"Hem, kau bisa membantuku melakukannya dengan ...." Sean berbisik lirih, membuat Salwa melebarkan mata mendengarnya. Wajah perempuan itu merona, tak menyangka akan melakukan hal yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, melihat lelaki itu tampak tersiksa, tiada pilihan lain selain ... menurutinya.***Sean mengenakan jubah tidurnya kembali setelah menutupi tubuh Salwa dengan selimut sebatas leher. Senyum menawan tampak terbit di bibirnya. Ada rasa kepuasan yang sudah beberapa minggu ini tidak ia rasakan. Salwa ternyata mau melakukan hal itu untuknya meski kondisi perempuan itu belum sepenuhnya sehat.Kini, Salwa tengah tertidur pulas setelah malam panjang yang keduanya lewati bersama. Sean mengambil benda pipih digital yang berada di atas nakas, mengetikkan sebuah pesan kepada seseorang yang segera dibalas dengan panggilan telepon."Tuan Arthur!" Terdengar suara dari seberang sana yang memanggil nama Sean dengan hormat."Kau bisa memulainya besok pagi. Aku tidak ingin bocah i
Duduk bersandar dengan menaikkan sebelah kakinya, Sean menatap sosok yang masih terbaring lemah dengan mata tertutup di atas ranjang perawatan. Sekembali dari Indonesia, Sean menuju rumah sakit di mana Abust dirawat."Dia masih berada dalam pengaruh obat tidur. Dia terlalu keras kepala untuk segera keluar dari rumah sakit, padahal tubuhnya masih begitu lemah sehingga kami memaksanya tidur dengan menggunakan obat."Sean mengembuskan napas, menatap lurus ke arah Abust. Tubuh lelaki itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Sean tidak menyangka jika berada dalam posisi seperti ini. Meski sorot matanya mengarah ke depan, tetapi pikirannya berjalan mundur jauh ke belakang, yaitu ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Abust dan memutuskan untuk mengangkatnya sebagai saudara.Sean yang merupakan anak tunggal dari sepasang suami istri dari pengusaha kaya tidak memiliki teman yang benar-benar tulus menemaninya. Hingga pada suatu saat, yaitu ketika usia Sean masih tujuh tahun, seorang wan
Perusahaan pesaing yang beberapa waktu lalu hampir menghancurkan apa yang telah Sean bangun mulai berulah lagi. Sayangnya sampai sekarang belum jelas siapa yang telah melakukan itu semua. Mereka begitu piawai dalam bekerja, tak meninggalkan jejak sedikit pun untuk dikenali.Sean berpikir, ia akan menemukan siapa pelakunya setelah ia ikut campur tangan sendiri saat ini. Personil ahli IT digerakkan seluruhnya, berusaha menemukan titik temu yang membuat mereka seperti orang lemah. Mulai bekerja lembur, meningkatkan kualitas system agar tidak mudah diretas kembali.***Seorang pria berusia sekitar hampir setengah abad tampak duduk tenang di sebuah kursi di ruangan itu. Dia menaikkan satu kaki, tak lantas berbicara dengan seorang pria yang masih tertidur di depannya. Ia hanya duduk, menunggu dengan sabar, tanpa ingin mengganggu lelapnya pria tersebut. Hingga ketika rasa kantuk menghilang, kelopak mata mengerjap, menandakan kesadaran telah berhasil merasuk pada diri lelaki itu.Senyum tersu
Mata bulat tambak membeliak terkejut, bibirnya bergetar dengan wajah yang tiba-tiba pucat pasi. Dia bergerak mundur, berusaha menjauh dari lelaki di depannya."Hai, kenapa kau takut? Apa yang terjadi kepadamu?"Yang Pohan mengernyit, menatap Salwa yang berubah sikap kepadanya. Seharusnya perempuan itu tersenyum dan menyambut dirinya dengan baik. Bukankah ia sudah banyak berbuat untuk Salwa. "Tuan ... Yang, kau ....""Iya, ini aku. Kenapa kau takut? Apa kau sudah tahu tentangku?"Belum sempat Salwa menjawab, kakinya lebih cepat bergerak. Ia lebih memilih berlari menjauh, meinggalkan Yang Pohan, tetapi tentu pergerakannya kalah cepat dibanding dengan lelaki itu. Hingga lengannya dengan mudah dicekal oleh Yang Pohan."Karena kau sudah tahu, aku tidak akan melepaskanmu lagi," ucapnya dengan membungkam mulut Salwa menggunakan sebuah sapu tangan.***Sean masih mencoba menghubungi Salwa, tapi tak kunjung berhasil. Lelaki berwajah tegas tampak mendengkus, merasa ada hal yang terjadi terhada
Semua anak buah dikerahkan, tetapi Salwa tak kunjung ditemukan. Ponsel yang mereka cari justru ada di pos pengaduan, ditemukan oleh security setempat.Sean meremas rambutnya, berteriak lantang. Salwa, Salwa, Salwa, hanya nama itu yang sejak tadi membelenggu pikirannya. Dia bisa gila jika tak kunjung menemukan perempuan itu. Bekerja keras selama ini dia lakukan hanya karena ingin secepatnya menjemput Salwa, menemani sang istri di masa kehamilannya. Ia ingin menyenangkan perempuan itu yang belum merasakan bagaimana menjadi seorang Nyonya Arthur sesungguhnya.Sean tidak bisa berpikir jernih. Kebingungan kerap kali melanda jika dihadapkan dengan keselamatan Salwa. Berteriak, memaki, memarahi, juga menendang apa saja yang ada di hdapannya. "Periksa CCTV!" perintahnya setelah mengeluarkan amarah yang menggebu di dada.Semua orang segera menuruti, bertindak cepat untuk memeriksa rekaman kamera pengawas demi mencari keberadaan Salwa.Hampir lima belas menit berlalu, Sean sudah tidak bisa lag
"Maksud Tuan?"Salwa ternganga mendengar penuturan mengerikan yang baru saja terucap dari bibir Yang Pohan. Menghabiskan malam berdua tanpa ada yang mengganggu? Apa yang sesungguhnya lelaki itu inginkan?"Tentu kau tahu maksudku. Malam ini, di kamar ini, kita berdua ... tidak ada yang lain."Iris hitam membulat, tatkala lelaki itu tanpa bertanya mengangkat tubuh Salwa, membawa perempuan itu dalam gendongannya. Salwa berteriak, memukul-mukul tubuh Yang Pohan tiada henti. Hingga lelaki itu menurunkannya tepat berbaring di atas ranjang. Dia ingin segera bangkit, tetapi tangan lelaki itu mendorong bahunya lagi. Tubuh yang sempat beranjak, berakhir tumbang di atas kasur dengan mata membeliak marah.Wajahnya memanas menatap lelaki yang kini telah menanggalkan pakaian atasnya tanpa ragu. Mencoba melarikan diri, tetapi pergerakan tubuhnya tertahan oleh lengan lelaki itu secara tiba-tiba.Tubuh perempuan itu tampak indah dengan lekuk yang menggoda. Tiada goresan yang sedikit pun membekas bera
Ruangan yang tercium bau desinfektan bercampur karbol, terdapat dua orang yang sedang bersitegang. Di antara mereka, ada seorang wanita berumur yang tengah terbaring lemah dengan banyak kabel-kabel penunjang kesehatan berserakan di atas tubuhnya. Salah seorang laki-laki tampak tersenyum, tetapi senyumannya begitu menyedihkan."Sudah ketemu siapa pendonor jantung yang cocok?"Seorang laki-laki masih menunduk, tetapi mengangguk tanpa berani memandang sosok di depannya. "Kami sudah mendapatkan riwayatnya dan sangat cocok dengan apa yang kita butuhkan. Kami akan membawanya segera."Ibu jari mengusap bibir, menunjukkan senyum tipis kemudian. "Cepat laksanakan! Kita membutuhkannya untuk melakukan banyak observasi sebelum transplantasi itu dilakukan."***Yang Pohan memeluk Salwa, seolah tak rela membiarkan tubuh itu beralih ke atas brankar. Sangat jarang ada kesempatan memeluk wanita itu sesukanya seperti saat ini jika Salwa dalam kondisi sadar. Namun, tiada yang bisa ia lakukan selain menu
Wajah Sean tampak pasi, begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ia menolak untuk dibius secara total karena takut tertidur cukup lama dan melupakan Salwa. Alan hanya bisa mendengkus, kekeraskepalaan Sean ini cukup membuat lelaki itu membahayakan nyawanya sendiri. Sean seharusnya dalam kondisi tidur, berbaring setelah proses menjahit luka tembak untuk mempercepat pemulihan. Namun, alih-alih beristirahat, Sean justru menggunakan waktunya untuk mencari keberadaan Salwa."Cari tahu tentang laki-laki itu, Anders Ramunsen." Wajah pucatnya sungguh terlihat. Alan semakin mencemaskan konsdisi lelaki itu, tak menghiraukan kesehatannya, justru bekerja keras dan memforsir pikirannya.Di sisi lain, penembak jitu yang dikerahkan oleh Yang Pohan berhasil menangkap dua orang asing mencurigakan yang sempat kabur menggunakan parasut. Mereka meringkuk menahan sakit di bagian lengan serta kaki.Malam itu yang sehrusnya digunakan untuk beristirahat, justru menjadi malam mencekam yang penuh dengan
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan