Salwa mengerjapkan mata, merasakan sesuatu memeluk perutnya. Ia sudah terlalu terimpit, berada di sisi ranjang paling tepi. Sementara di belakangnya Sean dengan tidak tahu malu ikut berbaring di ranjang yang sama. Tubuh besar itu membuat ranjang perawatan yang seharusnya cukup ditempati satu orang, menjadi sesak karena ia harus berbagi tempat dengan suaminya.Sean cukup sadar dengan tak melakukan apa-apa kepada Salwa, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidur sendiri-sendiri di ranjang yang berbeda. Selama ada sela di tempat Salwa, ia akan ikut berbaring di sana, memeluk perempuan itu sepuas hati seperti yang sebelumnya ia lakukan.Seorang perawat yang kebetulan bertugas mengganti cairan infus tampak terkejut melihat pasangan aneh dengan wajah merona malu yang ditunjukkan Salwa kepadanya. Perempuan itu seakan pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa dengan kelakuan absurd sang suami. Namun, perawat itu cukup maklum, tetap mempertahankan senyum, membutakan diri akan apa yang terlihat di d
Sean merenungkan ucapan Alan terkait dengan masalah Salwa. Dia tak menafikan bahwa semua yang dikatakan Alan sangat logis dan bisa diterima akal sehatnya. Namun, dirinya masih bingung, bagaimana cara menyampaikan semua itu kepada Salwa. Sean menyadari jika ia terlalu banyak memberikan kesedihan kepada perempuan itu. Dan sebuah pesta pernikahan dengan mempertunjukkan hubungannya di depan umum merupakan hadiah kejutan yang akan ia berikan sebagai pelipur lara di hati Salwa. Namun, setelah mendengar perkataan Alan, dia ragu untuk mewujudkannya.Bukan karena ia malu mengakui Salwa sebagai istri, melainkan pandangan publik bisa memengaruhi kondisi psikis Salwa. Meskipun pada dasarnya pernikahannya diawali dengan perjanjian karena saling menguntungkan, tetapi semua itu telah musnah seiring waktu, menunjukkan bahwa cinta bisa hadir di antara mereka berdua. Sean mengembuskan napas panjang, memikirkan semua itu membuat kepalanya terasa pusing. Lebih baik baginya memikirkan cara memajukan peru
Suara burung gereja terdengar melengking di pagi hari. Kepakan sayap ringan tampak mempercepat laju terbang mereka. Di luar kamar, yaitu pada pagar pembatas balkon, mereka hinggap untuk mencari penghidupan. Salwa membuka tirai lebar-lebar, membiarkan sinar mentari pagi menyambutnya dengan tersenyum. Ia masih mengingat kejadian semalam, yang mana Sean sudah tidak tahan ingin melakukan 'itu' dengannya. Lelaki yang sudah berstatus sebagai suami tampak membolak-balikkan badan, merasa gelisah yang teramat sangat. Melihatnya tentu membuat Salwa cemas dan merasa kasihan. Bagaimanapun juga, dia tetap mengerti jika keinginan Sean yang sudah menggebu harus segera dituntaskan. Sean cukup sadar, tidak memaksa Salwa membantunya. Lebih memilih menyiksa diri dengan masuk ke kamar mandi, memutar shower dengan temperatur rendah cenderung dingin. Ia hanya ingin segera menghilangkan rasa itu, menahannya hingga waktunya tiba. Jelas Salwa mengingat, bahwa Sean masih memilki luka di tubuhnya. Perban teb
Gadis kecil itu tampak menunduk, menyembunyikan wajah dari perhatian semua orang. Salwa baru menyadari hal itu, sikap Azlina yang berubah.Adik bungsunya itu selalu bersikap ceria, cerewet, dan banyak maunya. Sangat berbeda dengan dirinya yang lebih banyak diam dan mengamati. "Apakah dia sedang kesal atau merajuk? Mungkin dia sedang menginginkan sesuatu, tapi kalian tidak menuruti keinginannya." Tentu Salwa akan berpikir jika anak kecil berubah murung biasanya karena merajuk. Bukan hal baru apabila melihat seorang anak kecil yang semula ceria mendadak bungkam dan kesal karena ada hal yang tidak disukainya atau merasakan dipaksa melakukan sesuatu.Ahsan menggeleng. "Dia murung sejak Mbak memutuskan pergi menyusul Tuan Arthur. Coba bicaralah dengannya. Mungkin Zizi tidak ingin Mbak pergi saat itu."Salwa mengangguk mengerti, menyunggingkan senyum tulus kepada Ahsan. Tangannya menepuk lengan adik sulungnya itu, sembari berkata, "Nanti Mbak akan bicara sama Zizi. Jangan terlalu dipikirka
