Setelah asik bersua foto, pria bertopi mengembalikan smartphone Sean dengan baik. Tersenyum tanpa meniakkan topinya dia berbalik, pergi meninggalkan kedua orang suami istri tersebut.Sean masih berdiri dengan celana yang ditekuk sebatas lutut, memandang punggung sosok pria tersebut. Namun, tangan Salwa yang meraih smartphone dalam genggamannya membuat perhatian lelaki itu teralihkan."Sini aku lihat!" Matanya menyipit dengan bibir menipis, tersenyum, menatap hasil jepretan pria bertopi yang ternyata begitu bagus mengambil sudut pandang pengambilan gambar. "Hasilnya bagus sekali."Sean ikut mengamati, melihat satu per satu hasil jepretan itu. Di sana tampak jelas Salwa dan dirinya sangat bahagia, melakukan berbagai pose layaknya pasangan yang saling mencintai, beradu pandang dengan senyum tulus menghiasi.Namun, keningnya mengernyit tatkala melihat hal yang aneh pada setiap jepretan itu. Di setiap foto-foto itu, fokus kamera hanya hanya tertuju pada wajah Salwa.Iris biru itu tampak me
Dan di sinilah Salwa sekarang. Di sebuah ruangan dosen, duduk dengan menunggu kebungkaman sosok berkacamata di depannya.Pria itu membolak-balikkan hasil pekerjaan mahasiwa untuk diperiksa, menyuruh Salwa menunggu sebelum akhirnya dikembalikan dan dibagikan kepada pemilik tugas. "Berikan nomor ponselmu!"Sempat terkesiap dengan perkataan itu, Salwa segera menanggapi. "Untuk apa, Pak?" Ia mengabaikan panggilan Mister, tidak sesuai dengan perintah Edward, menunjukkan bahwa statusnya dan Edward adalah dosen dan mahasiswa."Untuk memastikan dan memberi tugas. Sebagai asisten dosen, kau harus menjadi lebih pintar dari yang lain.""Tapi, Pak, saya hanya mahasiswa baru. Dan saya tidak pernah melamar menjadi asisten dosen. Saya hanya ingin menjadi mahasiswa biasa." Salwa kekeh dengan pendirian. Perihal kemampuan, sepertinya masih banyak mahasiswa senior yang bisa mengemban tugas tersebut. Salwa adalah anak baru. Tidak mungkin rasanya jika ia merangkap sebagai asisten seorang dosen yang diri
Wajah kesal Abust bertambah kentara setelah mendengar ucapan wanita yang bernama Fang Yi. Dia pernah bertemu dengan perempuan itu sekali, yaitu ketika menyelamatkan Salwa dari penculikan Ramunsen. Namun, ia tak menyangka jika pada akhirnya Sean justru mengutus perempuan bersifat preman tersebut untuk mengawasi gerak-geriknya."Untuk apa dia menyuruhmu mengawasi kami?" Leon masih menahan sakit di tangan menanyakan kebingungan itu. Selama ini Sean selalu percaya dengan kinerjanya, juga Abust. Tak pernah sekali pun Sean memata-matai secara gamblang dan bahkan tidak ditutup-tutupi seperti saat ini.Fang Yi melepaskan cekalannya pada lengan Leon, membebaskan lelaki itu dari penderitaan. Segera tubuh jangkung menjauh darinya, memutar-mutar tangan ke kanan dan ke kiri yang rasanya mau patah."Gila, tenagamu seperti wanita jadi-jadian," ucap Leon setelah merasakan tulangnya seperti patah semua.Fang Yi hanya menarik sudut bibirnya ke atas, menanggapi perkataan Leon. Lalu, dia menegakkan kepal
Belum sempat Salwa melangkah lebih jauh memasuki area kampus, sebuah tangan menarik lengannya. Hampir saja dia berteriak lantaran terkejut, tetapi mendengar suara cempreng yang khas itu membuat ia mengurungkan niatnya."Febby!" Dia memukul pelan lengan Febby dan diikuti gelak tawa gadis berambut ikal sebahu."Siapa yang nganterin kamu? Gak nyangka, kamu ternyata orang kaya.""Eh, apa? Itu ... suami." Salwa berkata dengan memelankan suara. Tidak perlu semua orang tahu jika dia adalah wanita bersuami, bukan? Bahkan, Sean sendiri belum mempublikasikan pernikahan mereka pada khalayak umum."Ya ampun. Kamu udah nikah? Gila, gimana cara dapat suami tajir?" Febby tiba-tiba mengerutkan kening, menatap curiga ke arah Salwa. "Dia duda? Punya anak berapa? Atau jangan-jangan kamu jadi istri kedua?""Isssh!" Sekali lagi Salwa memukul lengan Febby. Temannya itu sembarangan kalau berbicara. "Enggaklah. Dia single."Febby melongo, berjalan mengiringi langkah Salwa. "Ganteng, enggak? Ganteng mana sama
