Hari ketujuh pasca keguguran terjadi. Salwa belum juga membuka mata. Perempuan itu seolah betah tertidur dalam buaian, menikmati waktu beristirahat dan tak memedulikan orang-orang di sekitar yang menungguinya sadar.Sean menunggu dengan sabar, tak mengapa jika perempuan itu tertidur pulas asalkan ada harapan untuk tetap hidup bersama."Sean, waktunya mengganti perban lukamu." Alan mengingatkan, memasuki ruang perawatan Salwa untuk menemui lelaki itu."Tidak bisakah kau menggantinya di sini? Aku ingin saat pertama kali dia membuka mata, akulah yang dilihat pertama kali," ucap Sean tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah pucat Salwa.Begitu rindunya dia, menangkup tangan sang istri dan beberapa kali mengecupnya. Dia rindu mata itu terbuka, memanggil dirinya dengan langgam, lalu memeluk tubuh kurus itu erat. Tapi, kapan?"Kau juga harus melakukan serangkaian tes untuk melihat perkembangan tubuhmu. Aku tidak mungkin membawa alat dari ruang radiologi kemari hanya untuk memeriksa satu pas
Sean memandang bola mata bulat yang sedikit mengerjap itu dengan tatapan penuh, memahami betapa khawatir Salwa akan kondisi janinnya. Perempuan itu pasti lebih syok daripada dirinya. Dia yang membawa anak itu ke mana-mana, mengusapnya setiap malam, menantikan kelahiran anak itu ke dunia. Namun, apa yang sudah ia lambungkan harapan, ternyata tidak tersampaikan.Tangan besar Sean mengusap kepala Salwa, lalu membingkai wajah yang sedikit tirus itu menggunakan kedua telapak tangan. Sebuah kecupan hangat dilabuhkan ke kening Salwa, menekan sedikit lama bibir itu di sana."Dia sangat cantik, sama sepertimu." Bibir Salwa melebarkan senyum mendengar perkataan Sean. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dan menggendong sang anak. Namun, kalimat Sean selanjutnya mengurungkan niatnya untuk melakukan hal tersebut. "Tuhan lebih menyayanginya. Dia sudah bahagia di sana."Senyum yang semula merekah berubah menciut, menggeleng perlahan. Buliran bening sudah tak bisa ia ditahan lagi, lolos begitu saja t
"Alan!" Sean mengempaskan tubuhnya ke kursi dengan nyaman, berada di dalam ruangan Alan. Wajah lelaki itu tampak tidak bahagia, seolah banyak hal yang sedang bergelayut dalam pikiran. Alan cukup memahami tingkah laku temannya itu. Menepikan sejenak berkas yang ada di atas meja, lalu memberi perhatian penuh pada sosok yang tengah dirundung pilu."Sepertinya aku harus mendengar drama hari ini."Sean berdecak. Dia paling tidak suka jika ada yang menganggap remeh permasalahan yang tengah ia hadapi. Kepalanya cukup pusing memikirkan perkataan Yang Pohan. Seolah otaknya yang cerdas mendadak tumpul ketika dilibatkan dengan masalah hati serta memahami perempuan."Kau tahu, bukan, jika Salwa telah siuman?" tanya Sean memulai pembicaraan. Alan menanggapi dengan mengangguk, lantas bersedekap dengan menyandarkan tubuh di kursi putar berpunggung panjang. "Lalu?"Sean tampak mengembuskan napas kasar, lantas menjawab pertanyaan Alan dengan malas. "Salwa terbangun setelah Pohan menciumnya. Aku men
Salwa mengerjapkan mata, merasakan sesuatu memeluk perutnya. Ia sudah terlalu terimpit, berada di sisi ranjang paling tepi. Sementara di belakangnya Sean dengan tidak tahu malu ikut berbaring di ranjang yang sama. Tubuh besar itu membuat ranjang perawatan yang seharusnya cukup ditempati satu orang, menjadi sesak karena ia harus berbagi tempat dengan suaminya.Sean cukup sadar dengan tak melakukan apa-apa kepada Salwa, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidur sendiri-sendiri di ranjang yang berbeda. Selama ada sela di tempat Salwa, ia akan ikut berbaring di sana, memeluk perempuan itu sepuas hati seperti yang sebelumnya ia lakukan.Seorang perawat yang kebetulan bertugas mengganti cairan infus tampak terkejut melihat pasangan aneh dengan wajah merona malu yang ditunjukkan Salwa kepadanya. Perempuan itu seakan pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa dengan kelakuan absurd sang suami. Namun, perawat itu cukup maklum, tetap mempertahankan senyum, membutakan diri akan apa yang terlihat di d
Sean merenungkan ucapan Alan terkait dengan masalah Salwa. Dia tak menafikan bahwa semua yang dikatakan Alan sangat logis dan bisa diterima akal sehatnya. Namun, dirinya masih bingung, bagaimana cara menyampaikan semua itu kepada Salwa. Sean menyadari jika ia terlalu banyak memberikan kesedihan kepada perempuan itu. Dan sebuah pesta pernikahan dengan mempertunjukkan hubungannya di depan umum merupakan hadiah kejutan yang akan ia berikan sebagai pelipur lara di hati Salwa. Namun, setelah mendengar perkataan Alan, dia ragu untuk mewujudkannya.Bukan karena ia malu mengakui Salwa sebagai istri, melainkan pandangan publik bisa memengaruhi kondisi psikis Salwa. Meskipun pada dasarnya pernikahannya diawali dengan perjanjian karena saling menguntungkan, tetapi semua itu telah musnah seiring waktu, menunjukkan bahwa cinta bisa hadir di antara mereka berdua. Sean mengembuskan napas panjang, memikirkan semua itu membuat kepalanya terasa pusing. Lebih baik baginya memikirkan cara memajukan peru
Suara burung gereja terdengar melengking di pagi hari. Kepakan sayap ringan tampak mempercepat laju terbang mereka. Di luar kamar, yaitu pada pagar pembatas balkon, mereka hinggap untuk mencari penghidupan. Salwa membuka tirai lebar-lebar, membiarkan sinar mentari pagi menyambutnya dengan tersenyum. Ia masih mengingat kejadian semalam, yang mana Sean sudah tidak tahan ingin melakukan 'itu' dengannya. Lelaki yang sudah berstatus sebagai suami tampak membolak-balikkan badan, merasa gelisah yang teramat sangat. Melihatnya tentu membuat Salwa cemas dan merasa kasihan. Bagaimanapun juga, dia tetap mengerti jika keinginan Sean yang sudah menggebu harus segera dituntaskan. Sean cukup sadar, tidak memaksa Salwa membantunya. Lebih memilih menyiksa diri dengan masuk ke kamar mandi, memutar shower dengan temperatur rendah cenderung dingin. Ia hanya ingin segera menghilangkan rasa itu, menahannya hingga waktunya tiba. Jelas Salwa mengingat, bahwa Sean masih memilki luka di tubuhnya. Perban teb
Gadis kecil itu tampak menunduk, menyembunyikan wajah dari perhatian semua orang. Salwa baru menyadari hal itu, sikap Azlina yang berubah.Adik bungsunya itu selalu bersikap ceria, cerewet, dan banyak maunya. Sangat berbeda dengan dirinya yang lebih banyak diam dan mengamati. "Apakah dia sedang kesal atau merajuk? Mungkin dia sedang menginginkan sesuatu, tapi kalian tidak menuruti keinginannya." Tentu Salwa akan berpikir jika anak kecil berubah murung biasanya karena merajuk. Bukan hal baru apabila melihat seorang anak kecil yang semula ceria mendadak bungkam dan kesal karena ada hal yang tidak disukainya atau merasakan dipaksa melakukan sesuatu.Ahsan menggeleng. "Dia murung sejak Mbak memutuskan pergi menyusul Tuan Arthur. Coba bicaralah dengannya. Mungkin Zizi tidak ingin Mbak pergi saat itu."Salwa mengangguk mengerti, menyunggingkan senyum tulus kepada Ahsan. Tangannya menepuk lengan adik sulungnya itu, sembari berkata, "Nanti Mbak akan bicara sama Zizi. Jangan terlalu dipikirka
Setelah dua hari menginap di rumah orang tua Salwa, Sean memutuskan mengajak Salwa kembali ke penthouse yang terletak di pusat kota di mana mereka tinggal sebelumnya. Bukan tanpa alasan lelaki itu memilih bangunan itu sebagai tempat tinggal. Penthouse dinilai memiliki standar keamanan yang lebih mumpuni. Terdapat lift khusus yang akan membawa ke lantai paling atas di mana tempat tinggal mereka berada sehingga tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya, kecuali memiliki kartu akses khusus atau sudah memiliki izin dengan mengetahui kode smart lock door untuk bisa naik ke sana.Meski negara ini tergolong aman dari musuh-musuh yang entah sampai ke berapa orang, tetapi Sean tetap mawas diri, memastikan Salwa dalam kondisi aman dan tiada seorang pun bisa mengganggu."Dua bulan lagi tes penerimaan mahasiswa baru. Apa kau yakin bisa belajar sendiri?"Sean melempar pandang ke arah Salwa. Perempuan itu masih sibuk menenggelamkan diri dengan banyaknya brosur yang disebarkan pihak kampus baik neger