Dan di sinilah Salwa sekarang. Di sebuah ruangan dosen, duduk dengan menunggu kebungkaman sosok berkacamata di depannya.Pria itu membolak-balikkan hasil pekerjaan mahasiwa untuk diperiksa, menyuruh Salwa menunggu sebelum akhirnya dikembalikan dan dibagikan kepada pemilik tugas. "Berikan nomor ponselmu!"Sempat terkesiap dengan perkataan itu, Salwa segera menanggapi. "Untuk apa, Pak?" Ia mengabaikan panggilan Mister, tidak sesuai dengan perintah Edward, menunjukkan bahwa statusnya dan Edward adalah dosen dan mahasiswa."Untuk memastikan dan memberi tugas. Sebagai asisten dosen, kau harus menjadi lebih pintar dari yang lain.""Tapi, Pak, saya hanya mahasiswa baru. Dan saya tidak pernah melamar menjadi asisten dosen. Saya hanya ingin menjadi mahasiswa biasa." Salwa kekeh dengan pendirian. Perihal kemampuan, sepertinya masih banyak mahasiswa senior yang bisa mengemban tugas tersebut. Salwa adalah anak baru. Tidak mungkin rasanya jika ia merangkap sebagai asisten seorang dosen yang diri
Wajah kesal Abust bertambah kentara setelah mendengar ucapan wanita yang bernama Fang Yi. Dia pernah bertemu dengan perempuan itu sekali, yaitu ketika menyelamatkan Salwa dari penculikan Ramunsen. Namun, ia tak menyangka jika pada akhirnya Sean justru mengutus perempuan bersifat preman tersebut untuk mengawasi gerak-geriknya."Untuk apa dia menyuruhmu mengawasi kami?" Leon masih menahan sakit di tangan menanyakan kebingungan itu. Selama ini Sean selalu percaya dengan kinerjanya, juga Abust. Tak pernah sekali pun Sean memata-matai secara gamblang dan bahkan tidak ditutup-tutupi seperti saat ini.Fang Yi melepaskan cekalannya pada lengan Leon, membebaskan lelaki itu dari penderitaan. Segera tubuh jangkung menjauh darinya, memutar-mutar tangan ke kanan dan ke kiri yang rasanya mau patah."Gila, tenagamu seperti wanita jadi-jadian," ucap Leon setelah merasakan tulangnya seperti patah semua.Fang Yi hanya menarik sudut bibirnya ke atas, menanggapi perkataan Leon. Lalu, dia menegakkan kepal
Belum sempat Salwa melangkah lebih jauh memasuki area kampus, sebuah tangan menarik lengannya. Hampir saja dia berteriak lantaran terkejut, tetapi mendengar suara cempreng yang khas itu membuat ia mengurungkan niatnya."Febby!" Dia memukul pelan lengan Febby dan diikuti gelak tawa gadis berambut ikal sebahu."Siapa yang nganterin kamu? Gak nyangka, kamu ternyata orang kaya.""Eh, apa? Itu ... suami." Salwa berkata dengan memelankan suara. Tidak perlu semua orang tahu jika dia adalah wanita bersuami, bukan? Bahkan, Sean sendiri belum mempublikasikan pernikahan mereka pada khalayak umum."Ya ampun. Kamu udah nikah? Gila, gimana cara dapat suami tajir?" Febby tiba-tiba mengerutkan kening, menatap curiga ke arah Salwa. "Dia duda? Punya anak berapa? Atau jangan-jangan kamu jadi istri kedua?""Isssh!" Sekali lagi Salwa memukul lengan Febby. Temannya itu sembarangan kalau berbicara. "Enggaklah. Dia single."Febby melongo, berjalan mengiringi langkah Salwa. "Ganteng, enggak? Ganteng mana sama
Sean memandang langit-langit kamar yang temaram, belum juga bisa memejamkan mata setelah membersihkan diri sepulang bekerja. Tangannya secara sadar membelai punggung Salwa dengan menepuk-nepuk perlahan, hingga perempuan itu tertidur beralas lengannya.Seperti biasa, Salwa selalu menyambut kedatangannya dengan tubuh harum dan pakaian menggoda. Tentunya sesuai dengan permintaan lelaki itu. Namun, malam ini ketika mereka hendak melakukan ritual suami istri, Salwa justru merasa tidak nyaman. Perempuan itu pamit ke kamar mandi, meninggalkan Sean yang sudah tidak sabar ingin melanjutkan kegiatannya. Tidak butuh waktu lama Salwa akhirnya keluar dari ruangan tersebut, tampak meringis menghadap Sean Arthur. Merasa mendapat kode, lelaki itu turun dari ranjang, mendekati Salwa dengan tidak sabar. Ketika tangan kekar menggendong tubuhnya, Salwa sedikit menolak, tetapi Sean tidak peduli. Lelaki itu merebahkan kembali sang istri ke ranjang, memerangkap tubuhnya untuk melanjutkan adegan yang sempa
Suasana mendadak terasa tegang. Bagai sedang diawasi oleh malaikat pencabut nyawa, Abust buru-buru menggeser ikon merah untuk menolak panggilan.Sikap aneh Abust justru membuat Fang Yi curiga. Ekor mata perempuan itu terus mengawasi, tak pelak dirinya yang tengah menyeruput spaghetti di mulutnya langsung tersedak lantaran tidak terlalu fokus dengan apa yang sedang dilakukan.Abust menyeringai, menatap dengan pandangan meremehkan. "Terlalu usil dengan urusan orang lain bisa membuat seseorang mati karena tersedak spaghetti."Dia berjalan menjauh, meninggalkan Fang Yi yang masih terbatuk-batuk dengan meraih gelas berisi air untuk segera ditenggak guna meringankan rasa panas tersedak makanan.Berjalan menaiki anak tangga, sedikit lebih cepat dari biasanya, Abust segera mrmasukkan tubuh ke dalam kamar dan menguncinya rapat dari dalam. Ia yakin jika Fang Yi akan mengejar dan mencari tahu apa yang akan ia lakukan. Namun, ia cukup sigap agar tidak semua privasinya dibuntuti oleh perempuan jad
Salwa menggigit ujung kuku di saat mata Edward menatap ke arah spion tengah yang memantulkan wajah gugup serta cemas perempuan itu. Seolah mengerti akan apa yang sedang terjadi, ia melajukan mobilnya lebih cepat lagi.Di keramaian jalanan, berlalu-lalang mobil serta kendaraan roda dua yang mengeluarkan asap knalpot tanpa sungkan, menerbangkan debu-debu jalanan dan mengganggu pemandangan, mata Salwa masih terfokus ke depan. Kendati demikian, pikirannya jauh dari apa yang sedang ia perhatikan. Salwa begitu cemas mendengar Alfatih bicara dengan nada ketakutan, menggiringnya pada hal-hal buruk yang sedang terjadi pada Ahsan. Kemudian, secara sadar Salwa mengeluarkan smartphone di totebag yang berada di atas pangkuan, lalu mengirim pesan kepada Sean Arthur. Bagaimanapun juga dia harus memberi tahu sang suami agar tidak terjadi kesalahpahaman. Apalagi Sean dengan jelas tidak menyukai Edward sejak awal.Pesan terkirim selang sedetik setelah Salwa menekan ikon send. Hidungnya seketika mengem
Mata pemilik toko itu membulat, menatap takut-takut beberapa sosok tegap yang tengah berjalan ke arah tokonya. Dia berupaya menghadang, namun segera terempas ketika ketiga orang itu berjalan melewatinya."Apa yang ingin kalian lakukan!"Dia berteriak setelah menyaksikan jam tangan yang dipajang di etalase toko jatuh berserakan. Mereka tak ada yang menjawab, hanya terus-menerus menghancurkan apa yang ada di sana tanpa perasaan."Hei, aku akan menuntut kalian!"Dia hanya mampu berteriak, menyaksikan apa yang di depan mata hancur berantakan. Orang-orang yang sejak tadi ikut memukuli Ahsan tampak berdiam dan beringsut, tak berani melawan. Mereka hanya menjadi penonton pengerusakan barang-barang pemilik toko jam tangan.Etalase yang sebelumnya tertata rapi dengan banyak koleksi yang dipajang, remuk sudah. Tampak orang-orang di sana menatap penuh iba. Namun, tiada yang bisa mereka lakukan lantaran tak mau mengambil resiko untuk turut ikut campur lebih lanjut."Mas, kau mengahncurkan semuany
"Insting?"Salwa menatap lekat-lekat wajah Sean, tampak bingung dengan jawaban lelaki itu. "Jika insting Mas salah, bukankah akan mempermalukanmu sendiri?""Ya, tapi mungkin kau harus tahu. Ketika seorang tertuduh ternyata tidak bersalah, percayalah, seseorang yang sangat berambisi untuk menggiring opini publik dan menjadikan tertuduh itu sebagai sosok yang salah, dialah pelaku sebenarnya." Mata Sean menatap ke depan, di mana kaca spion tengah mobil berada. Tatapannya begitu sulit diartikan, tetapi Salwa tampak tidak menyadari."Jika kau tahu pelakunya dari awal, mengapa tidak langsung memberi tahu mereka? Mengapa harus menghancurkan barang-barang pemilik toko? Dan kau harus kehilangan dua ratus juta demi mengganti jam tangan yang sebenarnya tidak hilang. Bukankah saat aku meminjam uang dengan nominal yang hampir sama, kau mengajukan banyak tuntutan kepadaku. Tapi, mengapa dengan mereka kau justru memberi secara cuma-cuma?"Sean terkekeh, perkataan Salwa mengingatkan dirinya akan baga