Sean memandang langit-langit kamar yang temaram, belum juga bisa memejamkan mata setelah membersihkan diri sepulang bekerja. Tangannya secara sadar membelai punggung Salwa dengan menepuk-nepuk perlahan, hingga perempuan itu tertidur beralas lengannya.Seperti biasa, Salwa selalu menyambut kedatangannya dengan tubuh harum dan pakaian menggoda. Tentunya sesuai dengan permintaan lelaki itu. Namun, malam ini ketika mereka hendak melakukan ritual suami istri, Salwa justru merasa tidak nyaman. Perempuan itu pamit ke kamar mandi, meninggalkan Sean yang sudah tidak sabar ingin melanjutkan kegiatannya. Tidak butuh waktu lama Salwa akhirnya keluar dari ruangan tersebut, tampak meringis menghadap Sean Arthur. Merasa mendapat kode, lelaki itu turun dari ranjang, mendekati Salwa dengan tidak sabar. Ketika tangan kekar menggendong tubuhnya, Salwa sedikit menolak, tetapi Sean tidak peduli. Lelaki itu merebahkan kembali sang istri ke ranjang, memerangkap tubuhnya untuk melanjutkan adegan yang sempa
Suasana mendadak terasa tegang. Bagai sedang diawasi oleh malaikat pencabut nyawa, Abust buru-buru menggeser ikon merah untuk menolak panggilan.Sikap aneh Abust justru membuat Fang Yi curiga. Ekor mata perempuan itu terus mengawasi, tak pelak dirinya yang tengah menyeruput spaghetti di mulutnya langsung tersedak lantaran tidak terlalu fokus dengan apa yang sedang dilakukan.Abust menyeringai, menatap dengan pandangan meremehkan. "Terlalu usil dengan urusan orang lain bisa membuat seseorang mati karena tersedak spaghetti."Dia berjalan menjauh, meninggalkan Fang Yi yang masih terbatuk-batuk dengan meraih gelas berisi air untuk segera ditenggak guna meringankan rasa panas tersedak makanan.Berjalan menaiki anak tangga, sedikit lebih cepat dari biasanya, Abust segera mrmasukkan tubuh ke dalam kamar dan menguncinya rapat dari dalam. Ia yakin jika Fang Yi akan mengejar dan mencari tahu apa yang akan ia lakukan. Namun, ia cukup sigap agar tidak semua privasinya dibuntuti oleh perempuan jad
Salwa menggigit ujung kuku di saat mata Edward menatap ke arah spion tengah yang memantulkan wajah gugup serta cemas perempuan itu. Seolah mengerti akan apa yang sedang terjadi, ia melajukan mobilnya lebih cepat lagi.Di keramaian jalanan, berlalu-lalang mobil serta kendaraan roda dua yang mengeluarkan asap knalpot tanpa sungkan, menerbangkan debu-debu jalanan dan mengganggu pemandangan, mata Salwa masih terfokus ke depan. Kendati demikian, pikirannya jauh dari apa yang sedang ia perhatikan. Salwa begitu cemas mendengar Alfatih bicara dengan nada ketakutan, menggiringnya pada hal-hal buruk yang sedang terjadi pada Ahsan. Kemudian, secara sadar Salwa mengeluarkan smartphone di totebag yang berada di atas pangkuan, lalu mengirim pesan kepada Sean Arthur. Bagaimanapun juga dia harus memberi tahu sang suami agar tidak terjadi kesalahpahaman. Apalagi Sean dengan jelas tidak menyukai Edward sejak awal.Pesan terkirim selang sedetik setelah Salwa menekan ikon send. Hidungnya seketika mengem
Mata pemilik toko itu membulat, menatap takut-takut beberapa sosok tegap yang tengah berjalan ke arah tokonya. Dia berupaya menghadang, namun segera terempas ketika ketiga orang itu berjalan melewatinya."Apa yang ingin kalian lakukan!"Dia berteriak setelah menyaksikan jam tangan yang dipajang di etalase toko jatuh berserakan. Mereka tak ada yang menjawab, hanya terus-menerus menghancurkan apa yang ada di sana tanpa perasaan."Hei, aku akan menuntut kalian!"Dia hanya mampu berteriak, menyaksikan apa yang di depan mata hancur berantakan. Orang-orang yang sejak tadi ikut memukuli Ahsan tampak berdiam dan beringsut, tak berani melawan. Mereka hanya menjadi penonton pengerusakan barang-barang pemilik toko jam tangan.Etalase yang sebelumnya tertata rapi dengan banyak koleksi yang dipajang, remuk sudah. Tampak orang-orang di sana menatap penuh iba. Namun, tiada yang bisa mereka lakukan lantaran tak mau mengambil resiko untuk turut ikut campur lebih lanjut."Mas, kau mengahncurkan semuany
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan