Tubuh yang semula terbaring lemah kini tampak bergerak, seolah terlihat kesakitan setelah Sean menancapkan pisau itu tepat di jantungnya. Semua orang menatap dengan tegang, menyadari bahwa si pemilik tubuh tengah meregang nyawa.Ramunsen menggertakkan gigi, berdiri dari duduknya, menghardik Sean yang baru saja mencabut pisau itu tanpa ragu."Biadab!" Dia beranjak dari kursi, melangkah ke arah Sean Arthur, lalu menendang keras tubuh lelaki itu.Tendangan itu tepat mengenai dada Sean, menggesek luka yang telah diperban tebal oleh Alan. Lelaki itu terjerembab, mengusap bagian atas dada yang terasa nyeri kesakitan.Tentu Ramunsen menyadari jika bekas tembak yang pernah ia letupkan ke tubuh Sean Arthur belum sepenuhnya sembuh. Bahkan, lelaki itu baru dua hari yang lalu terkena luka tembak yang cukup serius sehingga ia akan memfokuskan pukulan-pukulannya ke area tersebut.Sean ingin berdiri, tetapi segera ditepis dengan kasar oleh tangan Ramunsen. Pria itu mendorong Sean dengan memukul bagi
Abust masih mempertahankan tangan Salwa di sana. Perempuan itu seolah hampir menyerah, merasakan tangannya sudah tidak bertenaga untuk mencengkeram tangan Abust. Tentu saja perasaan takut juga paranoid menghantui diri Salwa. Tubuhnya tak berdaya dengan terombang-ambing di udara. Kaki tak bisa digerakkan, hanya mengandalkan satu tangan yang kini digenggam erat oleh Abust dari atas. Perutnya pun terasa sakit. Beberapa kali benturan ringan di dinding beton tampak menyakiti dirinya. Ia merasa sudah lelah, tidak sanggup bertahan lagi. Salwa memejamkan mata, ketika merasakan cairan hangat membasahi bagian bawah tubuhnya. Ia menangis, menyadari ada hal buruk yang menimpa janinnya. Ya, Tuhan, bagaimana dia harus bersikap. Mempertahankan hidupnya saja dia tidak sanggup, apalagi harus menyelamatkan anak dalam kandungan.Apakah ini benar-benar rencana Tuhan? Begitu susah payah dirinya mempertahankan kandungan, hanya karena satu kecerobohan membuatnya harus kehilangan janin di usia enam bulan. B
Di dalam gendongan Sean, darah terus saja menetes dari bagian bawah tubuh Salwa, rasa sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada kontraksi hebat yang membuat perutnya keram dengan tulang terpatah-patah. Tangan yang melingkar di tubuh Sean semakin ia eratkan dengan beberapa kali suara desis kesakitan acapkali keluar dari bibirnya."Tu-an, sakit." Suaranya terdengar lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Sean hanya mampu mempercepat langkah agar segera mencapai pintu elevator yang akan membawa mereka ke lantai dasar."Bertahanlah! Semuanya akan baik-baik saja." Sungguh tiada yang bisa Sean lakukan. Lelaki itu cukup paham kondisi Salwa. Berkali-kali ia mencari tahu tentang bagaimana kesulitan seorang wanita dalam mengandung dan melahirkan anak, dan ia mengerti jika kesakitan yang Salwa rasakan ini pastilah sangat luar biasa.Meskipun tubuh Sean sendiri tidak dalam kondisi baik-baik saja, tetapi lelaki itu tidak pernah sekali pun menunjukkan kepada Salwa agar perempuan itu tidak
Hidup itu tak lain adalah sebuah rahasia. Kita bisa mengetahui apa yang sudah terjadi, namun yang di depan mata masih tetap menjadi sebuah misteri Illahi. Para manusia angkuh akan berseloroh bahwa mereka bisa menguasai dunia, menaklukan segala isinya, tetapi mereka terlupa ada tangan Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan penggenggam rahasia.Begitupun dengan kematian, sesuatu yang teramat dihindari oleh yang hidup, tetapi bisa datang kapan pun jika waktu telah menjemput. Berulang kali Sean berbolak-balik ke sana kemari hanya demi menenangkan hati di kala pintu ruangan operasi belum juga menampakkan tanda-tanda terbuka. Apakah Salwa baik-baik saja, ataukah perempuan itu benar-benar akan meninggalkannya?Dia sudah tidak memiliki keluarga lain selain Salwa. Ia merasakan menjadi seorang berguna dan menjadi laki-laki sesungguhnya di kala perempuan itu bersamanya. Takdir sungguh lucu, ketika ia merasa tak membutuhkan sebuah hubungan hanya demi memuaskan nafsu, Tuhan mengirimkan Salwa untu
Ada kalanya rasa ingin memiliki begitu tinggi. Namun, semua itu terkait akan obsesi berlebih. Tuhan begitu mencintai makhluknya, meski mereka tidak pernah menyadari dan mensyukuri. Namun percayalah, setiap apa yang menimpa, akan ada hikmah tersembunyi di balik suatu perkara.Tubuh itu dipeluk dengan erat, tak membiarkan semua orang mendekat, seolah dimensi waktu yang sedang memerangkap tak membiarkan sedikit pun mengambil alih sosok terbaring dalam dekapannya.Alan menghentikan rintihan lelaki itu. Tak ingin membuat gaduh dengan menahannya, sedikit mengguncang bahu. Jelas apa yang diratapi Sean tidak mungkin kembali. Salwa telah tiada, meninggalkan dunia dengan segala kenangan yang sempat dilewati bersama sahabatnya itu.Sean mengempaskan tangan Alan, mempertahankan Salwa dalam rengkuhan. Tubuh perempuan itu masih hangat, seolah pembuluh darahnya tetap bekerja setelah berhenti sesaat.Sean merasakan itu, menganggap Salwa tertidur dalam buaian, karena terlampau lelah akan sakit yang di
Hari ketujuh pasca keguguran terjadi. Salwa belum juga membuka mata. Perempuan itu seolah betah tertidur dalam buaian, menikmati waktu beristirahat dan tak memedulikan orang-orang di sekitar yang menungguinya sadar.Sean menunggu dengan sabar, tak mengapa jika perempuan itu tertidur pulas asalkan ada harapan untuk tetap hidup bersama."Sean, waktunya mengganti perban lukamu." Alan mengingatkan, memasuki ruang perawatan Salwa untuk menemui lelaki itu."Tidak bisakah kau menggantinya di sini? Aku ingin saat pertama kali dia membuka mata, akulah yang dilihat pertama kali," ucap Sean tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah pucat Salwa.Begitu rindunya dia, menangkup tangan sang istri dan beberapa kali mengecupnya. Dia rindu mata itu terbuka, memanggil dirinya dengan langgam, lalu memeluk tubuh kurus itu erat. Tapi, kapan?"Kau juga harus melakukan serangkaian tes untuk melihat perkembangan tubuhmu. Aku tidak mungkin membawa alat dari ruang radiologi kemari hanya untuk memeriksa satu pas
Sean memandang bola mata bulat yang sedikit mengerjap itu dengan tatapan penuh, memahami betapa khawatir Salwa akan kondisi janinnya. Perempuan itu pasti lebih syok daripada dirinya. Dia yang membawa anak itu ke mana-mana, mengusapnya setiap malam, menantikan kelahiran anak itu ke dunia. Namun, apa yang sudah ia lambungkan harapan, ternyata tidak tersampaikan.Tangan besar Sean mengusap kepala Salwa, lalu membingkai wajah yang sedikit tirus itu menggunakan kedua telapak tangan. Sebuah kecupan hangat dilabuhkan ke kening Salwa, menekan sedikit lama bibir itu di sana."Dia sangat cantik, sama sepertimu." Bibir Salwa melebarkan senyum mendengar perkataan Sean. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dan menggendong sang anak. Namun, kalimat Sean selanjutnya mengurungkan niatnya untuk melakukan hal tersebut. "Tuhan lebih menyayanginya. Dia sudah bahagia di sana."Senyum yang semula merekah berubah menciut, menggeleng perlahan. Buliran bening sudah tak bisa ia ditahan lagi, lolos begitu saja t
"Alan!" Sean mengempaskan tubuhnya ke kursi dengan nyaman, berada di dalam ruangan Alan. Wajah lelaki itu tampak tidak bahagia, seolah banyak hal yang sedang bergelayut dalam pikiran. Alan cukup memahami tingkah laku temannya itu. Menepikan sejenak berkas yang ada di atas meja, lalu memberi perhatian penuh pada sosok yang tengah dirundung pilu."Sepertinya aku harus mendengar drama hari ini."Sean berdecak. Dia paling tidak suka jika ada yang menganggap remeh permasalahan yang tengah ia hadapi. Kepalanya cukup pusing memikirkan perkataan Yang Pohan. Seolah otaknya yang cerdas mendadak tumpul ketika dilibatkan dengan masalah hati serta memahami perempuan."Kau tahu, bukan, jika Salwa telah siuman?" tanya Sean memulai pembicaraan. Alan menanggapi dengan mengangguk, lantas bersedekap dengan menyandarkan tubuh di kursi putar berpunggung panjang. "Lalu?"Sean tampak mengembuskan napas kasar, lantas menjawab pertanyaan Alan dengan malas. "Salwa terbangun setelah Pohan menciumnya. Aku men