rumah sakit, padahal tubuhnya masih begitu lemah sehingga kami memaksanya tidur dengan menggunakan obat."Sean mengembuskan napas, menatap lurus ke arah Abust. Tubuh lelaki itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Sean tidak menyangka jika berada dalam posisi seperti ini. Meski sorot matanya mengarah ke depan, tetapi pikirannya berjalan mundur jauh ke belakang, yaitu ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Abust dan memutuskan untuk mengangkatnya sebagai saudara.Sean yang merupakan anak tunggal dari sepasang suami istri dari pengusaha kaya tidak memiliki teman yang benar-benar tulus menemaninya. Hingga pada suatu saat, yaitu ketika usia Sean masih tujuh tahun, seorang wan
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan