Sean menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. Mata berkunang-kunang, merasa pusing dengan beberapa kali menggelengkan kepala demi meraup kesadaran agar dirinya tetap terjaga.Alan tetap setia memeriksa detak jantung, luka yang tertutup perban tebal di tubuh lelaki itu. Bahkan, dia memberikan perban dengan berlebih agar luka menganga itu tak terusik sebab pergerakan Sean yang terkadang di luar batas kendali. Meskipun Alan sudah memperingatkan, namun Sean masih saja bebal untuk menuruti semua perkataannya.Hingga ketika pintu ruangan itu dibuka secara diam-diam dari luar, tatapan mereka mengarah pada satu sosok yang sama. "Pohan!" ucap Sean setelah melihat Yang Pohan lah yang berada di sana.Lelaki bermata sipit menatap Sean dengan sesekali menghela napas panjang, merasa tidak perlu lagi menahan diri untuk bekerja sama. Dalam benaknya kini, dia hanya ingin Salwa kembali. Melihat bagaimana kesakitan wanita itu saat berada dalam pelukannya, membuat hatinya terluka. Ada rasa ingin melindungi,
Asap tiba-tiba mengepul dari satu sisi, membuat tatapan semua orang mengarah ke satu tujuan. Sebuah selang yang entah bersumber dari mana mengeluarkan asap tebal yang makin lama memenuhi ruangan tersebut. Mereka membungkam mulut menggunakan tangan atau apa pun yang bisa menyelamatkan pernapasan, karena yang dihirup terlalu banyak mengandung zat karbon monoksida.Tampak beberapa anak buah Sean terbatuk-batuk, merasakan tenggorokan tercekat akibat udara kotor mencemari pernapasan. Sean dan beberapa orang tampak berusaha memecahkan kaca jendela yang ternyata tidak bisa dibuka. Hanya sebuah aksesori yang ditempel sebagai dinding agar cahaya matahari bisa menembus dan menerangi ruangan.Beberapa kaca jendela pecah, membuat udara dan kepulan asap sedikit demi sedikit keluar, tetapi mereka masih belum bisa keluar dari ruangan itu. Begitu udara dari area luar masuk ke dalam, menggantikan asap pekat, karbon monoksida yang keluar dari selang tersebut makin banyak. Sedikit pemantik api, mampu me
Seketika sekujur tubuh Salwa membeku. Abust, lelaki yang selama ini sangat ia hindari. Lelaki yang sempat melecehkannya, menyiksanya kini justru berdiri di hadapannya. Dia yang sebelumnya berbaring telah mengganti posisi menjadi duduk, beringsut menjauh. Namun, jelas pergerakannya terentak ke dinding."Jangan mendekat!""Ssssstt!" Jemari Abust menekan bibir Salwa, memberi peringatan perempuan itu agar tidak banyak bicara. Dia sudah kesusahan untuk mencapai tempat itu, sembunyi-sembunyi dengan menyamar sebagai orang Ramunsen. Tidak lucu, bukan jika usahanya untuk menemukan Salwa sia-sia karena perempuan itu takut kepadanya. Abust hampir tertangkap ketika menyadari Salwa berada di ruangan itu. Ia masuk dengan hati-hati di kala dokter bersneli putih tampak menjentikkan jari untuk menyedot cairan di tabung kecil. Dia berpikir keras, bagaimana agar dokter tersebut pergi dan membuatnya mudah untuk membawa Salwa lari. Sehingga ketika ia melihat seekor cicak menempel di dinding, secara implu
Tubuh yang semula terbaring lemah kini tampak bergerak, seolah terlihat kesakitan setelah Sean menancapkan pisau itu tepat di jantungnya. Semua orang menatap dengan tegang, menyadari bahwa si pemilik tubuh tengah meregang nyawa.Ramunsen menggertakkan gigi, berdiri dari duduknya, menghardik Sean yang baru saja mencabut pisau itu tanpa ragu."Biadab!" Dia beranjak dari kursi, melangkah ke arah Sean Arthur, lalu menendang keras tubuh lelaki itu.Tendangan itu tepat mengenai dada Sean, menggesek luka yang telah diperban tebal oleh Alan. Lelaki itu terjerembab, mengusap bagian atas dada yang terasa nyeri kesakitan.Tentu Ramunsen menyadari jika bekas tembak yang pernah ia letupkan ke tubuh Sean Arthur belum sepenuhnya sembuh. Bahkan, lelaki itu baru dua hari yang lalu terkena luka tembak yang cukup serius sehingga ia akan memfokuskan pukulan-pukulannya ke area tersebut.Sean ingin berdiri, tetapi segera ditepis dengan kasar oleh tangan Ramunsen. Pria itu mendorong Sean dengan memukul bagi
Abust masih mempertahankan tangan Salwa di sana. Perempuan itu seolah hampir menyerah, merasakan tangannya sudah tidak bertenaga untuk mencengkeram tangan Abust. Tentu saja perasaan takut juga paranoid menghantui diri Salwa. Tubuhnya tak berdaya dengan terombang-ambing di udara. Kaki tak bisa digerakkan, hanya mengandalkan satu tangan yang kini digenggam erat oleh Abust dari atas. Perutnya pun terasa sakit. Beberapa kali benturan ringan di dinding beton tampak menyakiti dirinya. Ia merasa sudah lelah, tidak sanggup bertahan lagi. Salwa memejamkan mata, ketika merasakan cairan hangat membasahi bagian bawah tubuhnya. Ia menangis, menyadari ada hal buruk yang menimpa janinnya. Ya, Tuhan, bagaimana dia harus bersikap. Mempertahankan hidupnya saja dia tidak sanggup, apalagi harus menyelamatkan anak dalam kandungan.Apakah ini benar-benar rencana Tuhan? Begitu susah payah dirinya mempertahankan kandungan, hanya karena satu kecerobohan membuatnya harus kehilangan janin di usia enam bulan. B
Di dalam gendongan Sean, darah terus saja menetes dari bagian bawah tubuh Salwa, rasa sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada kontraksi hebat yang membuat perutnya keram dengan tulang terpatah-patah. Tangan yang melingkar di tubuh Sean semakin ia eratkan dengan beberapa kali suara desis kesakitan acapkali keluar dari bibirnya."Tu-an, sakit." Suaranya terdengar lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Sean hanya mampu mempercepat langkah agar segera mencapai pintu elevator yang akan membawa mereka ke lantai dasar."Bertahanlah! Semuanya akan baik-baik saja." Sungguh tiada yang bisa Sean lakukan. Lelaki itu cukup paham kondisi Salwa. Berkali-kali ia mencari tahu tentang bagaimana kesulitan seorang wanita dalam mengandung dan melahirkan anak, dan ia mengerti jika kesakitan yang Salwa rasakan ini pastilah sangat luar biasa.Meskipun tubuh Sean sendiri tidak dalam kondisi baik-baik saja, tetapi lelaki itu tidak pernah sekali pun menunjukkan kepada Salwa agar perempuan itu tidak
Hidup itu tak lain adalah sebuah rahasia. Kita bisa mengetahui apa yang sudah terjadi, namun yang di depan mata masih tetap menjadi sebuah misteri Illahi. Para manusia angkuh akan berseloroh bahwa mereka bisa menguasai dunia, menaklukan segala isinya, tetapi mereka terlupa ada tangan Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan penggenggam rahasia.Begitupun dengan kematian, sesuatu yang teramat dihindari oleh yang hidup, tetapi bisa datang kapan pun jika waktu telah menjemput. Berulang kali Sean berbolak-balik ke sana kemari hanya demi menenangkan hati di kala pintu ruangan operasi belum juga menampakkan tanda-tanda terbuka. Apakah Salwa baik-baik saja, ataukah perempuan itu benar-benar akan meninggalkannya?Dia sudah tidak memiliki keluarga lain selain Salwa. Ia merasakan menjadi seorang berguna dan menjadi laki-laki sesungguhnya di kala perempuan itu bersamanya. Takdir sungguh lucu, ketika ia merasa tak membutuhkan sebuah hubungan hanya demi memuaskan nafsu, Tuhan mengirimkan Salwa untu
Ada kalanya rasa ingin memiliki begitu tinggi. Namun, semua itu terkait akan obsesi berlebih. Tuhan begitu mencintai makhluknya, meski mereka tidak pernah menyadari dan mensyukuri. Namun percayalah, setiap apa yang menimpa, akan ada hikmah tersembunyi di balik suatu perkara.Tubuh itu dipeluk dengan erat, tak membiarkan semua orang mendekat, seolah dimensi waktu yang sedang memerangkap tak membiarkan sedikit pun mengambil alih sosok terbaring dalam dekapannya.Alan menghentikan rintihan lelaki itu. Tak ingin membuat gaduh dengan menahannya, sedikit mengguncang bahu. Jelas apa yang diratapi Sean tidak mungkin kembali. Salwa telah tiada, meninggalkan dunia dengan segala kenangan yang sempat dilewati bersama sahabatnya itu.Sean mengempaskan tangan Alan, mempertahankan Salwa dalam rengkuhan. Tubuh perempuan itu masih hangat, seolah pembuluh darahnya tetap bekerja setelah berhenti sesaat.Sean merasakan itu, menganggap Salwa tertidur dalam buaian, karena terlampau lelah akan sakit yang di