Setelah dua hari menginap di rumah orang tua Salwa, Sean memutuskan mengajak Salwa kembali ke penthouse yang terletak di pusat kota di mana mereka tinggal sebelumnya. Bukan tanpa alasan lelaki itu memilih bangunan itu sebagai tempat tinggal. Penthouse dinilai memiliki standar keamanan yang lebih mumpuni. Terdapat lift khusus yang akan membawa ke lantai paling atas di mana tempat tinggal mereka berada sehingga tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya, kecuali memiliki kartu akses khusus atau sudah memiliki izin dengan mengetahui kode smart lock door untuk bisa naik ke sana.Meski negara ini tergolong aman dari musuh-musuh yang entah sampai ke berapa orang, tetapi Sean tetap mawas diri, memastikan Salwa dalam kondisi aman dan tiada seorang pun bisa mengganggu."Dua bulan lagi tes penerimaan mahasiswa baru. Apa kau yakin bisa belajar sendiri?"Sean melempar pandang ke arah Salwa. Perempuan itu masih sibuk menenggelamkan diri dengan banyaknya brosur yang disebarkan pihak kampus baik neger
Langit masih gelap meski hujan telah berhenti. Di kawasan apartemen elite yang mana di bagian rooftop menjadi hunian Sean dan Salwa memang terlihat sepi di saat-saat seperti itu. Sean masih belum juga kembali dari bekerja, membuat Salwa menunggu dengan cemas.Setelah menghabiskan waktu untuk belajar, menghafal semua materi yang ada, Salwa hampir terlupa jika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sean sempat mengirimkan pesan singkat kepadanya jika ia akan lembur malam ini. Namun, dirinya tidak menyangka jika hampir tengah malam, suaminya itu tidak kunjung kembali.Dia menggigit ujung kukunya, berjalan mondar-mandir menatap ke bawah, berharap melihat mobil Sean dari atas ketinggian puluhan lantai dari permukaan tanah. Percuma! Salwa tidak bisa jelas melihat kondisi di sana.Gaun tipis yang ditutup dengan jubah tidur, diikat simpul kupu-kupu menyamping tampak berkibar-kibar tertiup angin bagian ujungnya. Salwa mengabaikan itu, pikirannya masih tertuju dengan di mana Sean berada.
Setelah asik bersua foto, pria bertopi mengembalikan smartphone Sean dengan baik. Tersenyum tanpa meniakkan topinya dia berbalik, pergi meninggalkan kedua orang suami istri tersebut.Sean masih berdiri dengan celana yang ditekuk sebatas lutut, memandang punggung sosok pria tersebut. Namun, tangan Salwa yang meraih smartphone dalam genggamannya membuat perhatian lelaki itu teralihkan."Sini aku lihat!" Matanya menyipit dengan bibir menipis, tersenyum, menatap hasil jepretan pria bertopi yang ternyata begitu bagus mengambil sudut pandang pengambilan gambar. "Hasilnya bagus sekali."Sean ikut mengamati, melihat satu per satu hasil jepretan itu. Di sana tampak jelas Salwa dan dirinya sangat bahagia, melakukan berbagai pose layaknya pasangan yang saling mencintai, beradu pandang dengan senyum tulus menghiasi.Namun, keningnya mengernyit tatkala melihat hal yang aneh pada setiap jepretan itu. Di setiap foto-foto itu, fokus kamera hanya hanya tertuju pada wajah Salwa.Iris biru itu tampak me
Dan di sinilah Salwa sekarang. Di sebuah ruangan dosen, duduk dengan menunggu kebungkaman sosok berkacamata di depannya.Pria itu membolak-balikkan hasil pekerjaan mahasiwa untuk diperiksa, menyuruh Salwa menunggu sebelum akhirnya dikembalikan dan dibagikan kepada pemilik tugas. "Berikan nomor ponselmu!"Sempat terkesiap dengan perkataan itu, Salwa segera menanggapi. "Untuk apa, Pak?" Ia mengabaikan panggilan Mister, tidak sesuai dengan perintah Edward, menunjukkan bahwa statusnya dan Edward adalah dosen dan mahasiswa."Untuk memastikan dan memberi tugas. Sebagai asisten dosen, kau harus menjadi lebih pintar dari yang lain.""Tapi, Pak, saya hanya mahasiswa baru. Dan saya tidak pernah melamar menjadi asisten dosen. Saya hanya ingin menjadi mahasiswa biasa." Salwa kekeh dengan pendirian. Perihal kemampuan, sepertinya masih banyak mahasiswa senior yang bisa mengemban tugas tersebut. Salwa adalah anak baru. Tidak mungkin rasanya jika ia merangkap sebagai asisten seorang dosen yang diri
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan